Jakarta (Antara Babel) - Angeline, bocah berusia 8 tahun, ditemukan dikubur di pekarangan rumah orang tua angkatnya di Kota Denpasar, Bali, setelah dikabarkan hilang sejak 16 Juni 2015.

Dari hasil autopsi, ditemukan luka benturan pada kepala kanan yang menyebabkan korban meninggal.

Selain itu, juga ditemukan luka memar pada wajah, leher, tangan, lengan, paha, pantat, dan punggung kaki akibat kekerasan benda tumpul.

Hingga saat ini, polisi baru menetapkan satu orang tersangka Agus, yakni pembantu di keluarga angkat Angeline.

Agus yang berasal dari Sumba, Nusa Tenggara Timur, itu diduga sebelumnya melakukan kekerasan seksual kepada bocah malang itu.

Angeline adalah bocah yang diangkat anak oleh Margaretha dan suaminya yang warga negara asing sejak gadis kecil tersebut masih bayi.

Hamidah, ibu kandung Angeline mengatakan, anaknya diadopsi Margaretha, dan dirinya menerima uang untuk biaya persalinan dan kesehatan.

"Saat itu suami tidak mampu membiayai persalinan, dan Margareth memberi saya uang Rp800 ribu untuk persalinan dan Rp1 juta biaya kesehatan saya," ujar Hamidah.

Namun, dalam surat perjanjian, Angeline akan dikembalikan ke orang tuanya setelah berusia 18 tahun.

Rosidi, ayah kandung korban menerangkan bahwa perkenalannya dengan Margaretha saat berada di klinik persalinan, dan saat itu pihaknya tidak memiliki biaya untuk persalinan.  
    
"Saat itu kami tidak punya biaya dan saya juga masih bekerja serabutan," ujarnya.

    
Menyalahi Aturan
   
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan proses adopsi Angeline tidak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah.

"Untuk bisa mengadopsi seorang anak haruslah terdaftar di Dinas Sosial dan Kementerian Sosial, serta ditetapkan oleh pengadilan," kata Mensos.

Menurut Mensos, kasus Angeline menunjukkan semua proses tidak ada yang dipatuhi. Hal itu, terlihat dengan tidak adanya permohonan orang tua angkat yang warga negara asing (WNA) ke Kemensos.

Untuk pengangkatan anak (adopsi) sebenarnya sudah diatur secara rinci dan jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 54 tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak.

PP tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga ada dalam peraturan Dirjen Kemensos.

Berbagai regulasi dan aturan tersebut sudah sangat rinci, jelas dan terang benderang. Sehingga, ada perbedaan dalam proses mengangkat anak yang diajukan oleh calon orang tua Warga Negara Indonesia (WNI)-WNI, WNI-WNA dan WNI orang tua tunggal.

"Proses adopsi orang tua WNI, permohonan cukup disampaikan hingga dinsos tingkat provinsi. Sementara untuk adopsi WNI ke WNA dan WNI single parent permohonan mesti disampaikan ke Kemensos," katanya.

Kemudian, tim dari dinsos dan Kemensos nanti akan meninjau keadaan calon orang tua angkat tersebut, sehingga dinyatakan layak dan ditetapkan oleh pengadilan.

"Pada kasus adopsi Angeline, tidak tercatat permohonan adopsinya baik di dinsos ataupun Kemensos. Anak tersebut diadopsi dari pasangan orang tua WNI kepada pasangan orang tua WNA-WNI," ucapnya.

Bagi siapa saja yang tidak bisa memberikan perlindungan dengan baik, bisa dijerat pasal penelantaran anak, dicabut sementara atau dicabut permanen hak asuhnya.

Jika ada pelanggaran pascapenetapan pengadilan, menurut UU perlindungan anak dan hak asuh orang tua angkat bisa dicabut.

    
Regulasi Adopsi
    
Dirjen Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Samsudi mengatakan, pengangkatan atau adopsi anak harus mengikuti regulasi yang telah ditetapkan pemerintah.

"Mengangkat anak diperbolehkan negara. Namun, mesti melalui prosedur dan proses yang benar sesuai regulasi yang ditetapkan pemerintah. Hal itu sebagai perlindungan dan hak anak di masa datang," kata Samsudi.

Mengangkat seorang anak melalui prosedur yang benar, dijamin tidak ada masalah di kemudian hari. Tidak sedikit kasus adopsi anak hanya berbekal keterangan notaris. Padahal, seharusnya melalui proses setahap demi tahap untuk memastikan calon orangtua adopsi layak dan mampu.

"Salah satu kasus yang menimpa Angeline yang tidak mengikuti prosedur mengadopsi anak secara benar. Dampaknya bisa membahayakan fisik dan psikis, bahkan hingga menyebabakan kematian," katanya.

Terdapat sembilan persyaratan mengadopsi anak secara legal, berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No 41/HUK/Kep/VII/1984, tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak.

Pertama, pasangan harus berstatus menikah dengan usia minimal 25 tahun dan maksimal 45 tahun. Kedua, minimal pasangan yang akan mengadopsi anak telah menikah pada tahun saat pengajuan.

Pasangan tersebut harus menyerahkan dokumen secara tertulis berisikan keterangan, seperti tidak memungkinkan memiliki anak kandung dari dokter ahli, tidak memiliki anak, memiliki satu anak kandung, atau hanya memiliki seorang anak angkat, tetapi tidak mempunyai anak kandung.

Ketiga, harus memiliki kondisi keuangan dan sosial mapan dengan menyerahkan surat keterangan dari negara asal pasangan tersebut. Keempat, memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal pemohon (berlaku bagi pasangan yang bukan Warga Negara Indonesia (WNI).

Kelima, surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian. surat keterangan dokter yang menyatakan pasangan tersebut adalah sehat secara jasmani dan rohani.

Keenam, telah menetap sekurang-kurangnya tiga tahun di Indonesia yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang (berlaku bagi pasangan yang bukan WNI).

Ketujuh, telah merawat dan memelihara anak yang akan diadopsi tersebut sekurang-kurangnya enam bulan untuk anak balita, dan satu tahun untuk anak yang berumur 3-5 tahun.

Kedelapan, surat pernyataan secara tertulis yang menyatakan bahwa pengangkatan tersebut memang semata-mata untuk kepentingan dan kesejahteraan anak yang bersangkutan.

Kesembilan, adopsi anak tidak hanya berlaku bagi pasangan suami istri, tetapi juga dibolehkan untuk wanita atau pria yang masih lajang asalkan mempunyai motivasi yang kuat untuk mengasuh anak.

    
Putusan Pengadilan
    
Samsudi mengatakan, prosedur resmi untuk mengadopsi anak harus mengajukan permohonan lewat pengadilan.

"Ada prosedur resmi mengadopsi anak, salah satunya mengajukan surat permohonan ke pengadilan di wilayah tempat tinggal calon anak angkat," kata Samsudi.

Samsudi menjelaskan, Pemerintah telah menunjuk dua yayasan untuk melayani proses adopsi, yaitu Yayasan Sayap Ibu (Jakarta) dan Yayasan Matahari Terbit (Surabaya).

Setelah mengajukan surat permohonan, petugas dari dinas sosial akan mengecek. Mulai dari kondisi ekonomi, tempat tinggal, penerimaan dari calon saudara angkat (bila sudah punya anak), pergaulan sosial, kondisi kejiwaan, dan lain-lain.

Pengecekan keuangan dilakukan untuk mengetahui pekerjaan tetap dan penghasilan memadai. Bagi WNA harus ada persetujuan/izin untuk mengadopsi bayi Indonesia dari instansi yang berwenang dari negara asal.

Lalu calon orang tua dan anak angkat diberi waktu untuk saling mengenal dan berinteraksi. Pengadilan akan mengizinkan membawa si anak untuk tinggal selama 6-12 bulan, di bawah pantauan dinas sosial. Setelah itu menjalani persidangan dengan menghadirkan minimal dua saksi.

Setelah menjalani sidang, ada dua kemungkinan yaitu permohonan disetujui atau ditolak. Bila disetujui, akan dikeluarkan surat ketetapan dari pengadilan yang berkekuatan hukum. Selanjutnya, dicatatkan ke kantor catatan sipil.

Proses minimal yang mesti dijalankan calon orang tua angkat adalah surat pernyataan orangtua ketika menyerahkan anak.

    
Anak Panti Asuhan
    
Untuk calon anak angkat yang berasal dari panti asuhan, yayasan harus mempunyai surat izin tertulis dari Menteri Sosial (Mensos) yang menyatakan yayasan tersebut telah diizinkan di bidang kegiatan pengangkatan anak.

Calon orang tua angkat mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, calon anak angkat harus mendapat izin tertulis dari Mensos /pejabat yang ditunjuk. Setelah permohonan itu diterima pengadilan negeri akan segera dilakukan pemeriksaan.

Tahap-tahap yang harus dilalui untuk pengangkatan anak panti asuhan, pertama pengadilan mendengar langsung saksi-saksi, calon orang tua angkat, orang tua kandung, badan atau yayasan sosial yang telah mendapat izin dari pemerintah di sini yaitu Kemensos, seorang petugas/pejabat instansi sosial setempat, calon anak angkat (jika dia sudah bisa di ajak bicara), dan pihak kepolisian setempat (Polri).

Kedua, pengadilan memeriksa bukti-bukti berupa surat-surat resmi, akte kelahiran/akte kenal lahir yang di tandatangani wali kota atau bupati setempat, surat resmi pejabat lainnya, akte notaris dan surat-surat di bawah tangan (korespondensi), surat-surat keterangan, pernyataan-pernyataan dan surat keterangan dari kepolisian tentang calon orang tua angkat dan anak angkat.

Sebelum dikeluarkan penetapan sebagai jawaban dari permohonan adopsi, pengadilan memeriksa dalam persidangan tentang latar belakang motif kedua belah pihak (pihak yang melepas dan pihak yang menerima anak angkat).

Ketiga, penjelasan hakim tentang akibat hukum yang ditimbulkan setelah melepas dan mengangkat calon anak angkat. Sebelum memberikan penetapan hakim memeriksa keadaan ekonomi, kerukunan, keserasian kehidupan keluarga, serta cara mendidik orangtua angkat.

Kira-kira tiga hingga empat bulan proses penetapan status anak adopsi/anak angkat itu selesai. Penetapan itu disertai akte kelahiran pengganti yang menyebutkan status anak sebagai anak angkat orangtua yang mengadopsi. Adopsi tidak bisa dibatalkan oleh siapa pun.

    
Ketatkan Aturan
    
Anggota Satgas Perlindungan Anak Dewi Motik Pramono meminta pemerintah mengetatkan peraturan adopsi anak untuk mencegah terulangnya kasus yang menimpa gadis cilik Angeline pada anak lain di kemudian hari.

Ia melihat bahwa hak anak saat ini masih rentan direnggut oleh pihak dewasa. Terlebih dalam status sebagai anak adopsi.

"Dengan peristiwa ini, terlihat bagaimana rentannya anak. Apalagi seorang anak angkat," ujar Dewi.

Dewi berharap semua pihak mau menyadari ada potensi terjadi kasus-kasus kekerasan terhadap anak sehingga hal yang sama tidak terjadi lagi.

Pewarta: Desi Purnamawati

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015