Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya telah menjadwalkan pemanggilan Kepala Dinas DKI Jakarta, Widyastuti untuk dimintai keterangan terkait pemberian vaksin terhadap Helena Lim, pengusaha kaya asal Pantai Indah Kapuk (PIK) pada Rabu (17/2).
"Surat undangan sudah kita kirim, Rabu kami rencanakan pemeriksaan, kami minta Kadinkes yang hadir," kata Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jakarta Raya, Teguh P Nugroho, saat dihubungi ANTARA melalui obrolan Telegram, Senin.
Rencana pemanggilan dilakukan secara daring (online) terkait peristiwa tersebut melalui mekanisme pemeriksaan atas prakarsa sendiri (own motion investigation) tanpa menunggu laporan dari masyarakat.
Menurut Teguh, pemeriksaan tersebut bukan semata-mata untuk mencari kesalahan, namun lebih ditujukan pada upaya perbaikan yang perlu dilakukan jika ada celah dalam database dan mekanisme distribusi vaksin sesuai dengan ketentuan.
Sebelumnya, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya mempertanyakan jatah vaksin yang digunakan selebgram Helena Lim milik siapa, mengingat program vaksinasi tahap pertama menyasar para tenaga medis (nakes) yang sudah terdaftar dan tercatat.
Ombudsman melihat dalam kasus tersebut ada dua potensi pelanggaran atau kesalahan yang terjadi hingga vaksinasi diberikan kepada Selebgram Helena Lim.
Potensi kesalahan pertama yakni sistem vaksinasi belum cukup bagus untuk mencegah celah kesalahan data.
"Kedua, ada oknum yang memanfaatkan celah kelemahan sistem itu," kata Teguh.
Menurut Teguh, data penerima sudah pasti sesuai dengan rencana, nama tenaga kesehatan penerima sesuai dengan pengajuan, lalu kenapa bisa berubah, itu yang menjadi pertanyaan vaksin milik siapa yang digunakan oleh Helena Lim beserta kerabatnya.
Teguh menyebutkan, kalau kesalahannya ada pada sistem, maka saran dan tindakan korektif dari Ombudsman tentu kepada perbaikan sistem distribusi vaksin.
"Karena kalau hanya mempidanakan pelaku tapi sistemnya tidak diperbaiki, kami khawatir kebocoran tahap berikutnya lebih tinggi," ujar Teguh.
Ombudsman Jakarta menyayangkan lolosnya selegram Helena Lim dan koleganya memperoleh vaksin di Puskemas Kebon Jeruk hanya dengan bermodalkan surat keterangan sebagai mitra salah satu Apotek di Jakarta.
Badan pengawas pelayanan publik tersebut melihat hal tersebut sebagai fenomena puncak gunung es terkait buruknya database tenaga kesehatan (nakes) dan alur distribusi vaksin bagi nakes yang berhak mendapatkan vaksinasi tahap awal di Jakarta.
Pemberian vaksin untuk Helena Lim dan kerabatnya menjadi sorotan penting Ombudsman Jakarta Raya sebagai bagian evaluasi yang harus dilakukan Dinkes dan Gugus Tugas COVID-19 Jakarta.
Menurut Teguh, kebocoran ini juga dapat dilihat sebagai 'blessing in disguised' terhadap tata kelola vaksinasi di Jakarta karena di tahap pertama yang jumlahnya kecil, yaitu hanya untuk nakes dan 'frontliner' pelayanan.
"Kebocoran itu sudah muncul dan upaya perbaikan bisa segera dilakukan," ujar Teguh.
Program Vaksin
Sebagaimana disampaikan Pemprov DKI sebelumnya, penerima vaksin tahap pertama di Jakarta adalah adalah tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang, serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran dan bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan
jumlah 119.145 orang.
Hal ini sudah sesuai dengan PMK No. 84 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pasal 8 ayat
(4).
Pemprov DKI Jakarta juga mengklaim sudah memiliki sistem verifikasi bertahap dimana penerima vaksin akan menerima SMS dari ID Peduli Covid, dilanjutkan dengan melakukan regsitrasi ulang secara online atau offline kepada Bhabinkamtibmas yang didampingi RT/RW serta petugas kesehatan kecamatan.
Penerima selanjutnya memilih tempat vaksinasi, kemudian Sistem Informasi Satu Data Covid akan mengirimkan tiket elektronik.
Teguh menyebutkan, lewat sistem (by system), seharusnya sulit bagi yang tidak berhak untuk
memperoleh vaksin. Terlebih lagi, sesuai dengan PMK tersebut, vaksinasi merupakan sistem secara keseluruhan dari proses perencanaan sampai ke tahap pembinaan dan pengawasan sebagaimana di maksud dalam pasal 5.
"Artinya, sejak dari awal, vaksin yang akan diberikan sudah dipastikan ditujukan kepada penerima yang diajukan dalam tahap perencanaan," ungkapnya.
Dengan pengalaman tata kelola program imunisasi yang telah berjalan puluhan tahun, kebocoran penerima manfaat vaksin ini sendiri sebetulnya cukup mengherankan.
Tapi kenapa petugas puskesmas begitu mudah memberikan persetujuan untuk memberikan vaksinasi menjadi tanda tanya, apakah sistem yang disiapkan Pemprov DKI gagal menampilkan nama penerima vaksin akan menerima pesan pendek dari ID Peduli Covid, dilanjutkan dengan melakukan registrasi ulang secara online atau offline kepada Bhabinkamtibmas yang didampingi RT/RW serta petugas kesehatan kecamatan.
"Ombudsman tentunya berharap kebocoran tersebut bukan kesalahan sistemik, namun jika memang kelemahannya sistemik kami akan segera memberikan saran dan tindakan korektif bagi perbaikan pelayanan vaksinasi," ujar Teguh.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2021
"Surat undangan sudah kita kirim, Rabu kami rencanakan pemeriksaan, kami minta Kadinkes yang hadir," kata Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jakarta Raya, Teguh P Nugroho, saat dihubungi ANTARA melalui obrolan Telegram, Senin.
Rencana pemanggilan dilakukan secara daring (online) terkait peristiwa tersebut melalui mekanisme pemeriksaan atas prakarsa sendiri (own motion investigation) tanpa menunggu laporan dari masyarakat.
Menurut Teguh, pemeriksaan tersebut bukan semata-mata untuk mencari kesalahan, namun lebih ditujukan pada upaya perbaikan yang perlu dilakukan jika ada celah dalam database dan mekanisme distribusi vaksin sesuai dengan ketentuan.
Sebelumnya, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya mempertanyakan jatah vaksin yang digunakan selebgram Helena Lim milik siapa, mengingat program vaksinasi tahap pertama menyasar para tenaga medis (nakes) yang sudah terdaftar dan tercatat.
Ombudsman melihat dalam kasus tersebut ada dua potensi pelanggaran atau kesalahan yang terjadi hingga vaksinasi diberikan kepada Selebgram Helena Lim.
Potensi kesalahan pertama yakni sistem vaksinasi belum cukup bagus untuk mencegah celah kesalahan data.
"Kedua, ada oknum yang memanfaatkan celah kelemahan sistem itu," kata Teguh.
Menurut Teguh, data penerima sudah pasti sesuai dengan rencana, nama tenaga kesehatan penerima sesuai dengan pengajuan, lalu kenapa bisa berubah, itu yang menjadi pertanyaan vaksin milik siapa yang digunakan oleh Helena Lim beserta kerabatnya.
Teguh menyebutkan, kalau kesalahannya ada pada sistem, maka saran dan tindakan korektif dari Ombudsman tentu kepada perbaikan sistem distribusi vaksin.
"Karena kalau hanya mempidanakan pelaku tapi sistemnya tidak diperbaiki, kami khawatir kebocoran tahap berikutnya lebih tinggi," ujar Teguh.
Ombudsman Jakarta menyayangkan lolosnya selegram Helena Lim dan koleganya memperoleh vaksin di Puskemas Kebon Jeruk hanya dengan bermodalkan surat keterangan sebagai mitra salah satu Apotek di Jakarta.
Badan pengawas pelayanan publik tersebut melihat hal tersebut sebagai fenomena puncak gunung es terkait buruknya database tenaga kesehatan (nakes) dan alur distribusi vaksin bagi nakes yang berhak mendapatkan vaksinasi tahap awal di Jakarta.
Pemberian vaksin untuk Helena Lim dan kerabatnya menjadi sorotan penting Ombudsman Jakarta Raya sebagai bagian evaluasi yang harus dilakukan Dinkes dan Gugus Tugas COVID-19 Jakarta.
Menurut Teguh, kebocoran ini juga dapat dilihat sebagai 'blessing in disguised' terhadap tata kelola vaksinasi di Jakarta karena di tahap pertama yang jumlahnya kecil, yaitu hanya untuk nakes dan 'frontliner' pelayanan.
"Kebocoran itu sudah muncul dan upaya perbaikan bisa segera dilakukan," ujar Teguh.
Program Vaksin
Sebagaimana disampaikan Pemprov DKI sebelumnya, penerima vaksin tahap pertama di Jakarta adalah adalah tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang, serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran dan bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan
jumlah 119.145 orang.
Hal ini sudah sesuai dengan PMK No. 84 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pasal 8 ayat
(4).
Pemprov DKI Jakarta juga mengklaim sudah memiliki sistem verifikasi bertahap dimana penerima vaksin akan menerima SMS dari ID Peduli Covid, dilanjutkan dengan melakukan regsitrasi ulang secara online atau offline kepada Bhabinkamtibmas yang didampingi RT/RW serta petugas kesehatan kecamatan.
Penerima selanjutnya memilih tempat vaksinasi, kemudian Sistem Informasi Satu Data Covid akan mengirimkan tiket elektronik.
Teguh menyebutkan, lewat sistem (by system), seharusnya sulit bagi yang tidak berhak untuk
memperoleh vaksin. Terlebih lagi, sesuai dengan PMK tersebut, vaksinasi merupakan sistem secara keseluruhan dari proses perencanaan sampai ke tahap pembinaan dan pengawasan sebagaimana di maksud dalam pasal 5.
"Artinya, sejak dari awal, vaksin yang akan diberikan sudah dipastikan ditujukan kepada penerima yang diajukan dalam tahap perencanaan," ungkapnya.
Dengan pengalaman tata kelola program imunisasi yang telah berjalan puluhan tahun, kebocoran penerima manfaat vaksin ini sendiri sebetulnya cukup mengherankan.
Tapi kenapa petugas puskesmas begitu mudah memberikan persetujuan untuk memberikan vaksinasi menjadi tanda tanya, apakah sistem yang disiapkan Pemprov DKI gagal menampilkan nama penerima vaksin akan menerima pesan pendek dari ID Peduli Covid, dilanjutkan dengan melakukan registrasi ulang secara online atau offline kepada Bhabinkamtibmas yang didampingi RT/RW serta petugas kesehatan kecamatan.
"Ombudsman tentunya berharap kebocoran tersebut bukan kesalahan sistemik, namun jika memang kelemahannya sistemik kami akan segera memberikan saran dan tindakan korektif bagi perbaikan pelayanan vaksinasi," ujar Teguh.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2021