Yuni (bukan nama sebenarnya) yang kini menginjak usia 33 tahun, telah sejak duduk di bangku kuliah menyukai grup idola J-pop Arashi. Semasa kuliah di kawasan Depok, Jawa Barat, dia bisa bergadang untuk mengunduh video performa idolanya itu dan menggunakannya untuk keperluan mengisi program di kampusnya.
Bila ada kesempatan, dia bergabung dengan sesama penggemar Arashi untuk menonton bersama video penampilan Arashi. Terkadang, dia juga membeli pernak-pernik atau merchandise Arashi namun sebatas pada barang yang bisa bermanfaat seperti kipas. Alasannya, agar tak mubazir.

Seiring berjalannya waktu, Yuni lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Waktu luangnya tak sebanyak dulu, namun dengan dia telah memiliki penghasilan, kesempatan untuk fangirling atau mendalami karakter sebagai penggemar, tetap terbuka walau waktu terbatas. Suatu waktu, dia bahkan berkesempatan menonton konser idolanya itu langsung di negeri asalnya.

Dia sadar, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, terjadi keseimbangan antara mengidolakan artis dan kegiatan sehari-harinya. Bila saat kuliah, dia punya banyak waktu luang sehingga bisa bergadang, namun kini tak lagi begitu.

Selain Yuni, ada Juma (bukan nama sebenarnya) yang menjadi penggemar sejumlah grup idola K-pop antara lain NCT, SEVENTEEN dan Super Junior. Menonton konser grup idola baik daring maupun langsung saat mereka berkunjung ke Indonesia, membeli album dan merchandise mereka, menjadi upaya yang dia lakukan sebagai penggemar.

Wanita yang membuka usaha bidang kuliner khas Negeri Ginseng secara daring itu juga menyukai drama Korea, salah satunya yang dibintangi aktor sekaligus penyanyi idola Hwang Min-hyun. Juma biasanya menonton drama sembari melakukan aktivitas rumah tangga seperti memasak, menyetrika, atau menjelang tidur.

Selain Yuni dan Juma, masih ada penggemar idola lainnya yang memiliki cara tersendiri dalam fangirling. Ada yang menjadikan kesukaan pada idola sebagai cara mendatangkan manfaat semisal mempelajari bahasa sang idola atau membuka jasa travel untuk penggemar kala idola mereka datang ke Indonesia.

Pengisahan dua penggemar idola itu hanya secuil potret dari sekian banyak penggemar idola baik itu J-pop, K-pop, barat dan lainnya di tanah air, yang punya cara masing-masing dalam mengidolakan artis mereka atau sekedar mengungkapkan rasa sukanya pada idola.

Hanya saja, di tengah aktivitas para penggemar ini mengidolakan artis tertentu, ada sebagian orang yang melabelkan mereka dengan sebutan fanatik. Ini salah satunya karena ada stereotip yang dilekatkan pada para penggemar, khususnya yang tergabung dalam suatu kelompok untuk bertukar informasi atau melakukan aktivitas bersama baik secara daring maupun luring atau disebut fandom, misalnya penggemar yang berlebihan dan obsesif.

Lantas, apakah semua penggemar idola bisa serta merta dilabeli fanatik?

Sejumlah pakar mempunyai pendapat berbeda mengenai fanatik, salah satunya J.P. Chaplin yang menyebut fanatik sebagai sikap yang penuh dengan semangat yang berlebihan terhadap satu segi pandangan atau satu sebab. Ini artinya, fanatik merujuk pada personal atau seseorang yang memiliki pemahaman, kegemaran atau kesukaan berlebihan terhadap sesuatu.

Menurut psikolog klinis dewasa yang tergabung dalam Ikatan Psikolog Klinis wilayah Banten Mega Tala Harimukthi S.Psi, M.Psi Psikolog bahwa merujuk pada teori terdahulu, seseorang yang fanatik bahkan bisa mencelakai orang lain yang tidak sepaham dengan dia.

Fanatik berbeda dengan fanatisme. Fanatik merupakan sifat yang timbul saat seseorang menganut fanatisme. Sementara fanatisme adalah sebuah paham di mana seseorang biasanya memiliki ketertarikan yang secara berlebihan terhadap sesuatu.

“Jadi kalau fanatisme itu pahamnya. Maka ketika sekelompok orang menyukai sesuatu secara berlebihan, katakanlah dia suka K-pop, bahkan klub sepakbola misalnya, secara berlebihan, maka mereka disebut orang dengan paham fanatisme berlebihan,” kata Mega yang berpraktik di RSIA Bina Medika Bintaro itu.

Fanatik jelas berbahaya. Dalam konteks mengidolakan artis, menurut Mega, ketika seseorang menyukai satu atau lebih idola tertentu, kemudian sangat terinternalisasi ke dalam dirinya, maka secara sadar maupun tidak sadar menyebabkan dia meniru semua tentang idolanya.

Aktivitas pun jadi terganggu karena terlalu fokus mengikuti kegiatan idolanya mulai dari apa yang dikerjakan hingga dimakan. Ini tak hanya dilakukan kalangan remaja, tetapi juga orang dewasa.

Inilah yang mungkin memunculkan pendapat bahwa mengidolakan artis tertentu khususnya dari luar negeri sama berbahayanya dengan narkoba yang menimbulkan candu. Mega mengingatkan, hal ini bisa merugikan karena waktu yang bisa seseorang gunakan untuk hal-hal yang produktif terbuang begitu saja.

Tak cukup dengan meniru, ada juga penggemar yang bahkan terus menerus mengikuti idolanya. Di Korea Selatan, penggemar semacam ini disebut sebagai sasaeng atau penggemar obsesif. Sebagian sasaeng mengejar idolanya seharian termasuk menunggu di depan rumahnya.

Para penggemar ini telah membuat para bintang terusik sejak 1990-an, ketika grup idola seperti H.O.T. mulai tenar di Korea, menurut professor psikologi di Seoul National University, Kwam Keum-joo seperti pernah dipublikasikan The Korea Times.

Fenomena ini terus terjadi dan membuat agensi hiburan tempat bernaung idola bertindak. Agensi hiburan Korea Selatan JYP Entertainment misalnya, pernah menyatakan untuk mengambil tindakan hukum pada sasaeng yang terus melanggar privasi grup idola K-pop Stray Kids.

Menurut agensi, sasaeng menunggu artis di luar asrama, perusahaan, salon, mengikuti saat idola bepergian untuk aktivitas terjadwal, mencoba kontak fisik dan masuk ke dalam pintu masuk gedung asrama.

Punya batasan

Menurut Mega, seseorang dikatakan mengidolakan artis secara wajar apabila masih bisa membedakan realitas dan sekadar kesenangan. Dia menekankan pentingnya seseorang memiliki batasan dalam mengidolakan artis, misalnya sekadar menyukai lagu-lagu karyanya, film, tanpa harus mengikuti semua yang dia lakukan.

Dia mengatakan, adanya batasan penting untuk membuat seseorang tetap on track atau berada pada jalurnya yakni individu dengan aktivitasnya, apakah dia remaja yang masih punya kewajiban bersekolah, pegawai kantoran atau ibu rumah tangga dengan tanggung jawab mengasuh anak.

Dia kemudian menyarankan seseorang sebaiknya memiliki kegiatan yang produktif agar tidak terus menerus kepo dengan idola tanpa mengenal waktu. Berolahraga juga bisa menjadi pilihan karena membantu mengeluarkan hormon bahagia dan pikiran menjadi lebih positif.

“Jadi, kita enggak melulu memikirkan idola kita. Kita jadi lebih tahu batasan realita, kapan sih waktunya kita menunjukkan ini batasan saya, bukan kehidupan dia,” kata dia.

Jadi, menyukai grup idola atau artis tertentu sebaiknya tidak terinternalisasi ke dalam diri sehingga aktivitas sehari-hari tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan itu sangat lah wajar. Ini sekaligus sebagai sikap untuk tidak dilabeli sebagai fanatik.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023