Jakarta (Antara Babel) - Suatu waktu setidaknya kita pernah membaca tulisan ini: piye kabare, enak zamanku to?
      
Tulisan disertai gambar Presiden ke-2 RI Jenderal Besar Soeharto sedang tersenyum itu terpampang pada berbagai tampilan di media sosial, stiker, atau bahkan bagian belakang truk atau bus antarkota antarprovinsi.

Isi tulisan itu seolah mempertanyakan bahwa babak baru sejak zaman reformasi yang ditandai dengan pernyataan Soeharto "lengser keprabon" pada 21 Mei 1998 hingga kini, tak sebaik zaman Orde Baru pimpinan Soeharto selama berkuasa 32 tahun sejak 1966.

Apa benar perjalanan selama Orde Reformasi selama 18 tahun terakhir ini tidak seenak atau sebaik saat Orde Baru?
     
Belum ada satu penelitian, pernyataan, atau keputusan yang dapat diterima semua kalangan bahwa era reformasi lebih baik daripada zaman Soeharto atau sebaliknya.

Bukan untuk membanding-bandingkan antara satu zaman dan zaman sebelumnya namun kemunculan gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa adalah untuk mengoreksi pemerintahan yang sentralistik dan otoriter dari rezim Orde Baru.

Seolah mengulangi sejarah, kelahiran Orde Baru sebagai permulaan dalam mengoreksi total Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno (1945-1967), kemunculan Orde Reformasi pun untuk mengoreksi menyeluruh Orde Baru.

Demi kesinambungan politik dan stabilitas nasional, dalam setiap pemilu selama Orde Baru selalu disertai dengan kebulatan tekad sebagian komponen bangsa untuk mendukung kembali kepemimpinan  "The Smiling General" Soeharto berulang-ulang tiap kali menjelang periode lima tahun pemerintahannya berakhir.

Soeharto pada peringatan HUT ke-22 Golkar pada 20 Oktober 1986 sebenarnya telah menyatakan bahwa dia minta diganti bila di tengah jalan pemerintahannya dianggap tidak mampu mengemban amanat konstitusi. Ketika itu, Ketua Umum DPP Golkar Sudharmono membacakan kebulatan tekad mendukung Soeharto dan Soeharto siap bersedia.

Soeharto juga mengaku miris bila harus terus menerus memimpin di tengah tantangan bangsa yang makin besar namun kebulatan tekad dan dukungan dari rakyat yang memintanya memimpin merupakan amanat yang harus dijalani. Paling tidak begitulah pertimbangan formalnya untuk tetap melanggengkan kekuasaannya.

Tiga tahun kemudian atau setahun dalam periode kepemimpinan 1988-1993, dalam perjalanan pulang ke Tanah Air setelah lawatan dari Yugoslavia dan Uni Sovyet pada September 1989, Soeharto menyatakan akan menggebuk siapa saja, jenderal sekalipun, yang ingin mengganti dirinya secara inkonstitusional. Saat itu mulai terdengar suara-suara mengkritisi kepemimpinannya.

Tokoh cendekiawan Amien Rais yang secara informal mendapat julukan Bapak Reformasi pertama kali menggulirkan "bola panas" suksesi kepemimpinan pada tahun 1993 pada sidang Tanwir Muhammadiyah.

Ketika itu dia juga membuat tulisan "Suksesi 1998: Suatu Keharusan" menjadi perbincangan nasional.

Tulisan yang dibuat pada 1993 itu cukup menggemparkan banyak kalangan, apalagi pada 1995 Amien Rais terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Muhammadiyah dalam muktamar yang dibuka oleh Presiden Soeharto di Banda Aceh.

Justru saat membuka muktamar itu Soeharto menyatakan "Tanpa tedeng aling-aling, saya ini bibit Muhammadiyah yang ditanam di bumi Indonesia dan Alhamdulillah memperoleh kepercayaan masyarakat Indonesia untuk memimpin pembangunan nasional. Semoga apa yang saya lakukan ini tidak mengecewakan warga Muhammadiyah".

Soeharto dengan kekuasaannya yang penuh, mampu meredam pihak yang berseberangan dengan dia, termasuk dengan Kelompok Petisi 50 dari kalangan petinggi militer dan sipil yang kritis atas rezim Orde Baru.

Pada 1997, seusai meresmikan Asrama Haji Donohudan di Boyolali, Jateng, Soeharto menegaskan lagi sikapnya yang telah dilontarkan pada 1989, bahwa dia akan menggebuk siapa saja yang berusaha mengganti dirinya dengan cara-cara melanggar hukum.

Soeharto juga menyatakan tak akan mempertahankan jabatannya dan tak keberatan turun dari jabatan presiden asalkan sesuai konstitusi.

Namun, Soeharto akhirnya tak berdaya tatkala kepemimpinannya " digebuk" oleh krisis moneter pada 1997 dan menjadi krisis ekonomi hingga akhirnya dia menyatakan berhenti dari jabatan Presiden pada 21 Mei 1998.

Soeharto tak berkutik ketika pemerintahannya digembosi oleh sejumlah menteri yang mengundurkan diri bahkan diminta mundur oleh Ketua MPR/DPR Harmoko (1997-1999), salah satu "orang kepercayaannya" yang sebelumnya telah menjabat sebagai Menteri Penerangan selama tiga periode berturut-turut sejak 1983 dan kemudian menjadi Menteri Negara Urusan Khusus (6 Juni - 1 Oktober 1997).

Soeharto pun tak berdaya tatkala gagasannya membentuk Komite Reformasi gagal dan kehilangan dukungan dari para tokoh proreformasi.

    
                            Perbaikan tatanan
Reformasi merupakan upaya perbaikan kembali atas seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, meliputi seluruh sendi kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan rakyat semesta (ipoleksosbud hankamrata).

Pancasila dan UUD 1945 yang dipakai oleh Soeharto sebagai ideologi melanggengkan kekuasaannya diletakkan kembali sebagai dasar negara, bahkan UUD 1945 diamendemen. Kekuasaan Presiden dibatasi dua periode.

Politik berdasarkan demokrasi, memperluas desentralisasi dan otonomi daerah, bukan lagi sentralistik; penegakan supremasi hukum dan HAM dengan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Merajalelanya KKN pada era Orde Baru harus diakhiri.

Praktik monopoli, oligopoli, dan konglomerasi  dalam kehidupan ekonomi menjadi prorakyat, penanaman kembali nilai-nilai budaya Pancasila.

Penghapusan dwifungsi TNI dengan mengembalikan TNI sebagai alat pertahanan keamanan.

Sebagian agensa reformasi sudah berjalan sebagaimana mestinya tetapi tidak sedikit persoalan yang belum teratasi dengan baik.

Praktik korupsi masih merajalela. Pembentukan komisi ad-hoc seperti Komisi Pemberantasan Korupsi belum membuat peringkat bangsa ini menunjukkan keseriusan dalam pencegahan korupsi. Pemberantasan korupsi berjalan tetapi praktik korupsi pun tetap berlangsung. Silih berganti  penyelenggara negara tertangkap atau terbongkar dalam kasus pidana korupsi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan mendorong adanya reformasi tata kelola politik dan hukum sebagai refleksi dari 18 tahun perjalanan reformasi, 21 Mei 1998 - 21 Mei 2016.

Reformasi tata kelola politik dan hukum tersebut bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah serius terkait korupsi yang terjadi pascareformasi.

Reformasi tata kelola politik berfokus pada perbaikan partai politik, terutama perbaikan sistem keuangan partai, perekrutan kader, dan penguatan lembaga pengawas yang independen guna menegakkan hukum secara serius terhadap praktik politik uang.

Reformasi di bidang hukum dilakukan dengan menitikberatkan perbaikan institusi kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan.

Sementara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai penegakan HAM dan penyelesaian kasus-kasus HAM berat masih macet walaupun  reformasi telah berjalan 18 tahun.

Reformasi bila dicermati tidak memiliki batas waktu. Pemerintahan selama era reformasi ini telah silih berganti dari BJ Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), telah melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negaranya dalam menjalankan agenda reformasi.

Revolusi mental dan program Nawa Cita yang menjadi visi dan misi pemerintahan Kabinet Kerja pimpinan Presiden Jokowi juga sedang bergiat melakukan reformasi dari waktu ke waktu demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Jadi reformasi masih berjalan pada relnya dan rakyat tetap memegang kedaulatan tertinggi untuk memastikannya.

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016