Hutan Pelawan Namang di Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, merupakan kawasan yang dilindungi dengan status Taman Keanekaragaman Hayati.
Hutan Pelawan juga disebut hutan kalung dan hutan endemik karena ditumbuhi pohon pelawan yang merupakan tanaman langka di provinsi yang dijuluki Negeri Serumpun Sebalai itu.
Hutan Pelawan memiliki luas 300 hektare, di mana 47 hektare merupakan hutan wisata dan sisanya hutan adat, dan mulai dilestarikan sejak 2008 yang digagas oleh Zaiwan (saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Namang).
Seluas 47 hektare kawasan hutan pelawan dengan pohon kayu berwarna merah itu sudah dikelola secara profesional menjadi kawasan wisata flora dan fauna, juga kawasan hutan budi daya lebah penghasil madu manis dan pahit.
Sementara sisanya seluas 253 hektare sudah direncanakan menjadi kawasan hutan kebun raya yang mayoritas ditumbuhi pohon endemik (pohon pelawan) dan jenis taman khas lokal lainnya.
Kelestarian hutan tersebut tetap terjaga dan tetap perawan, kendati areal hutan di sekelilingnya sudah rusak dan kritis karena aktivitas penambangan bijih timah liar yang beraktivitas secara sporadis.
Bahkan Hutan Pelawan yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Bandara Depati Amir Kota Pangkalpinang ini, menjadi satu dari beberapa destinasi wisata alam yang menjadi andalan Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah.
Menarik dan unik, itu kesan yang muncul saat wisatawan berkunjung dan merasakan atmosfer alam yang masih alami.
Suara burung berkicau terdengar merdu bersahut-sahutan dari dahan ke dahan kayu, juga suara monyet liar yang melompat dari pohon ke pohon.
Berbagai fasilitas pendukung sudah dibangun untuk membuat pengunjung betah berlama-lama mengitari kawasan hutan.
Sebuah jalan setapak dibangun khusus untuk memudahkan pengunjung mengeksplorasi kawasan hutan yang ditumbuhi pohon kayu langka itu.
Juga terlihat bentangan jembatan kayu yang cukup panjang melintasi sungai bening yang berwarna merah akibat pantulan dari pohon pelawan berwarna merah di bibir sungai.
Diusulkan penyelenggara ADWI
Pemerintah setempat sudah mengusulkan kawasan wisata Hutan Pelawan untuk masuk ke dalam Ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022.
Kawasan Hutan Pelawan yang terletak di Desa Namang itu satu dari 10 destinasi wisata yang diusulkan untuk masuk ADWI 2022 yang merupakan program unggulan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Mengusulkan Hutan Pelawan masuk ADWI 2022 bukan tanpa alasan, sudah memenuhi beberapa kriteria di antaranya daya tarik pengunjung yang memiliki keunikan dan keaslian alam.
Hutan Pelawan merupakan kawasan wisata keanekaragaman hayati yang memiliki keunikan budi daya madu pahit dan manis.Menurut Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Bangka Tengah, Zainal, menyatakan Hutan Pelawan satu-satunya tempat pembudidayaan madu pahit dan manis yang ada di Babel.
Wisatawan disuguhkan daya tarik hutan kayu pelawan (kayu langka) dan wisata madu dimana wisatawan bisa melihat langsung proses memanen madu dari hutan lepas.
Proses panen madu liar di Hutan Pelawan harus membawa pawang madu supaya lebah tidak menggigit dan dan mengeluarkan bisanya.
"Ada prosesi panen madu yang dipandu pawang madu, lebah hanya bisa terbang di atas kepala wisatawan tidak hinggap di tubuh dan menggigit," kata Zainal.
Di kawasan hutan, pemerintah daerah membangun jalur joging dari kayu dan beberapa unit rumah panggung kecil dari kayu, jalur joging dan jembatan yang terbuat dari kayu.
Hutan ini adalah kawasan asri di tengah kondisi lingkungan yang rusak akibat eksplorasi penambangan bijih timah yang berlangsung selama ratusan tahun.
Kondisi hutan tetap asri dan tak tersentuh aktivitas penambangan bijih timah karena begitu kuatnya keinginan pemerintah desa dan masyarakat melindunginya sebagai habitat hewan khas lokal terutama tempat bersarang lebah yang menghasilkan madu manis dan pahit.
Madu pahit yang berasal dari Hutan Pelawan Namang cukup terkenal, bahkan pemasarannya yang dikelola para UMKM sudah menjangkau hampir di seluruh provinsi di Indonesia.
Madu pahit ini berasal dari sarang lebah yang menghisap sari bunga pohon pelawan pada musim tertentu.
Fauna endemik lokal
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bangka Tengah sudah pernah membawa peneliti dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia untuk mengidentifikasi jenis flora dan fauna endemik lokal yang hidup dan berkembang biak di hutan tersebut.
Menurut Kepala Seksi Pengawasan pada DLH Bangka Tengah, Robby Romadona, terdeteksi ada ada ratusan jenis burung yang hidup bebas di hutan itu, juga menjadi habitat puluhan hewan melata yang saat ini sudah termasuk hewan langka.
Demikian juga berbagai jenis pohon (flora) langka khas Pulau Bangka tumbuh di hutan itu, di antaranya cukup terkenal dan jumlahnya cukup banyak yaitu pohon pelawan.
Selain itu, berbagai jenis pohon langka yang juga ditemukan dimana pohon itu mulai sulit ditemukan di tempat lain di Babel, di antaranya adalah pohon rempudung dan nyatoh.
Selain dikenal dengan pohon pelawan, hutan endemik ini juga dikenal dengan tempat berseminya Jamur Pelawan yang hanya muncul secara musiman dalam situasi dan kondisi cuaca tertentu.
Masyarakat sekitar sangat menunggu saat musim jamur pelawan yang hanya muncul saat peralihan musim panas ke musim hujan. Jamur pelawan itu mulai muncul jika saat malam hari terjadi hujan lebat disertai angin dan petir.
"Warga sekitar sangat hafal kapan munculnya jamur pelawan dan mereka mulai memburunya saat pagi hari karena harga jamur itu lumayan mahal, bisa mencapai Rp1,2 juta per kilogram," Robby.
Jamur ini mahal karena rasanya enak. Bahkan, sejumlah warga menyatakan rasanya seperti tetelan atau lemak sapi.
Jamur Pelawan itu juga disukai para wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Hutan Pelawan, membelinya untuk oleh-oleh dan ada juga yang memesan untuk langsung dimasak dan disantap bersama di rumah panggung di dalam kawasan hutan.
Pengelola Hutan Pelawan selain menyiapkan paket wisata berkunjung ke Hutan Pelawan, juga menyiapkan paket menu makanan lengkap yang di dalamnya disertai sayur jamur pelawan (kulat pelawan dalam bahasa Bangka).
Satu paket (satu dulang dalam bahasa Bangka) dibanderol Rp150 ribu hingga Rp400 ribu, dengan beragam menu makan yang disertai nasi dari beras merah khas lokal.
Benteng hewan endemik
Penggagas dan pengelola kawasan wisata Hutan Pelawan, Zaiwan mengatakan bahwa kawasan hutan seluas 300 hektare itu merupakan benteng terakhir sebagai tempat berlindung dan bertahan beragam hewan endemik.
Zaiwan yang saat itu (pada 2008) menjabat sebagai Kepala Desa Namang menolak keras kawasan Hutan Pelawan dijadikan areal penambangan bijih timah yang menjadi IUP perusahaan peleburan bijih timah di daerah itu.
Zaiwan yang merupakan tokoh masyarakat Desa Namang melihat Hutan Pelawan satu-satunya kawasan penyangga desa sebagai bentuk pelestarian lingkungan di tengah ancaman eksplorasi pertambangan bijih timah yang cukup marak.
"Gagasan saya untuk melestarikan Hutan Pelawan dan bahkan sempat melakukan penghijauan di lahan kritis dianggap sangat gila, namun saya tetap yakin dalam jangka panjang akan menuai hasil," katanya.
Zaiwan mampu membuktikan itu, pada 2008 dirinya mulai melindungi dan memagari Hutan Pelawan dari kerusakan lingkungan dan hasilnya mulai terlihat tiga tahun kemudian.
Hutan Pelawan menjadi kawasan asri, bahkan sebagian mampu disulap menjadi kawasan wisata alam yang saat ini menjadi satu dari destinasi wisata unggulan di Bangka Tengah.
Bahkan pada 2017, Hutan Pelawan ditetapkan statusnya sebagai Taman Keanekaragaman Hayati karena sudah menjadi habitat hewan dan tumbuhan langka serta menjadi kawasan edukasi.
Nama hutan itu berasal dari nama flora famili Myrtaceae yang paling banyak ditemui di sana, yaitu pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff). Pohon pelawan ditemukan di hutan-hutan di Pulau Bangka dan Belitung yang menghasilkan kayu berwarna merah dan dulu kebanyakan digunakan untuk bahan bangunan, bahan pembuat kapal, ajir perkebunan lada dan kayu bakar.
Pohon pelawan dijadikan rumah bagi koloni lebah liar (apis dorsata) yang menghisap serbuk bunga pohon itu dan madu yang dihasilkan oleh lebah liar ini berasa pahit.
Sarang madu itu biasa menghasilkan 200-300 mililiter madu dan dijual seharga Rp200.000 hingga Rp300.000.
Fauna yang hidup di dalam Hutan Pelawan terdiri dari berbagai jenis burung dan reptilia. Menurut Zaiwan, di waktu malam akan keluar hewan tarsius bangka (Tarsius bancanus Horsfield) atau yang di dalam bahasa setempat disebut muntilin.
Burung-burung liar yang terbang mencari makan setelah subuh dan di malam hewan nokturnal serupa burung hantu, musang, kancil, dan beberapa hewan kecil lainnya juga muncul.
Aktivitas pertambangan bijih timah dan perkebunan menjadi ancaman bagi pelestarian hutan yang menjadi rumah bagi hewan endemik itu.
Kebijakan, regulasi dan aturan dari pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk memagar hutan tetap menjadi rimba belantara yang terpelihara untuk keberlangsungan hidup makhluk Allah di muka bumi.*
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022