Tanjungpandan, Belitung, (ANTARA Babel) - Seorang peneliti asal Jepang, Profesor Akifumi Iwabuchi memprakarsai pembentukan organisasi persatuan Suku Sekak yang merupakan penduduk asli Bangka Belitung.

"Kebudayaan Suku Sekak di Bangka Belitung sudah 70 persen hilang, jumlah mereka hanya sekitar 900 orang dan itu sudah merupakan campuran dengan Suku Melayu atau yang lain, oleh sebab itu pembentukan persatuan ini penting dilakukan," kata Akifumi di Tanjungpandan, Belitung, Kamis.

Akifumi menjelaskan, dengan dibentuknya organisasi persatuan Suku Sekak, diharapkan mereka dapat saling mendukung dalam melestarikan adat dan budaya mereka.

"Banyak generasi muda Sekak mengatakan pada saya mereka ingin belajar budaya asli Sekak tapi sayangnya mereka tidak dapat menemukan guru atau tetua yang dapat mengajari mereka," kata dia.

Profesor dari Fakultas Sosial Antropologi, Universitas Oxford itu menjelaskan, tinggal 20 persen dari sekitar 900 orang Suku Sekak yang bisa berbahasa Sekak.

"Mereka tidak tinggal merata di setiap daerah, itu membuat generasi muda yang sudah tidak memiliki tetua kesulitan untuk belajar mengenal kebudayaan mereka," kata Akifumi yang sudah satu tahun terakhir menggeluti kehidupan Suku Sekak di Bangka Belitung.

Beberapa contoh kepunahan budaya Sekak, kata Akifumi, selain dilihat dari sedikitnya penutur Bahasa Sekak juga bisa dilihat dari hilangnya upacara-upacara adat Sekak seperti Buang Patong dan Kundang Nambak.

"Setelah tahun 60-an, tradisi itu hilang karena hampir semua orang Sekak masuk Agama Islam dan upacara tersebut dianggap bukan ajaran Islam," kata dia.

Oleh sebab itu, Akifumi berinisiatif untuk mengumpulkan para tetua Suku Sekak dan dukun suku di lima daerah di Bangka Belitung, Pulau Semujur, Teluk Kelabat, Pulau Lepar Pongok, Tanjung Pandan, dan Gantung Manggar.

"Saya akan mengumpulkan mereka pada Senin (19/11) untuk membicarakan masalah tersebut, sehingga langkah besar untuk menyelamatkan kebudayaan suku asli Belitung itu bisa dilakukan secepatnya," kata dia.

Akifumi yang telah mengajar Antropologi Kelautan dan Arkeologi Bawah Air sejak tahun 1994 di Universitas Tokyo Ilmu Kelautan & Teknologi di Jepang itu, menyayangkan semakin hilangnya kebudayaan asli Indonesia.

"Saya bukan orang Sekak, saya bukan orang Indonesia, tapi saya peduli, kebudayaan adalah sesuatu yang penting untuk anak cucu kita untuk mengenali leluhurnya, saya berharap Suku Sekak dapat menentukan langkah selanjutnya untuk menyelamatkan diri," kata dia.

Profesor kelahiran Tokyo tahun 1960 itu telah melakukan penelitian selama kurang lebih 25 tahun di pesisir Sumatera. Dia menerbitkan buku "The People of Alas Valley".

Suku Sekak mendiami daerah peisir pantai dan mata pencaharian mereka adalah nelayan. Dulu hampir sebagian orang Sekak hidup dan melakukan seluruh aktivitas di atas perahu.

Tapi lambat laut kehidupan perahu telah ditinggalkan suku laut tersebut karena mereka telah berasimilasi dengan suku lain seperti Melayu Bangka Belitung.

"Setahu saya sekarang tinggal satu kelompok yang hidup di perahu-perahu, lainnya sudah hidup di darat dan bercampur dengan orang darat," kata dia.

Orang Sekak dikenal sangat mencintai laut. Mereka tidak serakah dan hanya mengambil apa yang dibutuhkan untuk makan selama satu hari.

Selama berabad-abad, orang Sekak hanya menggunakan tombak bertali untuk menangkap ikan sebelum mereka berasimilasi dengan suku lain di Bangka Belitung.

Sekarang orang Sekak dapat ditemukan hidup di rumah-rumah kayu di wilayah pesisir Bangka Belitung.

"Pada tahun 80-an, pemerintah Indonesia meminta orang Sekak untuk meninggalkan rumah perahu mereka untuk hidup di darat, sayangnya itu mengikis budaya Sekak," kata Iwabuchi.

Orang Sekak memang tidak 100 persen meninggalkan tradisi maritim, namun semua sudah tidak sama lagi.

Pewarta:

Editor : Ida


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2012