Bogor (Antara Babel) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Intitut Pertanian Bogor Prof Muhammad Agus Setiadi mengatakan, limbah ovarium sapi di rumah potong hewan bisa dimanfaatkan untuk dijadikan embrio yang kedua kali.

"Melalui teknologi embrio in vitro, hewan yang dipotong masih bisa untuk kali terakhir menghasilkan keturunan," kata Prof Agus, dalam Orasi Ilmiah Guru Besar IPB di Kampus, Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu.

Dikatakannya, kebutuhan protein hewani sapi di Indonesia terus meningkat sejalan dengan peningkatan hidup dan pendidikan masyarakat. Namun, pasokan dagang yang tidak mencukupi mengakibatkan kelangkaan, terutama pada musim menjelang hari perayaan tertentu.

"Berbagai upaya pemenuhan kebutuhan protein telah dilakukan, impor sapi bakalan, memacu peningkatan populasi ternak melalui program percepatan swasembada daging sapi dan kerbau," katanya.

Upaya percepatan swasembada daging sapi dan kerbau yang dilakukan saat ini oleh pemerintah melalui program gertak birahi dan inseminasi buatan (GBIB) dan penanggulangan gangguan reproduksi (Gangrep).

"Ada juga program pemberian insentif betina bunting, sehingga peternak yang menjual sapinya hingga melahirkan, dan pelarangan betina produktif agar terjadi peningkatan populasi sapi untuk kurangi impor," katanya.

Menurutnya, upaya menangkal pemotongan betina produktif di lapangan tidak berhasilnya secara nyata, karena pemerintah tidak mampu menyediakan pengganti hewan betina yang dipotong, sementara peternak terdesak untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

Sementara itu, lanjut dia, impor sapi yang mendatangkan hewan jantan dan betina siap potong. Keadaan ini memberi peluang pengembangan ternak jenis baru melalui pemanfaatan sumber sel telur (ovarium) dan spermatozoa (testis) dari hewan yang di potong.

"Penelitian teknologi produksi embrio secara in vitro telah dikembangkan secara terbatas di beberapa instansi termasuk IPB," katanya.

Ia mengatakan, satu-satunya lembaga Pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam memproduksi embrio di Indonesia adalah Balai Embrio Ternak Cipelang. Selama kurun waktu 2011 sampai 2015 telah dimanfaatkan 3.600 ovarium untuk memproduksi embrio dengan menghasilkan 2.309 embrio siap transfer.

"Produksi embrio ini masih rendah, tetapi teknologi ini berhasil memanfaatkan sumber plasma nutfah dari jenis eksotis yang belum ada di Indonesia," katanya.

Dijelaskannya, jika sapi betina dipotong akan meninggalkan dua ovarium yang rata- rata bisa diperoleh 12,2 sel telur. Jika ditumbuhkan, makan akan menghasilkan 4,6 embrio.

Ia mengatakan, ovarium yang tidak mempunyai nilai ekonomis dapat dimanfaatkan menjadi embrio dengan mengembangkan sapi impor yang memiliki kualitas bagus, dan mengoptimalkan sapi lokal yang dipotong.

"Banyak limbah ovarium di lapangan, tapi karena undang-undang belum ada, jadi tidak terlalu dijalankan," katanya.

Dijelaskannya, teknik pembuahan in vitro diambil dari sel telur hewan yang dipotong di RPH. Sel telur dimatangkan dulu lalu digabungkan dengan sperma. Terjadi pembuahan dan tumbuhkan di media kultur dan jadilah embrio yang diharapkan.

Embrio yang sudah terbentuk dibekukan untuk jangka waktu yang tidak terbatas atau di transfer dengan meminjam rahim induk yang akan melahirkan anakan.

"Kalau pada manusia, teknik ini disebutkan bayi tabung," katanya.

Prof Agus menambahkan, ada beberapa aspek yang harus dicermati bersama dalam penerapan teknologi ini. Embrio yang ditansfer ke resepien belum tentu jadi, harus ditemukan hewan yang cocok.

"Pemilihan resepien penerima embrio harus selektif, dengan memperhatikan kesehatan dan catatan reproduksinya. Kalau tidak, ya mati juga. Tetapi sudah jadi embrio sudah final pembuahannya," kata dia.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015