"Kami sudah mengingatkan mereka segera terjadinya ledakan situasi yang besar. Namun, mereka menganggap remeh peringatan itu," kata seorang pejabat intelijen Mesir kepada Associated Press.

Yang dimaksud "kami" dalam kalimat itu adalah badan intelijen Mesir, sedangkan "mereka" adalah dinas intelijen Israel.

Mesir yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel dan berbatasan langsung, baik dengan Palestina di Jalur Gaza maupun dengan Israel di Distrik Selatan, sudah terbiasa berbagi informasi intelijen dengan Israel.

Intelijen Israel menganggap remeh peringatan itu karena merasa di atas angin, apalagi mereka hampir selalu berhasil dalam setiap sepak terjang mereka, termasuk dalam memperkirakan kemungkinan serangan musuh.

Mereka juga memiliki alat dan metode intelijen, yang memang salah satu terbaik di dunia.

Warga Palestina di Jalur Gaza hapal betul mengenai intelijen Israel karena setiap hari drone Israel terbang di atas Gaza untuk memata-matai kantong Palestina selain Tepi Barat itu.

Pagar perbatasan Israel-Gaza sendiri dijaga ketat oleh para personel terlatih dan rangkaian kamera di seluruh titik, yang masih ditambah oleh jaringan intelijen siber yang 24 jam memantau Gaza.

Selain itu, Israel fokus ke Tepi Barat di mana titik-titik konflik meletus belakangan ini, khususnya Yerusalem Timur.

Perhatian Israel juga tersita oleh gelombang pro-kontra terhadap langkah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam mengamendemen Undang-Undang Kehakiman.

Rasa di atas angin kian besar setelah Israel sukses melancarkan ofensif diplomatik yang membuat empat negara Arab (Uni Emirat Arab, Maroko, Sudan, dan Bahrain) membuka hubungan diplomatik dengan mereka 2 tahun lalu.

Israel bahkan tengah menjajaki kesepakatan serupa dengan Arab Saudi yang menjadi negara Arab dan Islam paling berpengaruh.

Itu semua membuat Israel meremehkan taksiran intelijen Mesir yang lebih menguasai kondisi lapangan di Gaza.

Sabtu pekan lalu, mereka kena batunya ketika Hamas meluncurkan 2.200 roket dalam Operasi Banjir Al-Aqsa yang membuat Israel kecolongan di pagar perbatasan Gaza.

48 jam kemudian, para pejuang Hamas menjebol pagar perbatasan itu kemudian menyerbu masuk teritori Israel guna bertempur melawan tentara Israel di dalam wilayah Israel.

Akibatnya, 900-an warga dan tentara Israel tewas, sedangkan 2.500 orang terluka, sementara seratusan orang diangkut Hamas ke wilayah Gaza guna dijadikan sandera sebagai perisai serangan balik Israel.

Palestina sendiri mengaku sudah kehilangan 560 jiwa dan 2.900 orang terluka akibat serangan balasan Israel.


Rapi dan terencana

Israel sudah menarik pasukan dari Jalur Gaza pada 2005 dan ini membuat mereka tak bisa mengendalikan lagi Gaza.

Meskipun demikian, Israel tetap unggul berkat superioritas teknologi dan sumber daya manusia, bahkan setelah Hamas menguasai total Gaza pada 2007.

Mereka sesumbar mengetahui secara pasti tempat tinggal semua pemimpin Hamas, sampai bisa mengeksekusi mati para pemimpin Hamas, termasuk tokoh kharismatis Hamas, Sheikh Ahmed Yasin, pada 2004.

Israel juga mengaku tahu di mana harus menyerang terowongan-terowongan bawah tanah yang digunakan Hamas untuk mengangkut pejuang dan senjata.

Hamas menyadari superioritas musuhnya itu. Mereka belajar menyiasatinya sampai kemudian bisa dengan rapi menyembunyikan rencana-rencananya dari endusan Israel.

Serangan yang bertepatan dengan 50 tahun Perang Yom Kippur pada 1973 itu tampaknya sudah dirancang berbulan-bulan sebelumnya, jauh sebelum meledak ketegangan di Al-Aqsa beberapa waktu lalu.

Intinya, Hamas melakukan gerakan tidak terdeteksi radar intelijen Israel yang semakin tergantung kepada sarana teknologi dalam mendapatkan informasi intelijen.

Mereka menemukan cara menghindari intelijen teknologi Israel sehingga tak terbaca Israel.

"Mereka kembali ke zaman batu," kata Amir Avivi, seorang purnawirawan jenderal Israel, tentang gerakan Hamas, yang menurutnya kali ini tak lagi menggunakan telepon atau komputer, untuk berkoordinasi.

Hamas juga merundingkan segala urusan sensitif di ruang-ruang terlindung khusus--yang tak bisa ditembus spionase teknologi Israel-- yang menurut sejumlah media internasional dirancang oleh Mohammed Deif.

Deif yang misterius dan berulang kali hendak dibunuh Israel itu sejak lama memimpikan serangan di dalam wilayah Israel. Dia berpandangan hanya dengan kekerasan senjata Israel bisa dikalahkan.

"Kalian mesti memerangi Israel di dalam wilayah Israel guna menghancurkan fantasi bahwa mereka aman di tanah pendudukan," kata panglima sayap militer Hamas itu seperti dituturkan seorang politisi Hamas yang pernah bertemu dengannya awal 2000-an, kepada Financial Times.

Rencana Deif tergolong rapi sekali, sampai-sampai sudah memperhitungkan serangan balasan Israel. Untuk itu, Hamas dan kelompok-kelompok perlawanan Palestina lainnya membawa sandera yang sangat banyak.

Hamas tahu Israel akan canggung melancarkan serangan balasan total jika mempertaruhkan keselamatan warganya yang ditawan Palestina.

Dalam kata lain, serangan Hamas kali ini mengekspos kerentanan Israel. Namun serangan itu juga menciptakan persoalan-persoalan keamanan kawasan yang kian pelik.

Serangan itu membuka mata dunia bahwa suka atau tidak suka Hamas secara de facto adalah kekuatan besar nan efektif, di samping Otoritas Palestina pimpinan Mahmoud Abbas, yang didukung luas oleh dunia, termasuk kebanyakan negara Arab, tak terkecuali Arab Saudi.


Tak bisa diabaikan

Itu semua memperlihatkan bahwa faktor Hamas tak bisa diabaikan dalam setiap prakarsa damai Arab-Israel.

Masalahnya, Hamas diyakini masih menganut doktrin menolak eksistensi Israel. Mereka juga berulang kali menolak prakarsa-prakarsa damai Israel-Palestina, bahkan awalnya menampik "Solusi Dua Negara" yang didukung penuh komunitas Arab dan dunia.

Ini salah satu yang membuat upaya damai di Palestina acap tak bisa langgeng, yang diperparah oleh kelompok kanan Israel yang tak mau Solusi Dua Negara membuat Israel menyerahkan wilayah-wilayah Palestina yang diduduki saat Perang Enam Hari pada 1967. Kelompok kanan Israel ini juga aktif memprovokasi Palestina.

Di sisi lain, Hamas lebih dekat kepada Iran, yang membuat Israel dan Amerika Serikat menuding Iran berada di balik serangan itu.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken bahkan menyebut serangan Hamas dimotivasi niat merusak prakarsa diplomasi Saudi dan Israel ketika para pemimpin kedua negara, yakni Netanyahu dan Pangeran Mohammed bin Salman, menyatakan tinggal beberapa langkah menuju kemungkinan pembukaan hubungan diplomatik.

Yang juga patut dipertimbangkan adalah pembalasan Israel yang sudah berikrar akan memblokade total Jalur Gaza.

Artinya, dua pintu masuk internasional ke Jalur Gaza, melalui Mesir dan Laut Tengah, akan ditutup Israel. Padahal pintu perbatasan Mesir-Gaza di Rafah baru dibuka lagi pada 2021 setelah ditutup 14 tahun sejak 2007.

Situasi ini membuat sejumlah tokoh dunia, termasuk Sekjen PBB Antonio Guterres, mengkhawatirkan bencana kemanusiaan yang amat besar bisa segera menimpa Gaza.

Ada fakta lain bahwa Israel beberapa tahun terakhir membolehkan 18.000 pekerja Palestina dari Gaza untuk bekerja di Israel, yang mendapatkan gaji 10 kali lebih tinggi dibandingkan di Gaza. Akses ini mungkin ditutup lagi oleh Israel.

Langkah mundur lainnya adalah kemungkinan Israel menduduki Gaza setelah mereka bersumpah akan melancarkan operasi darat di Gaza. Pengaktifan 300 ribu tentara cadangan Israel menjadi petunjuk ke arah ini.

Akan tetapi bisa saja hal itu tak terjadi karena dapat menjauhkan Israel dari Arab Saudi ketika Israel praktis terisolasi di Timur Tengah setelah musuh bebuyutan, Iran, menormalisasi hubungan dengan Saudi.

Israel juga akan dipaksa memikirkan keselamatan seratusan warganya yang disandera Hamas.

Israel mungkin sangat mengingat kasus Gilad Shalit, tentara Israel yang disandera pada Juni 2006. Tekanan besar publik memaksa Israel menukarkan Shalit dengan 1.000 lebih warga Palestina yang ditahan Israel, 5 tahun kemudian.

Negara itu mungkin akan dipaksa melakukan hal sama, apalagi menurut Palestinian Prisoners Association, saat ini ada 5.250 warga Palestina yang ditahan Israel.

Situasi-situasi ini membuat konflik Israel-Palestina semakin rumit, bukan saja dalam kerangka solusi konflik Palestina-Israel, tapi juga bagi konteks perdamaian Timur Tengah dan dunia.

Mungkin, jika Solusi Dua Negara, yakni negara Palestina yang berdampingan dengan negara Israel segera diwujudkan, konflik nyaris abadi itu bisa segera diakhiri.

Pewarta: Jafar M Sidik

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023