Jakarta (Antara Babel) - Kasus gadis cilik berusia delapan tahun bernama Angeline yang sebelumnya dilaporkan hilang oleh ibu angkatnya, Margriet Christina Megawe pada 16 Mei 2015, kini telah terungkap.
Ternyata Angeline tidak hilang, tetapi bocah malang tersebut telah menjadi korban pembunuhan yang dilakukan tersangka Agus Tai Andamai (25), pembantu di rumah ibu angkatnya sendiri yang beralamat di Jalan Sedap Malam Nomor 26, Sanur, Denpasar, Bali.
Polisi menemukan jasad Angeline yang sudah tewas terkubur di belakang halaman rumahnya, di dekat kandang ayam pada 10 Juni 2015.
Dari hasil autopsi yang dilakukan pihak kepolisian terhadap jasad Angeline, ditemukan luka benturan pada kepala kanan yang menyebabkan korban meninggal. Selain itu, juga ditemukan luka memar pada wajah, leher, tangan, lengan, paha, pantat, dan punggung kaki akibat kekerasan benda tumpul.
Terungkapnya kasus ini berawal dari laporan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise yang langsung mengunjungi kediaman Angeline di Denpasar, pada 6 Juni 2015.
Aparat kepolisian setempat kemudian melakukan pemeriksaan intensif terhadap kasus yang dilaporkan banyak kejanggalan tersebut.
Dalam penyelidikan, polisi menemukan bau yang sangat menyengat di dekat kandang ayam di belakang kediaman Margriet. Kemudian setelah diselidiki lebih lanjut memang benar bau tersebut berasal dari tubuh Angeline yang dikubur dekat halaman belakang rumahnya.
Hingga kini, polisi telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini yakni mantan pembantu di rumah Margriet, Agus Tai Andamai (25) sebagai tersangka pembunuh Angeline, dan Margriet sebagai tersangka dugaan penelantaran anak.
Polisi juga masih terus menyelidiki kemungkinan keterlibatan Margriet dalam pembunuhan anak angkatnya tersebut.
Meski tersangka Agus menyesali semua perbuatannya, namun dia tetap harus menerima hukuman yang setimpal atas perbuatannya. Demikian pula jika ada tersangka lain yang mungkin terlibat langsung atas pembunuhan keji tersebut.
Tragedi yang menimpa Angeline menyita perhatian dan kepedulian banyak pihak. Berbagai pendapat pun bermunculan mulai dari proses adopsi anak hingga keinginan merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak.
Angeline merupakan bocah yang diangkat anak oleh Margriet dan suaminya yang warga negara asing sejak gadis kecil tersebut baru dilahirkan.
Menurut Hamidah, ibu kandung Angeline, anaknya diadopsi Margriet karena dirinya dan suaminya tidak memiliki biaya untuk persalinan Angeline dan untuk pemulihan kesehatannya.
"Saat itu suami tidak mampu membiayai persalinan, dan Margareth memberi saya uang Rp800 ribu untuk persalinan dan Rp1 juta untuk biaya kesehatan saya," ujar Hamidah.
Namun, dalam surat perjanjian, Angeline akan dikembalikan ke orang tuanya setelah berusia 18 tahun.
Salahi Aturan
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menegaskan proses adopsi Angeline tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah, karena untuk bisa mengadopsi seorang anak haruslah terdaftar di Dinas Sosial dan Kementerian Sosial, serta ditetapkan oleh pengadilan.
Menurut Mensos, kasus Angeline menunjukkan semua proses tidak ada yang dipatuhi. Hal itu, terlihat dengan tidak adanya permohonan orang tua angkat yang warga negara asing (WNA) ke Kemensos.
Untuk pengangkatan anak (adopsi) sebenarnya sudah diatur secara rinci dan jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak.
PP tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014. Selain itu, juga ada dalam peraturan Dirjen Kemensos.
Berbagai regulasi dan aturan tersebut sudah sangat rinci dan jelas, termasuk adanya ketentuan perbedaan dalam proses mengangkat anak yang diajukan oleh calon orang tua Warga Negara Indonesia (WNI)-WNI, WNI-WNA dan WNI orang tua tunggal.
"Proses adopsi orang tua WNI, permohonan cukup disampaikan hingga dinas sosial tingkat provinsi. Sementara untuk adopsi WNI ke WNA dan WNI single parent permohonan mesti disampaikan ke Kemensos," tuturnya.
Kemudian, tim dari dinsos dan Kemensos nanti akan meninjau keadaan calon orang tua angkat tersebut, sehingga dinyatakan layak dan ditetapkan oleh pengadilan.
Pada kasus adopsi Angeline, tidak tercatat permohonan adopsinya baik di dinas sosial ataupun Kemensos, padahal anak tersebut diadopsi dari pasangan orang tua WNI kepada pasangan orang tua WNA-WNI.
Ketentuan itu juga mengatur bagi siapa saja yang tidak bisa memberikan perlindungan dengan baik, bisa dijerat pasal penelantaran anak, dicabut sementara, atau dicabut permanen hak asuhnya.
Karena itulah, anggota Satgas Perlindungan Anak, Dewi Motik Pramono meminta pemerintah mengetatkan peraturan adopsi anak untuk mencegah terulangnya kasus yang menimpa Angeline.
Menurut dia, hak anak saat ini masih rentan direnggut oleh orang dewasa, terlebih dalam status sebagai anak adopsi atau anak angkat.
Dewi Motik berharap semua pihak mau menyadari bahwa dalam proses adopsi ada potensi terjadi kasus-kasus kekerasan terhadap anak.
Revisi UU
Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Fahira Idris menyatakan negara harus selalu hadir melindungi anak-anak dari setiap ancaman kekerasan, agar berbagai kasus seperti yang menimpa Angeline, tidak terulang lagi.
Ketua Yayasan Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri (Abadi) itu mengatakan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa negara, pemerintah, dan pemerintah daerah melindungi setiap anak dari ancaman kekerasan dan pembunuhan.
Fahira prihatin bahwa walaupun sudah ada regulasi tentang perlindungan anak, kekerasan fisik, seksual, dan psikologis terhadap anak dengan berbagai cara meningkat tiap tahun, bahkan banyak pelaku kekerasan terhadap anak ternyata adalah orang terdekatnya.
Menurut anggota DPD RI asal DKI Jakarta itu, maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia karena sebagian besar masyarakat masih belum memandang kekerasan terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa.
Fahira mengaku sudah menyampaikan berkali-kali kepada DPR dan pemerintah untuk segera merevisi UU Perlindungan Anak, untuk mengubah hukuman maksimal 15 tahun menjadi hukuman mati bagi pelaku kekerasan anak yang sadis, seperti kasus Angeline.
"Kita perlu 'bluperint' (cetak biru) perlindungan anak untuk merevolusi mental masyarakat bahwa kekerasan terhadap anak terutama fisik dan seksual adalah kejahatan luar biasa," tegasnya.
Senada dengan Fahira, anggota Komisi VIII DPR Maman Imanul Haq memastikan segera mendorong revisi UU tersebut dibahas Badan Legislasi.
Dia juga meminta pemerintah melalui presiden dan kementerian terkait untuk lebih proaktif terhadap perlindungan anak. Presiden, katanya, semestinya harus berpikir seluruh anak di bawah perlindungannya sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Maman juga melihat peran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Kementerian Sosial masih sangat kurang. "DPR akan mendorong bagaimana kementerian yang berkaitan dengan anak mengubah cara pandang terhadap anak," lanjutnya.
Maman mengingatkan semua kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini tidak berarti apapun tanpa keberhasilan menyelamatkan masa depan generasi bangsa.
Sementara Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengatakan desakan untuk merevisi UU Perlindungan Anak agar bisa memberi efek jera terhadap pelaku kejahatan atas anak.
Fahri mengaku prihatin dengan besaran ancaman hukuman bagi tersangka pembunuhan Angeline, yang hanya 3-15 tahun penjara.
"UU tentang Perlindungan Anak sudah harus direvisi. Negara harus meninjau kembali sistem perlindungan anak, sehingga kita perlu memiliki sistem perlindungan anak yang lebih komprehensif," tegasnya.