Jakarta (Antara Babel) - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan (KPP) memprotes pernyataan Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Nonyudisial Suwardi terkait dengan penghapusan Komisi Yudisial dari Pasal 24B UUD 1945.

Suwardi meminta Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menghapus keberadaan Komisi Yudisial (KY) dari Pasal 24B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin (13/7), KPP menyatakan bahwa pernyataan Suwardi bisa jadi merupakan salah satu bentuk upaya pelemahan KY.

Meskipun sejumlah pihak kerap menduga bahwa hubungan antara MA dan KY mengalami pasang surut atau bahkan tidak harmonis, Komisioner KY Taufiqurrohman Syahuri menampik dugaan itu.

Dalam pesan singkat yang diterima di Jakarta beberapa waktu lalu, Taufiq menyatakan bahwa hubungan KY jilid dua dengan MA justru baik dan produktif.

"Perbedaan pendapat itu wajar. Namun, dapat dilihat bahwa hubungan antara KY dan MA tergolong baik, justru produktif. Dapat dilihat dari jumlah putusan Majelis Kehormatan Hakim dari tahun ini kan," ujar Taufiq.

Hal serupa juga dikatakan oleh Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) Sunarto. Dia juga menegaskan bila hubungan antara lembaga tempat dirinya bekerja dan KY baik-baik saja. Hal itu dikatakan Sunarto ketika dirinya menjalani uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung (CHA) di Jakarta, Selasa (30/6).

Kendati demikian, dia tidak menampik riak-riak kecil yang terjadi dalam hubungan MA dengan KY karena rekomendasi penjatuhan sanksi dari KY yang tidak ditindaklanjuti.

"Sampai sekarang tidak ada hukuman disiplin yang tidak kami tindak lanjuti. Hubungan MA dan KY baik-baik saja. Kalau ada riak-riak kecil, ya, wajarlah. Memang ada sanksi yang tidak dilanjuti karena terkait dengan teknik yudisial," ujar Sunarto.

Sunarto menjelaskan bahwa MA tidak akan memberikan toleransi sedikit pun pada setiap pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim. Akan tetapi, pihaknya akan tetap berhati-hati dalam menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap, kecuali jika pelanggaran yang dilakukan terkait dengan narkoba dan gratifikasi.

        
Catatan KPP
    
Selain pernyatakan Wakil Ketua MA terkait dengan penghapusan keberadaan Komisi Yudisial (KY) dari Pasal 24B UUD 1945, KPP rupanya mencatat sejumlah dugaan terkait dengan upaya pelemahan KY sebagai salah satu lembaga pengawas di negara ini.

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu menduga adanya upaya pelemahan Komisi Yudisial melalui uji materi UU KY pada tahun 2006 di Mahkamah Konstitusi (MK). Kala itu, MK membatalkan kewenangan KY dalam melakukan pengawasan terhadap hakim MK.

Selain itu, pada tahun 2012, dugaan upaya pelemahan dilakukan oleh rekan sejawat KY, yaitu MA, yang membatalkan delapan poin dalam Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Pelemahan KY juga diduga terjadi melalui MK ketika Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) pada awal 2015 mengajukan uji materi UU KY terkait dengan keterlibatan KY dalam seleksi pengangkatan hakim.

Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan berpendapat bahwa keterlibatan KY dalam seleksi pengangkatan hakim merupakan tugas KY selaku lembaga pengawas yang berupaya menjaga integritas dan profesionalitas calon hakim demi peradilan yang bersih dan bermartabat.

        
Sarpin dan Pelemahan KY
    
Dalam catatan KPP, dugaan upaya pelemahan KY yang terbaru justru datang dari seorang hakim yang berada dalam pengawasan KY, hakim Sarpin Rizaldi. Sarpin melaporkan dua Komisioner KY, Suparman Marzuki dan Taufiqurahman Syahuri, terkait dengan dugaan pencemaran nama baik.

Sarpin yang marah merasa bahwa kedua pimpinan KY tersebut telah mencemarkan nama baiknya terkait dengan putusan praperadilan yang diajukan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan.

"Saya merasa nama baik saya tercemar. Maka dari itu, saya melapor," ujar Sarpin di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Senin (30/3).

Namun, sangat disayangkan Sarpin tidak menjelaskan lebih rinci mengenai pernyataan KY yang mana yang telah membuatnya meradang.

Sebelum melapor ke polisi, kuasa hukum Sarpin telah melayangkan somasi terbuka agar pihak-pihak yang berkomentar negatif tentang Sarpin meminta maaf.

Hingga pada hari Jumat (10/7), Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso membenarkan bahwa terlapor dalam dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh Sarpin telah ditetapkan sebagai tersangka.

"Betul, kalau tidak salah kemarin terlapornya sudah ditetapkan sebagai tersangka," ujar Budi di kompleks Mabes Polri.

Komjen Pol. Budi Waseso juga berpesan agar kasus ini tidak disangkutpautkan dengan institusi. "Jangan kaitkan proses hukum dengan lembaga tertentu," ujarnya.

Media dan masyarakat kemudian kembali kisruh tentang penetapan tersangka atas dua pejabat Komisi Yudisial itu. Menanggapi maraknya komentar pro dan kontra tersebut, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol. Badrodin Haiti mengemukakan bahwa polisi bekerja atas dasar norma dan aturan serta ada tim penilai kinerja terhadap personelnya.

"Sudah ada norma dan aturannya bagaimana polisi bekerja. Ada yang menilai hasil kinerja. Kami bukan LSM yang sebentar-sebentar mundur," katanya di Jakarta, Rabu (15/7).

Akibat penetapan tersangka atas dua pejabat Komisi Yudisial itu sejumlah pihak mendesak supaya Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar (Kabareskrim Mabes) Polri Komjen Pol. Budi Waseso mundur atau diganti.

Badrodin pun mempertanyakan pemrosesan laporan Sarpin yang dikait-kaitkan dengan andil kemenangan Komisaris Jenderal Pol. Budi Gunawan dalam gugatan praperadilan.

"Bagaimana menilainya?" katanya.

Ia menegaskan bahwa kasus yang dilaporkan hakim Sarpin ke Bareskrim bukan bagian dari upaya kriminalisasi para penegak hukum, melainkan pemrosesan laporan kepolisian yang wajar.

"Jadi begini, kalau Anda melapor ke polisi, lalu polisi tidak memproses, Anda kecewa, tidak? Hakim Sarpin juga warga negara kan? Punya hak yang sama, dia juga boleh melapor," ujarnya.

Pewarta: Maria Rosari

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015