Pangkalpinang (ANTARA) - Tambang atau Tumbang? Sebagai anak muda yang tinggal di pedesaan, hal itu kerap muncul di benak saya setiap kali melihat pertambangan ilegal yang merusak indahnya danau biru kami. Kadang hidup terasa seperti hanya menyediakan dua pilihan: mau alam indah tapi mati kelaparan, atau hidup tapi alamnya dijajah sampai habis?
Sebagai anak muda yang aktif dan menyukai kegiatan sosial, penulis tidak hanya sekali dua kali mendengar bahwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung termasuk provinsi yang makmur dengan kesenjangan sosial yang rendah. Bisa kita lihat, di sepanjang lampu merah kota, sangat jarang menjumpai pengemis, bahkan hampir tidak pernah menjumpai manusia silver. Ini membuktikan bahwa masyarakat Bangka masih mampu hidup tanpa harus mengemis.
Namun di balik ketenangan itu, ada luka yang tak terlihat. Masyarakat kecil yang tidak punya akses pada pekerjaan formal atau pendidikan tinggi akhirnya memilih menambang demi bertahan hidup. Sebagian dari mereka menambang secara ilegal, bukan karena ingin melanggar hukum, tapi karena tak ada alternatif. Tidak ada solusi yang nyata. Tidak ada keberpihakan dari atas.
Jalan yang mereka pilih memang tampak salah di mata hukum. Tapi perlu ditegaskan "mereka tidak serakah, mereka hanya ingin hidup besok". Mereka yang turun ke kolong, mengeruk tanah dengan alat seadanya, melakukannya bukan karena tamak. Mereka ingin anaknya bisa makan. Mereka ingin listrik menyala malam ini. Mereka ingin dapur mengepul, bukan menadahkan tangan di pinggir jalan. Tapi sayangnya, jerih payah mereka sering dijadikan kambing hitam dalam konflik pertambangan.
Permasalahannya bukan hanya pada tambang ilegal. Lebih besar dari itu, kita dihadapkan pada kenyataan pahit mengenai rakusnya para kapitalus. Kasus korupsi timah yang menyeret nama Harvey Moeis dan kawan-kawan hanyalah satu dari banyak potret wajah gelap pertambangan di negeri ini.
Seperti yang sudah diberitakan di portal babel.antaranews.com, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman terdakwa Harvey Moeis, yang merupakan perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT), menjadi 20 tahun penjara terkait kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada tahun 2015–2022.
Ini fakta, bukan spekulasi semata, ya meskipun awalnya Harvey Moeis di jatuhkan hukuman 6,5 tahun karena prilaku baiknya itu, yang sekarang telah diperberat mempertimbangkan satu dan hal-hal lain.
Ini adalah wajah kapitalisme ekstraktif. Mereka tidak menambang untuk makan malam ini. Mereka menambang untuk memperkaya 10 turunan mereka. Ketika alam rusak, rakyatlah yang menanggung.
Mereka yang tinggal di sekitar tambang hidup dalam kecemasan alam yang rusak dan makin membahayakan. Generasi muda Bangka bukan hanya kehilangan warisan alam, tapi juga kehilangan identitas, kehilangan harapan untuk membangun ekonomi lestari yang tak bergantung pada kehancuran bumi.
Jujur saja, kami anak muda tentu bisa bersuara demi keadilan, tapi kapan kami sempat meningkatkan SDM untuk mengelola SDA jikalau masalah keadilan yang sulit terus terulang. Terlihat seperti membuang-buang waktu menghadapi orang-orang serakah dan ketidakadilan dunia, tapi sudahlah.
Sekarang mari kita buka mata melihat juga mendengar bukan satu maupun dua orang turis berkata bahwa "Pulau Bangka dilihat dari atas pesawat, banyak bolong-bolong nya ya". Rusak? Iya, Jelek? Iya, Miris? Tentu saja. Sudahlah rusak akibat penambangan ilegal demi penghidupan warga, ditambah lagi kapitalis yang rakus. Ini bukan hanya memunculkan efek satu kali, tapi efek domino atau berulang. Warga minoritas, secara tidak langsung akan meminta turunannya untuk menambang juga demi sesuai nasi, dan tentu anak-anak mereka akan meng-iya kan, karena yang merah lebih menggiurkan daripada yang putih, beberapa dari mereka yang tidak bisa memecah fokus, akan melepas sekolahnya karena uang lebih menggiurkan daripada kertas di buku sekolah.
Dampak nya apa? Timah ini sumber daya alam yang tidak bisa di perbarui, jika habis mereka mau kerja apa? Pengangguran? Tentu masalah baru muncul, dimana prediksi kriminalitas meningkat akan semakin benar. Penulis rasa, jika melihat permasalahan seperti ini, Indonesia belum pantas untuk berfokus ke “sustainable” nya.
Sebenarnya, Bangka adalah pulau yang dianugerahi timah melimpah. Tapi, benarkah masyarakatnya kaya?
Mari kita jujur, jika memang SDA kita dikelola dengan adil dan transparan, mengapa masih banyak masyarakat yang hidup pas-pasan? Mengapa masih banyak anak yang harus mengubur mimpinya karena ketidakmampuan?
Karena sistem yang dibangun lebih menguntungkan segelintir pemilik modal. Kapitalisme tambang menghisap habis sumber daya, meninggalkan rakyat dengan tanah yang tandus dan janji-janji manis dari mulut yang penuh dosa.
Ketika Mahasiswa dan Rakyat Menjadi oposisi kebaikan, sudah banyak aksi mahasiswa yang menggugat ketimpangan ini. Tapi suara mereka sering dianggap bising. Demonstrasi dicap sebagai gangguan ketertiban bahkan gong nya oknum pendemo bisa di bungkam dengan kertas merah, mau percaya dengan siapa lagi?. Audiensi hanya formalitas. Seolah-olah negara menutup mata pada apa yang terjadi di lapangan.
Kita seakan hidup di dua dunia, Di satu sisi, pemerintah menyebut pertambangan sebagai “penopang ekonomi daerah”. Di sisi lain, masyarakat melihat lubang-lubang tambang sebagai lubang kubur masa depan.
Artikel ini ditulis guna mengharapkan solusi bukan sekadar regulasi. Regulasi pertambangan yang lemah hanya memperbesar ruang gerak mafia tambang. Diperlukan sistem pengawasan yang tegas dan independen. Penegakan hukum tidak boleh pilih kasih. Kalau rakyat kecil bisa ditindak karena menambang ilegal, maka para pengusaha besar yang mengeruk triliunan juga harus masuk penjara tanpa drama pengurangan hukuman karena "perilaku baik".
Selain itu, Bangka perlu diversifikasi ekonomi. Potensi wisata, UMKM lokal, pertanian organik, dan industri kreatif bisa menjadi jalan keluar agar rakyat tak tergantung pada tambang. Negara harus hadir dalam menyediakan modal, pelatihan, dan infrastruktur, bukan saat menagih pajak saja.
Tumbuh atau tumbang? Kita yang menentukan.Jika kondisi ini terus dibiarkan, Bangka bisa tumbang secara perlahan, dari kehancuran ekologis, juga degradasi sosial. Tapi jika kita berani bangkit membangun ekonomi berkelanjutan, dan mencabut akar-akar kapitalisme rakus, maka kita bisa tumbuh. Kita bisa makmur tanpa harus menggali kubur dengan tangan sendiri.
Kita tidak anti pada tambang, tapi kita menolak tambang yang merusak, menindas, dan menguntungkan hanya segelintir orang. Kita menolak pembangunan yang membunuh masa depan. Kita ingin keadilan ekologis dan ekonomi yang berjalan beriringan.
Jadi jangan biarkan Bangka jadi korban selamanya.
Mau sampai kapan kita membiarkan ketamakan merajalela? Sampai berapa lubang lagi yang harus digali sebelum kita sadar bahwa tanah ini tidak akan tumbuh lagi? Jangan biarkan Bangka jadi korban selamanya. Jangan biarkan suara masyarakat kecil dikalahkan oleh kebisingan kapitalisme.
Sudah saatnya kita memilih untuk tumbuh atau tumbang?
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka Belitung yang juga anggota DPK FT UBB GMNI Babel