Briket arang memiliki potensi yang cukup menjanjikan secara bisnis, pasalnya digunakan menjadi salah satu bahan bakar alternatif untuk memanggang.

Briket arang batok kelapa juga dinilai lebih ramah lingkungan. Saat ini briket merupakan salah satu komoditi ekspor oleh beberapa enterpreuner di Indonesia.

Untuk itu Kelompok Kampung Kelapa mulai melirik usaha briket arang ini. Ketua Kelompok Kampung Kelapa Abdul Malik (32), warga Jalan Bintang, Desa Rambak, Kelurahan Jelitik, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka mulai melirik usaha ini, pasalnya Ia telah menggeluti usaha sebagai pengepul kelapa. Namun, selama ini dirinya baru memanfaatkan tempurung kelapa sebagai arang saja. 

“Sebelumnya saya membuat arang dari tempurung kelapa sudah sekitar 5 tahun. Kami tertarik untuk membuat briket ini karena secara bahan bakunya pun sudah ada, tinggal pengolahannya saja seperti apa," katanya. 

"Saat ini kami masih tahap belajar, karena jika melihat di media sosial keuntungan dalam membuat briket ini lumayan tinggi, apalagi pangsa pasarnya pun sudah ada yang sudah ekspor, jadi hal ini membuat kami semakin tertarik untuk menggeluti usaha ini," sambungnya.

Ia menyebutkan, pihaknya belum memiliki pengetahuan yang mendetail tentang pembuat briket dari tempurung kelapa ini. selain itu, mereka juga terkendala peralatan dan dana untuk mengembangkan ini. 

“Secara ilmu pun kami masih kurang paham, tapi Alhamdullilah dari pihak kelurahan serta dari PT Timah juga sangat support kegiatan kami ini, apalagi bahan bakunya pun sangat melimpah ditempat kami ini," ujar ketua Kelompok Kampung Kelapa. 

Selama menggeluti usaha arang tempurung kelapa, Malik sering kali merasa terintimidasi oleh harga dipasaran. Hal itu menyebabkan Malik mencoba untuk membuat briket dari tempurung kelapa.

“Usaha briket ini baru kami mulai, kami tertarik membuat briket karena selama ini usaha arang tempurung kelapa ini boleh dikatakan secara harga kami terintimidasi, jika dihitung-hitung keuntungannya sangat tipis. Belum lagi terkadang stok arang kami bertumpuk, karena permintaan pasar sangat minim. Kami biasanya menjual arang tersebut dengan harga 70 ribu, dengan bobot satu karungnya 10 kg," katanya.

Ia menyebutkan, mereka mendapatkan bantuan dari PT Timah Tbk untuk mesin pembuatan dan pencetakan briket. Dimana alat ini dibuat bersama Polman Babel. 

“Produk yang kami hasilkan ini belum kami pasarkan, karena masih dalam tahap uji coba. Selain itu kami juga bersama pihak kelurahan masih terus membuat kajian tentang komposisi briket ini," ujarnya. 

Pihaknya juga sudah mencoba menawarkan produk briket ke beberapa restoran, namun mereka masih belum yakin dengan produk ini, karena belum pernah mencoba menggunakan produk ini. Tapi ada beberapa restoran yang mencoba dulu produk mereka untuk membuktikan kualitas produknya. 

Selain mengolah briket, kelompok kampung kelapa juga mengolah limbah sabut dalam usaha kesehariannya.

“Sebelumnya saya usaha jualan kelapa, dari hasil limpah tempurung dan juga kulit kelapa tersebut terkadang hanya menjadi limbah. Dan hanya sebagian kecil dari limbah tersebut yang dapat kami kelola. Untuk saat ini sabut kelapa kami manfaatkan sebagai bahan baku pembuatan sikat, namun kami hanya sebatas menjual bahan baku saja, tidak sampai ke tahap produksi sikat tersebut," katanya. 

Kedepan, kata dia pihaknya berencana akan mengolah limbah sabut kelapa ini secara maksimal. 

"Alhamdullilah untuk mesinnya pun akan dibantu oleh PT Timah. Dengan begini kami semakin yakin untuk mengolah limbah sabut tersebut, karena selama ini terkadang sabut tersebut jika memang sudah menumpuk kami bakar, dan tentunya kami sadar hal itu dapat berdampak ke polusi udara dari hasil pembakarannya," ujar Malik.

Malik berharap, jika usaha yang dilakukan oleh kelompoknya tersebut dapat perhatian lebih dari PT Timah Tbk.

“Kami juga berharap kedepan, semoga dari pihak PT Timah dapat memberikan kami pelatihan-pelatihan untuk menambah wawasan dan kompetensi kami," harapnya.

Sementara itu,  Lurah Jelitik Ahmad Riyadi
mengungkapkan jika kampung kelapa merupakan salah satu program dari Kelurahan Jelitik. 

“Ini juga merupakan salah satu program Pentahelix di Kelurahan Jelitik yang melibatkan akademisi, perusahaan, Pemerintah dan Masyarakat untuk melakukan pengembangan.  Kedepannya kita berharap akan baik dan tentunya menimbulkan usaha-usaha baru bagi masyarakat," katanya.

Ia menyebutkan di kawasan ini ada sekitar 20 kepala keluarga yang bekerja sebagai pengepul kelapa. Pengolahannya juga masih dilakukan secara manual

"Itu harus direndam selama 3 bulan, barulah setelah itu di olah dengan cara di pukul-pukul secara manual oleh tenaga manusia untuk mengurai rambut sabutnya," jelasnya.

Ia menyebutkan, potensi pengembangan briket kelapa ini cukup menjanjikan jika bisa dimaksimalkan. 

“Dalam satu hari ada sekitar 4000 hingga 8000 kelapa yang dikumpulkan, dan akhirnya ini mengakibatkan limbah. Jadi limbah sabut kelapa disini sudah sangat banyak, akhirnya mereka melakukan pembakaran sabut. Yang tentunya ini bisa mengakibatkan polusi udara," jelasnya. 

Selain sabut di kawasan ini juga ada pembuatan arang tempurung kelapa, dan dijual selama ini dengan satuan karung. 

“Kami sangat optimis kegiatan ini akan berkembang, mengingat kebutuhan briket dan sabut kelapa ini sudah menjadi sebuah kebutuhan dunia. Harapan kami jika sudah mendapatkan komposisi yang pas dalam pembuatan briket ini, tentu dengan kualitas yang baik, kami akan mencoba untuk mencari pasar, malahan kami juga berniat untuk menuju ke pasar ekspor," katanya.

“Dan Alhamdulillah dari pihak PT Timah juga sudah memberikan jalan untuk memasarkan produk kami ini nantinya, Kami berharap PT Timah dapat terus bersinergi dengan memberikan pemanfaatan ke masyarakat, karena program kampung kelapa ini bersifat sustainable,” tandasnya.

Pewarta: Aprionis

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022