Jakarta (ANTARA) - Terdakwa Robert Indarto selaku Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) menyebutkan tak pernah melakukan cawe-cawe dalam kerja sama antara smelternya dan PT Timah Tbk.
Pasalnya, dia mengaku hanya melanjutkan kerja sama antara PT SBS dan PT Timah yang telah dijalankan oleh mantan Direktur PT SBS Juan Setiadi (almarhum).
"Saya tidak pernah ikut cawe-cawe atas pelaksanaan kerja sama tersebut karena Juan Setiadi sering mengeluh mengenai pembayaran PT Timah yang sering terlambat," kata Robert dalam sidang pembacaan nota pembelaan (pleidoi) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Robert tak menampik bahwa pada bulan Oktober 2018 diberikan kuasa oleh Direktur Utama PT SBS Hartono atas arahan dan permintaan Juan untuk menandatangani perjanjian sewa smelter dengan PT Timah karena Hartono sedang berhalangan sakit.
Namun, Robert mengaku tidak pernah mengikuti atau mengetahui negosiasi yang sebelumnya telah terjadi, termasuk pertemuan awal dengan PT Timah dan para smelter swasta lainnya di Novotel Pangkal Pinang dan Hotel Sofia, sebagaimana dituduhkan oleh jaksa penuntut umum.
Ia menjelaskan bahwa setelah perjanjian dengan PT Timah ditandatangani, semua pelaksanaan kerja sama dikendalikan oleh Juan, tim produksi, tim keuangan, serta tim administrasi PT SBS.
Begitu pula saat pembentukan CV Babel Alam Makmur dan CV Babel Sukses Persada, dia mengaku sama sekali tidak dilibatkan dan tidak diberi tahu, sesuai dengan kesaksian saksi di persidangan, yang menjelaskan bahwa para petinggi kedua CV itu tidak mengenal dirinya.
"Sebaliknya, Juan Setiadilah yang menyuruh mereka mendirikan kedua CV tersebut yang operasionalnya dijalankan oleh Bapak Hartono," tuturnya.
Dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015—2022 yang merugikan negara senilai Rp300 triliun, Robert dituntut pidana penjara selama 14 tahun.
Selain Robert, pemilik manfaat PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) Suwito Gunawan alias Awi turut dituntut pidana penjara dengan waktu yang sama.
Tak hanya pidana penjara, kedua terdakwa juga dituntut agar dikenai pidana denda dengan masing-masing sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan selama 1 tahun, serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti subsider masing-masing 8 tahun penjara.
Suwito dituntut untuk membayar uang pengganti senilai Rp2,2 triliun, sedangkan Robert sebesar Rp1,92 triliun.
Dengan demikian, Suwito dan Robert dinilai telah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer.
Dalam persidangan yang sama, terdapat pula General Manager Operational PT Tinindo Inter Nusa (TIN) periode 2017—2020 Rosalina yang turut dibacakan surat tuntutannya. Meski terlibat dalam kasus tersebut, Rosalina dinilai tidak menerima uang dan tidak melakukan TPPU.
Untuk itu, Rosalina dituntut dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sebesar Rp750 juta subsider pidana kurungan selama 6 bulan.
Rosalina dinilai telah melanggar aturan dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Suwito dan Robert didakwa menerima uang Rp4,1 triliun dan melakukan pencucian uang terkait dengan kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk. pada tahun 2015—2022 sehingga merugikan negara senilai Rp300 triliun.
Secara perinci, Suwito diduga memperkaya diri sebesar Rp2,2 triliun, sedangkan Robert menerima Rp1,9 triliun dalam kasus itu.
Dengan demikian, perbuatan keduanya diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang TPPU jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Rosalina didakwa tidak menerima uang dan tidak melakukan TPPU dalam kasus tersebut meski terlibat.
Rosalina terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.