Serapan daging kerbau impor di ritel modern dan pasar tradisional dalam dua tahun terakhir membuktikan masyarakat kota Indonesia dapat menerima daging kerbau, seperti layaknya daging sapi.
Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) mendapat tugas mengimpor 18.000 ton daging kerbau beku sepanjang 2023 untuk mengimbangi dan menstabilkan harga daging sapi yang terus naik.
Fakta serapan daging kerbau impor yang tinggi menjadi peluang sekaligus tantangan bagi peternakan kerbau di Tanah Air.
Protein hewani berbentuk daging merupakan kebutuhan pangan masyarakat yang sampai saat ini belum dapat tercukupi seluruhnya dari dalam negeri.
Badan Pangan Nasional, melaporkan hingga saat ini Indonesia masih mengimpor daging sejenis lembu (sapi, kerbau, dan sejenisnya) untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan data BPS, pada 2022 Indonesia mengimpor 225,6 ribu ton daging dari luar negeri, dengan volume meningkat 6,7 persen dibanding 2021.
Angka pada 2022 tersebut tertinggi selama lima tahun terakhir, dengan nilai mencapai 861,6 juta dolar AS atau Rp12,9 triliun, dengan asumsi kurs Rp15.000 per dolar Amerika.
Dengan jumlah penduduk Indonesia pada 2023 sebesar 278-juta jiwa dan konsumsi 2,93 kg/kapita/tahun, maka proyeksi kebutuhan daging nasional sebesar 816.790 ton.
Sementara produksi daging dalam negeri tahun 2023 sebesar 442,7 ribu ton, sehingga Indonesia mengalami defisit sebesar 371 ribu ton. Angka defisit lalu dipenuhi dengan impor daging atau 45 persen dari total kekurangan produksi dalam negeri.
Kerbau merupakan ternak ruminansia besar yang berpotensi tinggi untuk menyediakan daging. Sebetulnya, jika dibandingkan ternak sapi, kerbau memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap pakan yang berkualitas rendah.
Pantas populasi kerbau di Indonesia pada abad ke-19, tepatnya pada 1841, pernah dilaporkan lebih tinggi dari sapi, tapi sayang lambat laun populasi kerbau menurun dengan berbagai sebab, sehingga masyarakat enggan beternak kerbau.
Padahal sebagian kalangan cukup banyak yang mengonsumsi daging kerbau, seperti masyarakat Minang. Mereka mengolah daging kerbau sebagai bahan rendang. Saat ini di masyarakat perkotaan juga mulai banyak pedagang bakso yang menggunakan daging kerbau sebagai campuran bahan baksonya.
Populasi kerbau di Indonesia berdasarkan data BPS 2022 mencapai 1.170.209 ekor yang tersebar di 10 propinsi tertinggi, yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, dan Banten, yang mencapai 81,75 persen dari total populasi ternak kerbau nasional.
Sayang, selama satu dekade, laju pertambahan populasi kerbau tergolong stagnan sekitar 0,4 persen. Bahkan, berdasarkan data dari tahun 2011-2022 menunjukkan terjadinya penurunan periodik populasi setiap 5 tahun secara drastis pada 2013 dan 2018, meskipun kemudian terjadi peningkatan populasi yang sangat signifikan pada 2014 dan 2019.
Populasi ternak kerbau yang cenderung stagnan dapat disebabkan paling tidak 3 faktor. Pertama, fungsi ternak kerbau sebagai tenaga kerja di sektor pertanian mulai berkurang karena adanya mekanisasi.
Peternak merasa lebih mudah merawat mesin dibandingkan kerbau. Kedua, kerbau memerlukan lingkungan hidup yang dekat dengan sumber air untuk berkubang atau berendam.
Lingkungan tersebut seiring waktu semakin hilang di area perdesaan di Tanah Air. Ketiga, kerbau masih tergolong ternak semi-wild.
Pada ternak semi liar, tanda-tanda birahi sulit terdeteksi, sehingga sulit melakukan inseminasi buatan. Karena itu sebagian besar pembiakan berasal dari pola kawin alam.
Demikian pula periode kebuntingan kerbau lebih lama (11 bulan) dibandingkan sapi (9 bulan), sehingga target selang beranak tercepat adalah dua kali beranak selama tiga tahun.
Hal tersebut berbeda dengan sapi yang memiliki target selang beranak lebih cepat, sehingga dapat didesain setahun sekali. Ternak semi liar juga sifatnya masih berkoloni sehingga sulit dipelihara dalam kandang individu.
Langkah strategis
Berdasarkan tiga faktor tersebut, upaya pengembangan populasi kerbau membutuhkan langkah strategis.
Pertama, memperbaiki performa reproduksi melalui perbaikan pembiakan dan pakan yang diharapkan dapat meningkatkan angka kelahiran, menekan angka kematian, dan meningkatkan produktivitas kerbau.
Dengan target peningkatan populasi ternak kerbau capaian terendah (conservative achievement target) sebesar 50 persen per siklus, maka populasi kerbau pada 2032 sebesar 2.023.000 ekor atau meningkat lebih dari 70 persen dari populasi saat ini dan menghasilkan bakalan siap potong sebesar 156.188 ekor atau setara 29.921 ton daging. Siklus beranak dari seekor induk dihitung 2 ekor selama tiga tahun.
Kedua, konsolidasi kolektif para peternak dalam kawasan peternakan kerbau untuk melakukan pembiakan. Melalui langkah ini permasalahan reproduksi, terutama kesulitan pendeteksian birahi dapat diatasi. Demikian pula karakter berkoloni pada kerbau akan memperkecil risiko kematian pedet kerbau, karena dalam koloni anak kerbau dijaga bersama oleh kawanan.
Ketiga, penyediaan lahan penggembalaan dan jaminan hijauan pakan ternak. Alih fungsi lahan menjadi ancaman populasi kerbau, sehingga perlu dilakukan konsolidasi eksternal dengan instansi yang memiliki lahan luas.
Bahkan, perusahaan berbasis lahan dapat didorong mengembangkan koloni kerbau dengan berbagai skema kerja sama.
Jaminan ketersediaan dan kualitas pakan menjadi prioritas dalam pengembangan ternak kerbau, karena permasalahan utama pada ternak tradisional adalah ketersediaan pakan sepanjang tahun yang tidak tercukupi.
Pakan yang tidak cukup dalam jangka panjang berdampak pada penampilan produksi dan reproduksi ternak. Jaminan pakan berkualitas dapat dilakukan dengan pengelolaan padang penggembalaan yang tepat, seperti introduksi tumbuhan pakan yang sesuai dengan karakter tanah, kesuburan padang penggembalaan dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik tanah.
Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik yang pada saatnya dapat digunakan untuk memupuk padang penggembalaan dan penambahan kapur untuk meningkatkan kualitas dan kesuburan tanah masam.
Kerbau, umumnya memperoleh pakan pada saat digembalakan di lapangan, pematang sawah, dan pinggiran jalan. Keseimbangan nutrisi berperan penting dalam kinerja reproduksi, sehingga kekurangan salah satu atau beberapa elemen, seperti mineral dan vitamin, akan mengurangi kesuburan kerbau.
Kekurangan energi dan protein pada kerbau bunting menyebabkan skor kondisi tubuh rendah pada saat beranak. Pemberian mineral tambahan pada ternak kerbau yang hidup di daerah yang tanahnya miskin unsur mineral perlu dilakukan, dapat melalui pakan atau suplemen mineral, misalnya mineral blok.
Keempat, Indonesia memiliki plasmanutfah kerbau rawa di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, dan Jambi.
Pemerintah daerah dengan lahan rawa yang luas dapat didorong melakukan optimalisasi lahan rawa sebagai padang penggembalan kerbau. Lahan rawa yang tersebar di Indonesia mencapai 33.393.570 hektare, yang terdiri dari 20.096.800 hektare (60,2 persen) lahan pasang surut dan 13.296.770 hektare (39,8 persen) lahan rawa non-pasang surut (lebak).
Jika seperempat lahan rawa lebak dimanfaatkan untuk budi daya, maka lahan rawa lebak dapat menampung 6.648.385 satuan ternak (ST) atau setara dengan jumlah ternak dewasa dengan asumsi 1 hektare mampu menampung 3 ST, yaitu 2 induk, dengan masing-masing memiliki satu ekor anak hingga lepas sapih.
Pada dasarnya, jika keempat upaya tersebut dilakukan, maka kerbau memiliki potensi besar dalam mengisi kekurangan pasokan daging sapi. Kerbau juga sangat potensial dikembangkan pada lahan suboptimal yang tidak mendukung pengembangan sapi potong karena kemampuan beradaptasi mulai dari pesisir hingga pegunungan.
Kondisi ini menjadi keunggulan pengembangan ternak kerbau, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia. Strategi pembiakan semi intensi dengan target 2 kali beranak selama 3 tahun dapat dilakukan dengan sistem korporatisasi atau bagi hasil antara pemilik dan penggembala dengan skala 30 ekor kerbau per penggembala.
Diharapkan skala tersebut mampu memberi penghasilan rutin Rp5 juta hingga Rp7 juta per bulan bagi penggembala kerbau.
*) Dr. drh. Aulia Evi Susanti, M.Sc adalah staf pada Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian Sumatera Selatan, Kementan dan Dr. Bramada Winiar Putra, S.Pt., M.Si adalah staf pengajar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023
Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) mendapat tugas mengimpor 18.000 ton daging kerbau beku sepanjang 2023 untuk mengimbangi dan menstabilkan harga daging sapi yang terus naik.
Fakta serapan daging kerbau impor yang tinggi menjadi peluang sekaligus tantangan bagi peternakan kerbau di Tanah Air.
Protein hewani berbentuk daging merupakan kebutuhan pangan masyarakat yang sampai saat ini belum dapat tercukupi seluruhnya dari dalam negeri.
Badan Pangan Nasional, melaporkan hingga saat ini Indonesia masih mengimpor daging sejenis lembu (sapi, kerbau, dan sejenisnya) untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan data BPS, pada 2022 Indonesia mengimpor 225,6 ribu ton daging dari luar negeri, dengan volume meningkat 6,7 persen dibanding 2021.
Angka pada 2022 tersebut tertinggi selama lima tahun terakhir, dengan nilai mencapai 861,6 juta dolar AS atau Rp12,9 triliun, dengan asumsi kurs Rp15.000 per dolar Amerika.
Dengan jumlah penduduk Indonesia pada 2023 sebesar 278-juta jiwa dan konsumsi 2,93 kg/kapita/tahun, maka proyeksi kebutuhan daging nasional sebesar 816.790 ton.
Sementara produksi daging dalam negeri tahun 2023 sebesar 442,7 ribu ton, sehingga Indonesia mengalami defisit sebesar 371 ribu ton. Angka defisit lalu dipenuhi dengan impor daging atau 45 persen dari total kekurangan produksi dalam negeri.
Kerbau merupakan ternak ruminansia besar yang berpotensi tinggi untuk menyediakan daging. Sebetulnya, jika dibandingkan ternak sapi, kerbau memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap pakan yang berkualitas rendah.
Pantas populasi kerbau di Indonesia pada abad ke-19, tepatnya pada 1841, pernah dilaporkan lebih tinggi dari sapi, tapi sayang lambat laun populasi kerbau menurun dengan berbagai sebab, sehingga masyarakat enggan beternak kerbau.
Padahal sebagian kalangan cukup banyak yang mengonsumsi daging kerbau, seperti masyarakat Minang. Mereka mengolah daging kerbau sebagai bahan rendang. Saat ini di masyarakat perkotaan juga mulai banyak pedagang bakso yang menggunakan daging kerbau sebagai campuran bahan baksonya.
Populasi kerbau di Indonesia berdasarkan data BPS 2022 mencapai 1.170.209 ekor yang tersebar di 10 propinsi tertinggi, yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, dan Banten, yang mencapai 81,75 persen dari total populasi ternak kerbau nasional.
Sayang, selama satu dekade, laju pertambahan populasi kerbau tergolong stagnan sekitar 0,4 persen. Bahkan, berdasarkan data dari tahun 2011-2022 menunjukkan terjadinya penurunan periodik populasi setiap 5 tahun secara drastis pada 2013 dan 2018, meskipun kemudian terjadi peningkatan populasi yang sangat signifikan pada 2014 dan 2019.
Populasi ternak kerbau yang cenderung stagnan dapat disebabkan paling tidak 3 faktor. Pertama, fungsi ternak kerbau sebagai tenaga kerja di sektor pertanian mulai berkurang karena adanya mekanisasi.
Peternak merasa lebih mudah merawat mesin dibandingkan kerbau. Kedua, kerbau memerlukan lingkungan hidup yang dekat dengan sumber air untuk berkubang atau berendam.
Lingkungan tersebut seiring waktu semakin hilang di area perdesaan di Tanah Air. Ketiga, kerbau masih tergolong ternak semi-wild.
Pada ternak semi liar, tanda-tanda birahi sulit terdeteksi, sehingga sulit melakukan inseminasi buatan. Karena itu sebagian besar pembiakan berasal dari pola kawin alam.
Demikian pula periode kebuntingan kerbau lebih lama (11 bulan) dibandingkan sapi (9 bulan), sehingga target selang beranak tercepat adalah dua kali beranak selama tiga tahun.
Hal tersebut berbeda dengan sapi yang memiliki target selang beranak lebih cepat, sehingga dapat didesain setahun sekali. Ternak semi liar juga sifatnya masih berkoloni sehingga sulit dipelihara dalam kandang individu.
Langkah strategis
Berdasarkan tiga faktor tersebut, upaya pengembangan populasi kerbau membutuhkan langkah strategis.
Pertama, memperbaiki performa reproduksi melalui perbaikan pembiakan dan pakan yang diharapkan dapat meningkatkan angka kelahiran, menekan angka kematian, dan meningkatkan produktivitas kerbau.
Dengan target peningkatan populasi ternak kerbau capaian terendah (conservative achievement target) sebesar 50 persen per siklus, maka populasi kerbau pada 2032 sebesar 2.023.000 ekor atau meningkat lebih dari 70 persen dari populasi saat ini dan menghasilkan bakalan siap potong sebesar 156.188 ekor atau setara 29.921 ton daging. Siklus beranak dari seekor induk dihitung 2 ekor selama tiga tahun.
Kedua, konsolidasi kolektif para peternak dalam kawasan peternakan kerbau untuk melakukan pembiakan. Melalui langkah ini permasalahan reproduksi, terutama kesulitan pendeteksian birahi dapat diatasi. Demikian pula karakter berkoloni pada kerbau akan memperkecil risiko kematian pedet kerbau, karena dalam koloni anak kerbau dijaga bersama oleh kawanan.
Ketiga, penyediaan lahan penggembalaan dan jaminan hijauan pakan ternak. Alih fungsi lahan menjadi ancaman populasi kerbau, sehingga perlu dilakukan konsolidasi eksternal dengan instansi yang memiliki lahan luas.
Bahkan, perusahaan berbasis lahan dapat didorong mengembangkan koloni kerbau dengan berbagai skema kerja sama.
Jaminan ketersediaan dan kualitas pakan menjadi prioritas dalam pengembangan ternak kerbau, karena permasalahan utama pada ternak tradisional adalah ketersediaan pakan sepanjang tahun yang tidak tercukupi.
Pakan yang tidak cukup dalam jangka panjang berdampak pada penampilan produksi dan reproduksi ternak. Jaminan pakan berkualitas dapat dilakukan dengan pengelolaan padang penggembalaan yang tepat, seperti introduksi tumbuhan pakan yang sesuai dengan karakter tanah, kesuburan padang penggembalaan dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik tanah.
Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik yang pada saatnya dapat digunakan untuk memupuk padang penggembalaan dan penambahan kapur untuk meningkatkan kualitas dan kesuburan tanah masam.
Kerbau, umumnya memperoleh pakan pada saat digembalakan di lapangan, pematang sawah, dan pinggiran jalan. Keseimbangan nutrisi berperan penting dalam kinerja reproduksi, sehingga kekurangan salah satu atau beberapa elemen, seperti mineral dan vitamin, akan mengurangi kesuburan kerbau.
Kekurangan energi dan protein pada kerbau bunting menyebabkan skor kondisi tubuh rendah pada saat beranak. Pemberian mineral tambahan pada ternak kerbau yang hidup di daerah yang tanahnya miskin unsur mineral perlu dilakukan, dapat melalui pakan atau suplemen mineral, misalnya mineral blok.
Keempat, Indonesia memiliki plasmanutfah kerbau rawa di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, dan Jambi.
Pemerintah daerah dengan lahan rawa yang luas dapat didorong melakukan optimalisasi lahan rawa sebagai padang penggembalan kerbau. Lahan rawa yang tersebar di Indonesia mencapai 33.393.570 hektare, yang terdiri dari 20.096.800 hektare (60,2 persen) lahan pasang surut dan 13.296.770 hektare (39,8 persen) lahan rawa non-pasang surut (lebak).
Jika seperempat lahan rawa lebak dimanfaatkan untuk budi daya, maka lahan rawa lebak dapat menampung 6.648.385 satuan ternak (ST) atau setara dengan jumlah ternak dewasa dengan asumsi 1 hektare mampu menampung 3 ST, yaitu 2 induk, dengan masing-masing memiliki satu ekor anak hingga lepas sapih.
Pada dasarnya, jika keempat upaya tersebut dilakukan, maka kerbau memiliki potensi besar dalam mengisi kekurangan pasokan daging sapi. Kerbau juga sangat potensial dikembangkan pada lahan suboptimal yang tidak mendukung pengembangan sapi potong karena kemampuan beradaptasi mulai dari pesisir hingga pegunungan.
Kondisi ini menjadi keunggulan pengembangan ternak kerbau, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia. Strategi pembiakan semi intensi dengan target 2 kali beranak selama 3 tahun dapat dilakukan dengan sistem korporatisasi atau bagi hasil antara pemilik dan penggembala dengan skala 30 ekor kerbau per penggembala.
Diharapkan skala tersebut mampu memberi penghasilan rutin Rp5 juta hingga Rp7 juta per bulan bagi penggembala kerbau.
*) Dr. drh. Aulia Evi Susanti, M.Sc adalah staf pada Balai Penerapan Standar Instrumen Pertanian Sumatera Selatan, Kementan dan Dr. Bramada Winiar Putra, S.Pt., M.Si adalah staf pengajar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023