Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan bahwa junk food atau makanan yang memiliki kalori, lemak dan gula yang tinggi menjadi masalah bagi keluarga Indonesia maupun global dalam memperbaiki asupan gizi anak.
Masalah junk food ini adalah masalah global. Jadi, kalau kita lihat ke swalayan, itu makanan cemilan yang dikonsumsi oleh kita dan anak-anak kita betul-betul refine carbs. Tinggi gula dan tinggi lemak trans yang sangat inflamatif, kata Ketua Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso dalam Media Brief Jajanan Anak dan Kesehatan Pencernaan yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Piprim menuturkan hadirnya junk food yang semakin marak saat ini membuat banyak anak di usia remaja, sudah terkena obesitas dan diabetes mellitus tipe 2. Meski tak disebutkan jumlahnya, ia menyatakan jumlah orang yang terkena penyakit tersebut terus meningkat setiap harinya.
Bahkan, sudah banyak anak remaja yang menderita hipertensi. Padahal, hipertensi merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita saat seseorang memasuki masa penuaan (ageing). Bisa juga karena kurangnya olahraga ataupun pola makan yang tidak baik.
Menurut Piprim, junk food tidak bisa lagi ditoleransi, karena industri akan selalu berinovasi. Oleh karenanya, makanan alami sebisa mungkin harus mulai kembali digalakkan di tingkat rumah tangga, karena kontrol utama dalam pemberian gizi anak berada pada orang tua di rumah.
Jadi, kembali ke makanan alami, makanan yang dimasak sendiri, seperti sayuran, ada karbohidrat kompleks, rebus-rebusan, ujarnya.
Piprim mencontohkan kandungan gula dalam kentang yang direbus dengan keripik kentang sangat berbeda. Kentang rebus memiliki glikemik indeks yang rendah, sementara keripik kentang glikemik indeksnya akan jauh lebih tinggi.
Dengan membekali anak dengan makanan alami, orang tua juga bisa memastikan asupan protein hewani tercukupi, misalnya melalui telur ceplok atau ikan goreng. Dengan catatan tidak menggunakan tepung, karena kadar gula yang akan bertambah.
Apalagi, dengan adanya kejadian terkait chiki berasap nitrogen (chiki ngebul), yang beberapa waktu lalu membuat sejumlah anak sakit dan dilarikan ke rumah sakit hingga kebocoran lambung.
Piprim menyatakan kejadian tersebut merupakan alarm darurat bagi semua pihak dalam memperkuat pengawasan serta keamanan konsumsi makanan pada anak-anak.
Mohon ini menjadi perhatian kita, seluruh pihak harus turun tangan, baik dari masyarakat, orang tua, pemerintah. Kita ada dinas kesehatan, ada juga BPOM, harus sama-sama kita jadikan wake up call supaya kita kembali peduli dan serius pada makanan yang menyehatkan anak-anak kita, ucap Piprim.
Piprim mengingatkan kepada setiap orang tua, untuk selalu memberikan makanan yang sehat bagi anak, serta menjaga keseimbangan asupan gizinya, sehingga tidak memicu terjadinya kekurangan gizi maupun obesitas.
Jangan sampai anak-anak kita di satu kutub dia mengalami stunting, pendek karena malnutrisi kronis dan mengakibatkan penyakit-penyakit berulang, juga di kutub yang lain dia obesitas karena sindrom metabolik, ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023
Masalah junk food ini adalah masalah global. Jadi, kalau kita lihat ke swalayan, itu makanan cemilan yang dikonsumsi oleh kita dan anak-anak kita betul-betul refine carbs. Tinggi gula dan tinggi lemak trans yang sangat inflamatif, kata Ketua Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso dalam Media Brief Jajanan Anak dan Kesehatan Pencernaan yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Piprim menuturkan hadirnya junk food yang semakin marak saat ini membuat banyak anak di usia remaja, sudah terkena obesitas dan diabetes mellitus tipe 2. Meski tak disebutkan jumlahnya, ia menyatakan jumlah orang yang terkena penyakit tersebut terus meningkat setiap harinya.
Bahkan, sudah banyak anak remaja yang menderita hipertensi. Padahal, hipertensi merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita saat seseorang memasuki masa penuaan (ageing). Bisa juga karena kurangnya olahraga ataupun pola makan yang tidak baik.
Menurut Piprim, junk food tidak bisa lagi ditoleransi, karena industri akan selalu berinovasi. Oleh karenanya, makanan alami sebisa mungkin harus mulai kembali digalakkan di tingkat rumah tangga, karena kontrol utama dalam pemberian gizi anak berada pada orang tua di rumah.
Jadi, kembali ke makanan alami, makanan yang dimasak sendiri, seperti sayuran, ada karbohidrat kompleks, rebus-rebusan, ujarnya.
Piprim mencontohkan kandungan gula dalam kentang yang direbus dengan keripik kentang sangat berbeda. Kentang rebus memiliki glikemik indeks yang rendah, sementara keripik kentang glikemik indeksnya akan jauh lebih tinggi.
Dengan membekali anak dengan makanan alami, orang tua juga bisa memastikan asupan protein hewani tercukupi, misalnya melalui telur ceplok atau ikan goreng. Dengan catatan tidak menggunakan tepung, karena kadar gula yang akan bertambah.
Apalagi, dengan adanya kejadian terkait chiki berasap nitrogen (chiki ngebul), yang beberapa waktu lalu membuat sejumlah anak sakit dan dilarikan ke rumah sakit hingga kebocoran lambung.
Piprim menyatakan kejadian tersebut merupakan alarm darurat bagi semua pihak dalam memperkuat pengawasan serta keamanan konsumsi makanan pada anak-anak.
Mohon ini menjadi perhatian kita, seluruh pihak harus turun tangan, baik dari masyarakat, orang tua, pemerintah. Kita ada dinas kesehatan, ada juga BPOM, harus sama-sama kita jadikan wake up call supaya kita kembali peduli dan serius pada makanan yang menyehatkan anak-anak kita, ucap Piprim.
Piprim mengingatkan kepada setiap orang tua, untuk selalu memberikan makanan yang sehat bagi anak, serta menjaga keseimbangan asupan gizinya, sehingga tidak memicu terjadinya kekurangan gizi maupun obesitas.
Jangan sampai anak-anak kita di satu kutub dia mengalami stunting, pendek karena malnutrisi kronis dan mengakibatkan penyakit-penyakit berulang, juga di kutub yang lain dia obesitas karena sindrom metabolik, ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023