Jakarta (Antara Babel) - Drama antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian Republik Indonesia selama lebih dari 40 hari seolah-olah menemui titik akhir saat pelaksana tugas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengakui lembaganya kalah.

"Liga pemberantasan korupsi harus berjalan. Untuk satu kasus (Budi Gunawan) ini, kami KPK terima kalah, tapi tidak berarti harus menyerah. Masih banyak kasus di tangan kami. Masih ada 36 kasus yang harus diselesaikan, kalau terfokus pada kasus ini yang lain jadi terbengkalai belum lagi praperadilan-praperadilan yang diajukan," kata Taufiequrachman Ruki dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Senin (2/3).

Kekalahan tersebut diderita KPK setelah KPK menyerahkan penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan dengan tersangka Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol) Komjen Pol Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung.

Inilah pertama kalinya lembaga penegak hukum yang dalam UU No 30 tahun 2002 dinyatakan tidak punya fasilitas untuk menghentikan penyidikan terpaksa tidak meneruskan proses penyidikan meminjam putusan praperadilan.

Kejaksaan Agung pun menyatakan terbuka kemungkinan untuk menyerahkan kasus tersebut ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri karena sudah pernah menyidik meski hasil penyidikan menyebutkan Budi Gunawan bersih pada 2010 lalu.

"Kasus Komjen BG (Budi Gunawan) yang ditangani KPK dan dinyatakan tidak sah oleh pengadilan diserahkan ke Kejaksaan. Kejaksaan akan melanjutkan ke Polri karena dinilai penangannya akan lebih efektif karena sudah pernah menangai kasus ini sebelumnya," kata Jaksa Agung HM Prasetyo.

Jadi apakah KPK memang kalah dan menyerah dalam memberantas korupsi?

Kekalahan pertama

"Buat saya pribadi hari ini bukan akhir. Dunia belum kiamat langit belum runtuh," ungkap Ruki.

Ruki mengungkapkan yakin bahwa Jaksa Agung maupun Wakil Kepala Polri yang juga menjadi calon tunggal Kapolri Komjen Pol Badrodin Haiti dapat diandalkan dalam kasus itu.

"Pak Jaksa Agung dan dan Pak Kapolri punya tangung jawab hukum menangani kasus dengan baik dan proper karena jalan (pelimpahan) ini bukan penanganan yang berada di luar hukum. Pertemuan kami sangat teknis antara KPK, Polri dan Kejaksaan Agung, dan kami mengerucut untuk memtuskan kalau hal ini harus diselesaikan dan tidak boleh keluar dari jalur hukum," tambah Ruki.

Pelimpahan kasus itu sendiri baru diputuskan pada Minggu (1/3) sore.

"Keputusannya kita ambil hari Minggu sore. Itu betul-betul keputusannya antara Kejagung, KPK dan kepolisian. Terjadi perdebatan yang cukup intens karena kita sama-sama orang hukum, saya juga orang hukum, Polri juga orang hukum, Jaksa Agung juga orang hukum, kita berdebat dengan segala cara," ungkap Ruki.

Namun masalahnya tidak ada jaminan baik dari Jaksa Agung maupun Wakapolri bahwa kasus Budi Gunawan tidak akan berhenti di tengah jalan.

"Tidak boleh terburu-buru juga (menilai akan ada penghentian perkara). Persoalannya, saya belum melihat berkas-berkas perkara yang diserahkan KPK ke Kejaksaan Agung seperti apa. Sementara dalam penjelasan KPK disebutkan bahwa Polri pernah menangani kasus yang sama. Dengan pemikiran itulah kami akan meneruskan ke Polri agar lebih efektif dibanding kalau nantinya tetap ditangani oleh kejaksaan," ungkap Prasetyo.

Sedangkan Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti menyatakan bahwa Polri akan mempelajari berkas yang dilimpahkan KPK ke Kejaksaan.

"Berkas ini yang harus kita pelajari, kita sendiri belum melihat berkas itu apa, apa bukti-bukti hasil penyelidikannya? Sehingga harus kita tindak lanjuti apakah memenuhi unsur alat buktinya untuk dinaikkan ke penyidikan. Kalau nanti misalnya sudah masuk ke penyidikan (Polri) bisa juga di-SP3 tapi yang bisa dipastikan oleh KPK dan Polri, kasus Pak BG ini masih penyelidikan karena penyidikannya dibatalkan putusan praperadilan sehingga saya berangkat dari proses penyeldikan," jelas Badrodin.

    
Kekalahan kedua

Setelah kalah di praperadilan, ternyata upaya kasasi KPK juga ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena dianggap tidak memenuhi syarat formal.

"Belum ada penetapan dari ketua pengadilan (Jakarta Selatan). Tapi tidak mungkin dikirim (berkasnya ke Mahkamah Agung) karena bukan materi yang dapat diajukan kasasi," kata Humas PN Jaksel Made Sutrisna pada Senin (23/2).

Syarat tersebut berdasarkan Surat Edaran MA No 8 tahun 2011 tentang perkara yang tidak memenuhi syarat kasasi dan peninjauan kembali.

"Kalau mengacu ke aturan atau putusan MK terhadap putusan praperadilan tidak bisa diajukan upaya hukum lain. Putusan itu mengatur praperadilan tidak dapat dikasasi," ungkap Made.

Upaya Peninjauan Kembali (PK) juga tidak diajukan oleh KPK karena PK hanya dapat diajukan oleh pihak terpidana atau ahli waris dan bukan penegak hukum.

"Kalau PK, kita 'kan dasarnya KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), apakah seorang penegak hukum diperkenankan mengajukan PK? Tidak. Di regulasinya kita kan tidak boleh ada. PK hanya boleh diajukan oleh terpidana dan ahli waris, bukan penegak hukum, jadi intinya begitu," kata Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji.


Kekalahan ketiga

Kekalahan KPK juga tampak dari masih berlanjutnya penyidikan terhadap dua pimpinan KPK nonaktif Abraham Samad yang diduga terlibat kasus pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan wewenang, serta Bambang Widjojanto yang diduga menyuruh saksi memberikan keterangan palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi pada 2010.

"Kasus-kasus yang ditangani Polri yaitu saudara AS (Abraham Samad) dan BW (Bambang Widjojanto) akan diserahkan ke Kejaksaan juga untuk menjalani tahapan-tahapannya," kata Prasetyo.

Sedangkan kasus-kasus yang masih di tahap penyelidikan menurut Prasetyo akan dikaji ulang.

"Kasus-kasus yang diselidiki oleh Mabes Polri melibatkan beberapa anggota KPK, satu per satu akan diteliti ulang oleh Polri tentang bagimana kelanjutannya, yang pasti semuanya diharapkan melakukan penyelesaian," ungkap Prasetyo.

Satu kasus yang dimaksud adalah penetapan seorang penyidik KPK yaitu Novel Baswedan yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan penganiayaan hingga menyebabkan korban jiwa pada 2004 saat menjadi Kepala Satuan Tugas Reserse Kriminal Polda Bengkulu.

Pada saat itu Novel yang mengambil alih tanggung jawab anak buahnya dan ia pun sudah mendapat teguran keras. Kasus itu tadinya ditangani Polda Bengkulu lalu dilimpahkan ke Bareskrim Polri.

Sedangkan kasus yang masih di tingkat penyelidikan setidaknya ada sembilan kasus antara lain penyelidikan pimpinan KPK Adnan Pandu Praja terkait dugaan pemalsuan surat akta perusahaan pada 2005 saat menjadi kuasa hukum PT Deasy Timber, selanjutnya terkait Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengenai dugaan menerima gratifikasi saat mengani tindak pidana korupsi Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) pada 2008.

Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi juga dilaporkan karena diduga telah bertemu dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin pada 2008-2010 untuk membicarakan tentang kasus yang sedang KPK tangani dan penyelidikan kasus lain. Masih ada juga pelaporan terhadap Direktur Penyidikan, Direktur Penyelidikan dan Direktur Pengaduan Masyarakat yang terancam menjadi tersangka.

"Untuk yang masuk ke penyidikan ada instrumen hukum SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) tapi instrumen itu harus ada persyaratannya yaitu sepanjang ada unsur tidak memenuhi, tapi bila ada (unsur) harus dilanjutkan ke penuntut umum. Sedangkan kalau kasus di penyelidikan bisa saja tidak akan kita lanjutkan tapi menyangkut pihak ketiga sehingga saya harus membicarakan dulu atau berkoordinasi dengan pihak pelapornya agar di kemudian hari tidak terjadi tuntutan oleh pihak Kapolri," tambah Badrodin.

Terkait kemungkinan deponering yaitu kewenangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, Prasetyo menyatakan hal itu tidak bisa dilakukan sembarangan terhadap kasus AS dan BW.

"Saya belum bisa memberikan jawaban yang pasti apakah akan dilakukan pendekatan dengan melakukan deponering. Deponering adalah hak prerogatif jaksa agung tapi tidak bisa diterapkan sembarangan. Alasan satu-satunya adalah demi kepentingan umum. Kita akan melihat perkara AS dan BW ini apakah bisa diterapkan demi kepentingan umum atau tidak, kita belum bisa untuk menentukan sekarang ini," ungkap Prasetyo.

    
Kalah telak

"KPK ini sudah jatuh tertimpa tangga, karena kalah di praperadilan, ada dua pimpinan KPK yang menjadi tersangka, dua pimpinan dinonaktifkan dan terakhir pelimpahan kasus BG ke kejaksaan. Kalau di sepak bola, KPK tertinggal 0-4, tidak ada perlawanan balik oleh KPK," kata Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho.

Emerson menilai bahwa KPK terlalu cepat menyerah melawan putusan praperadilan yang dikeluarkan hakim Sarpin. Kasasi pun belum keluar putusan dan PK juga belum diajukan sehingga seharusnya tidak boleh 'give up' dulu.

"Ini riskan untuk disalahgunakan dan bisa saja dihentikan karena  tidak mungkin polisi menyidik korpsnya sendiri. Tidak ada supervisi di kejaksaan," ungkap Emerson.

Apalagi, Jaksa Agung saat ini adalah HM Prasetyo yang merupakan mantan politikus Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

"Kenapa ragu dengan kejaksaan? Karena kejaksaan dipimpin oleh HM Prasetyo yang adalah politisi Nasdem dan salah satu partai yang mendorong BG sebagai kapolri terpilih," tambah Emerson.

Sikap KPK yang mudah menyerah itu memberikan kerugian kepada KPK karena mengurangi kepercayaan publik.

"KPK yang mudah menyerah ini akan menjadi pengurangan kepercayaan publik terhadap KPK karena publik menilai KPK segan dalam pemberantasan korupsi. Penilaian publik bahwa KPK adalah lembaga yang disegani dalam pemberantasan korupsi berubah menjadi lembaga yang segan dalam upaya pemberantasan korupsi," jelas Emerson.

Tindakan KPK ini berpotensi ditiru oleh pelaku korupsi lainnya yaitu meminta agar kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan atau kepolisian melalui jalan praperadilan.

Ia juga mengkritik plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki yang berasal dari unsul Polri.

"Ruki mengalami konflik kepentingan karena merupakan mantan jenderal polisi. Apa misi Pak Ruki dipilih menjadi plt? Mau menyelamatkan KPK atau menyelamatkan kasus-kasus tertentu? Jangan-jangan ini bukan gebrakan kasus pertama atau terakhir? Jangan-jangan kasus BLBI, Century juga akan dihentikan?" kata Emerson.

Emerson juga menilai kunci penyelesaian kasus BG terletak pada Presiden Joko Widodo.

"Kuncinya adalah Jokowi karena dia tidak berani mengambil sikap. Harusnya Jokowi bisa memerintahkan gelar perkara khusus atau melibatkan tim independen dalam perkara ini. Jokowi melakukan pembiaran atas kriminalisasi KPK dan jalan tengah memberhentikan BW dan AS. Kalau di zaman SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) KPK masih kuat meski dikriminalisasi, tapi di masa Jokowi KPK malah menyerah," ungkap Emerson.

    
Pegawai belum menyerah

Meski pimpinan yang menjadi simbol resmi KPK menyatakan menyerah, namun pegawai KPK dengan berani menyatakan tidak menyerah dan melawan korupsi.

Hal itu mereka sampaikan melalui aksi pada Selasa (3/3) pagi di bawah komando Wadah Pegawai KPK ada sekitar 500 pegawai KPK dengan baju hitam yang mengajukan tiga tuntutan.

Tuntutan pertama adalah menolak putusan pimpinan KPK yang melimpahkan kasus BG ke kejaksaan. Kedua, meminta Pimpinan KPK mengajukan upaya hukum PK atas putusan praperadilan kasus BG, dan ketiga, meminta Pimpinan menjelaskan secara terbuka strategi pemberantasan korupsi KPK kepada pegawai KPK.

"Saudara-saudara pertama, dalam kondisi apapun upaya pemberantasan korupsi harus tetap berjalan, kedua jika ada satu juta pemberantas korupsi pastikan kita adalah salah satunya jika ada 1.000 pemberantas korupsi, kita adalah salah satunya, jika kita adalah 100 pemberantas korupsi pastikan kita adalah salah satunya. Jika kita adalah 10 pemberantas korupsi pastikan kita adalah salah satunya, jika hanya ada 1 pemberantas korupsi itu adalah kita kawan-kawan," kata Ketua Wadah Pegawai Faisal berorasi di halaman depan gedung KPK, Selasa.

Sedangkan salah seorang pegawai KPK Yudi Purnomo meminta agar pegawai tidak takut dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Apakah kita kalah kawan-kawan? Apakah kita takut? Rakyat menitipkan amanah kepada kita untuk memberantas korupsi. Tidak ada satu pun yang bisa membajak perjuangan kita. Apakah kawan-kawan takut? Tidak," kata Yudi.

Ia meminta agar para pegawai juga melunasi utang dari para pembayar pajak dalam bekerja.

"Pilihan kita jelas hidup mulia atau mati menanggung malu. Mulai hari ini kita akan bayar pajak yang diberikan rakyat dengan darah. Para pemimpin yang katanya negarawan bisa saja memenjarakan kita, tapi mereka tidak akan pernah bisa memenjarakan hati kita, hari ini kita tidak akan pernah lelah, kita tidak pernah berhenti melawan koruptor," ungkap Yudi berapi-api.

Di tengah kerumunan para pegawai yang mengenakan kemeja hitam maupun warna gelap lain, hadir juga pelaksana tugas (plt) Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dan plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji. Sedangkan pejabat struktural yang hadir terlihat Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono an Direktur Penuntutan KPK Ranu Mihardja.

Mereka bergabung bersama dengan penyelidik, penyidik, penuntut umum, direktur penuntutan, direktur gratifikasi, pengaduan masyarakat, hubungan masyarakat, pendidikan pelayanan masyarakat, pengawal tahanan untuk membuat pernyataan dan tanda tangan di sehelai kain putih panjang.

Ruki sendiri tidak merasa diserang oleh aksi para pegawainya tersebut.

"Dengan senang hati saya simak, saya dengar, saya tanda tangan. Itu suara saya. Saya dan Pak Indriyanto adalah bagian dari pegawai dan saya tidak mau berpisah dengan mereka (pegawai)," kata Ruki.

Jenderal polisi bintang satu itu bahkan mengaku merasa senang.

"Saya senang, saya terharu karena mereka menjadi begini adalah bentukan kami pimpinan jilid 1. Saya pimpinan jilid 1 yang diminta turun kembali untuk menutup kekosongan jilid 3 karena itu," tambah Ruki.

Terdapat beberapa pamflet dengan gambar tangan menyerupai jari telunjuk dan jari tengah menunjuk ke depan dan tiga jari sisa menutup. Pamflet itu dibawa dan ditempelkan di beberapa lokasi di gedung KPK dengan beberapa variasi tulisan.

Pertama bertuliskan "Kita perangi korupsi: Kalau kamu lelah berjuang di kantormu, jangan kamu berani datang ke sini. Dari dulu keluarga kita adalah keluarga pejuang. Lawan!"
Pamflet kedua bertulis "Pergilah! Kau lawan itu! Mamak sudah rela kau harus mati dalam perjuangan! Lawan!"
Pamflet ketiga adalah "Satu Luka perasaan maki puji dan hinaan tidak mengubah sang jagoan menjadi mahluk picisan. Lawan! yang merujuk pada petikan puisi Rendra.

Artinya bara api perlawanan korupsi para pegawai KPK masih menyala, pertanyaan yang tinggal adalah sampai kapan bara itu tetap menyala dan tak kalah lagi?

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015