Jakarta (ANTARA) -
Harvey, saat bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, mengungkapkan dana tersebut dikumpulkan untuk kas sosial yang bertujuan memperhatikan masyarakat dan sosial dalam kegiatan pertambangan para smelter.
"Ini disepakati bersama dan sifatnya sukarela, tidak ada hitam di atas putih," kata Harvey.
Meski sifatnya sukarela, ia mengatakan terdapat acuan pengumpulan dana sebesar 500 dolar Amerika Serikat (AS) per ton berdasarkan produksi logam masing-masing smelter swasta.
Adapun keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.
Sementara itu, kata dia, PT RBT tak ikut mengumpulkan dana CSR lantaran berjalan sendiri dalam program sosial itu, sesuai arahan Direktur Utama PT RBT Suparta.
Kendati demikian, Harvey menegaskan tak pernah menyebutkan dana yang dikumpulkan itu sebagai dana CSR, melainkan kas sosial. Pasalnya, ia menjelaskan program CSR merupakan tanggung jawab masing-masing perusahaan, bukan pengumpulan dana beberapa perusahaan.
Istilah dana CSR, menurut dia, baru muncul saat penyidikan kasus dugaan korupsi timah dan dipakai konsisten semua pihak hingga sekarang.
"Saya sempat menyanggah juga sebenarnya adanya istilah itu ketika diperiksa. Tapi akhirnya saya ikut saja kalau memang itu hanya istilah," ungkapnya.
Harvey bersaksi dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015-2022.
Selain dirinya, kasus itu antara lain menyeret Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan PT Timah periode 2016-2020 Emil Ermindra, Direktur PT SIP MB Gunawan, dan Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim, sebagai terdakwa dalam sidang tersebut.
Riza bersama Emil didakwa telah mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah, sedangkan MB Gunawan didakwa melakukan pembelian bijih timah dari pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Atas perbuatannya, ketiga terdakwa terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp420 miliar.
Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.
Dengan demikian, perbuatan Helena diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.
Adapun perbuatan para terdakwa diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun. Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.