Jakarta (Antara Babel) - Perihal subsidi selalu saja menjadi topik pembicaraan yang menarik untuk didiskusikan karena subyek tersebut langsung dengan kepentingan orang banyak.

Dalam beberapa hari belakangan, jagad per-subsidi-an ini digetarkan lagi oleh rencana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menarik sokongan dana dari belasan juta pelanggan pengguna 900 volt ampere (VA).

Seperti biasa, selalu ada tesis dan antitesis untuk setiap isu, apalagi sifatnya sensitif. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha pun angkat bicara.

"Subsidi listrik harus tetap ada karena itu adalah perintah undang-undang. Namun, subsidi harus di'relokasi' dan diberikan kembali kepada pihak yang memang layak menerimanya," kata Satya.

Argumentasi politisi Golkar tersebut bertitik tolak dari data temuan PLN dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang menyatakan bahwa dari 22,8 juta konsumen 900 VA terdaftar, hanya ada sekitar 4,15 juta rumah tangga sasaran (RTS) yang berhak mendapatkan bantuan dana dari pemerintah karena dianggap kurang mampu.

Pengumpulan data itu sendiri dilakukan mulai Januari- Maret 2016.

Sebagai informasi, besaran subsidi listrik tahun 2016 adalah senilai Rp38,39 triliun, yang disetujui dalam rapat kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM pada 17 September 2015 dan hasil Panja Badan Anggaran DPR RI tanggal 30 September 2015.

PLN mengklaim bahwa angka temuan TNP2K itu benar adanya. Perusahaan BUMN itu menyatakan data itu didapatkan dari usaha keras dari seluruh jajaran.

"Selama tiga bulan itu jajaran kami sampai tingkatan manajer turun ke lapangan. Presiden Joko Widodo juga memerintahkan kami untuk mendapatkan data yang benar," kata Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun.

Adapun secara umum pengaturan harga energi tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi tepatnya pasal 7 yang menyebutkan bahwa (ayat) pertama, harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan.

Kedua, pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu.

Ketiga, ketentuan lebih lanjut mengenai harga energi dan dana subsidi, sebagairnana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
   
Kemudian, khusus untuk harga listrik diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Pada pasal 34 UU itu dikatakan bahwa tarif tenaga listrik ditetapkan oleh pemerintah/pemerintah daerah dengan persetujuan DPR RI/DPRD.

Dalam UU tersebut juga tercantum aturan bahwa penentuan tarif listrik, yang dapat berbeda-beda di setiap daerah, harus memperhatikan keseimbangan kepentingan nasional, daerah, konsumen, dan pelaku usaha penyediaan tenaga listrik.

    
    
Kriteria Mampu/Tidak Mampu

Febby Tumiwa, Direktur lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik rencana pengalihan subsidi tersebut karena ruang fiskal Indonesia memang terbatas.

Namun, dia menyoroti kriteria "tidak mampu" yang tercantum dalam UU Energi.

Febby mempertanyakan bagaimana   "tidak mampu" itu diterjemahkan dalam subisidi listrik.

"Konsensus masyarakat tidak mampu itu belum jelas. Batasannya apa?" kata dia.

Menurut Febby, dijadikannya Basis Data Terpadu (BDT) TNP2K, yang mencatat 40 persen penduduk di Indonesia atau sekitar 24 juta warga dengan status kesejahteraan terendah, sebagai acuan subsidi listrik merupakan tindakan yang tidak akurat.

Sebab, lanjut dia, daya listrik terpasang tidak secara langsung berkorelasi dengan kemiskinan.

"Begini, andaikan saya adalah seorang pekerja dengan penghasilan Rp4 juta per bulan dan berlangganan listrik PLN 1.300 VA. Artinya, saya bukanlah seorang yang tidak mampu.

Tiga bulan kemudian saya di-PHK dan hidup dari tabungan saya saja, penghasilan saya nol. Ketika itu, dari sisi ekonomi saya miskin, tetapi dari sudut pandang PLN saya mampu. Sensitivitas seperti ini perlu diperhatikan," tutur Febby.

Selain itu dia juga mempertanyakan Pasal 34 pada UU kelistrikan, yang menyebut "tarif tenaga listrik ditetapkan oleh pemerintah/pemerintah daerah dengan persetujuan DPR RI/DPRD".

Membahas dan menetapkan tarif listrik dengan melibatkan DPR maupun DPRD membuat kebijakan yang nantinya dihasilkan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik.

"Saya merasa perlu ada regulator khusus yang menetapkan tarif," katanya.

    

Pengaduan

PLN menyadari keputusan memotong subsidi akan menimbulkan banyak keluhan dari masyarakat. Untuk itu, perusahaan yang berdiri pada 27 Oktober 1945 tersebut meminta aduan disampaikan melalui aparat pemerintah daerah di lingkungan masing-masing.

Kebijakan ini diatur dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 671/829/SJ, tentang pelibatan jajaran Pemerintah Daerah menampung pengaduan masyarakat melalui pos pengaduan masyarakat (Posdumas) di tingkat Kelurahan atau Badan Permusyawaratan Desa di tingkat desa.

Aparat desa, kata Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun, akan segera melakukan pengumpulan data dan menindaklanjuti ke pihak kecamatan begitu ada aduan.

Selanjutnya, pihak kecamatan akan memasukkan data-data tersebut melalui aplikasi dan dikirimkan melalui sistem daring ke Kementerian ESDM.

Jika ternyata warga itu dinilai layak menerima subsidi oleh ESDM, PLN akan terjun langsung ke lapangan untuk melakukan verifikasi data.

"Jadi masyarakat tidak perlu datang beramai-ramai ke PLN," tutur Benny.

Sejatinya, pencabutan subsidi itu belum dilakukan karena seperti yang disebutkan Menteri ESDM Sudirman Said, keputusan ada di tangan Presiden Joko Widodo yang sudah menerima hasil verifikasi.

Pada akhirnya, karena dinyatakan tidak layak menerima subsidi, sekitar 18 juta pelanggan rumah tangga golongan 900 VA, akan dikenakan kenaikan tarif secara bertahap pada Juni, Agustus, Oktober dan Desember 2016 dengan besaran kenaikan perbulan senilai 23 persen.

Pewarta: Michael Teguh Adiputra Siahaan

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016