Jakarta (Antara Babel) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat
paripurna yang digelar pada 2 Juni 2016 lalu, telah sepakat menyetujui
revisi Undang-Undang Pilkada.
Revisi tersebut merupakan perubahan atas UU No.8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pemilihan Kepala Daerah-Pilkada-).
Revisi UU Pilkada memang ditunggu-tunggu. Mengingat perubahan Undang-Undang diharapkan akan semakin memperbaiki pelaksanaan Pilkada.
Pada 2017 nanti pemilihan kepala daerah serentak akan digelar di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Pilkada serentak 2017 merupakan gelombang kedua setelah 2015 lalu.
Sementara pada pilkada serentak 2015 yang diselenggarakan di delapan provinsi 170 kabupaten dan 26 kota, marak laporan dugaan politik uang.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Nelson Simanjuntak mengatakan, pihaknya dalam keseluruhan tahapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2015, mencatat laporan dugaan Tindak Pidana Pilkada (TPP) sebanyak 1.090 kasus, dengan 929 kasus merupakan dugaan pemberian uang kepada pemilih (politik uang).
Dalam UU Pilkada No 1/2015, Pasal 73 sebenarnya telah mengatur penanganan politik uang untuk pilkada. Berdasarkan pasal tersebut, calon dan/atau tim kampanye yang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk itu politik uang merujuk pada KUHP Pasal 149 yang mengancam para pelaku dalam jual beli suara dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah. Ancaman yang sama juga diberikan kepada mereka yang menerima suap politik.
Untuk memperkuat penegakan hukum dan pengawasan politik uang, juga telah dibentuk Penegak Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pemilihan Umum sejak 2004.
Gakumdu merupakan forum gabungan pengawas pemilu, kepolisian dan kejaksaan guna mempercepat proses penanganan kasus pidana pemilu.
Namun demikian untuk penanganan politik uang dalam pilkada 2015 masih mandul. Berbagai kasus laporan dugaan politik uang menguap begitu saja dan tidak sampai ke meja hijau. Sementara bawaslu tidak memiliki kewenangan dalam memutus perkara.
Salah satu terobosan dalam revisi UU Pilkada yang telah disetujui DPR adalah memperkuat kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam revisi tersebut, Bawaslu diberikan kewenangan dalam menerima, memeriksa memutus perkara politik uang pilkada. Bawaslu diberikan kewenangan memberikan sanksi administratif untuk membatalkan peserta pilkada.
Dalam Pasal 135 Undang-Undang Pilkada, Bawaslu Provinsi diberikan jangka waktu paling lama 14 hari kerja dalam penanganan politik uang. Pemeriksaan dilakukan secara terbuka sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pasal 144 menyatakan putusan Bawaslu dan putusan Panwaslu mengenai sengketa pemilihan bersifat mengikat dan wajib ditindak lanjuti KPU Prov dan KPU kab Kota paling lambat 3 hari
Sementara bagi peserta pilkada yang menerima sanksi dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung. Sanksi administrasi tersebut tidak membatalkan tindak pidana terhadap politik uang.
Terhadap penguatan peran Bawaslu tersebut, sejumlah pihak menilai positif dalam memberantas politik uang. Anggota Bawaslu Nasrullah menilai, keputusan DPR tersebut akan menjadikan pihaknya lebih bergigi dalam pemberantasan politik uang.
Untuk menyongsong pemberian kewenagan tersebut, menurut Nasrullah, Bawaslu akan membuat tim penanganan tindak administratif politik uang.
Paradoks
Meski memperkuat peran Bawaslu, namun DPR juga memasukan sejumlah unsur yang justru menganggu dalam pemberantasan politik uang dalam pilkada.
DPR memasukan penjelasan Pasal 73 yang melarang politik uang. Dalam penjelasan tersebut,memberikan uang atau materi lainnya meliputi pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye saat pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah dinilai tidak masuk dalam politik uang.
Hal ini memicu kontroversi terkait arah dari pemberantasan politik uang. Sebab dalam demokrasi yang sehat, rakyat memilih atas kesadaran pribadi bukan oleh iming-iming materi.
Pemberian uang kepada masyarakat untuk ikut berkampanye akan menumpulkan kesadaran rasionalnya untuk menentukan pilihan. Al hasil, arah demokrasi justru semakin tenggelam ke dalam politik uang. Siapa yang kuat modal, dia yang menang.
Kekhawatiran serupa dirasakan oleh Anggota Bawaslu Nasrullah. Ia menilai hal ini perlu dicermati dengan baik, sebab justru akan dapat menyuburkan politik uang pilkada 2017.
Ia menilai, salah satu upaya penting yang mungkin bisa ditempuh bagi Komisi Pemilihan Umum adalah menetapkan biaya transport, akomodasi dan sebagainya tersebut dalam biaya politik yang diatur dengan tegas.
Biaya politik tersebut harus rapi, terukur, terdokumentasi, dapat dibertanggungjawabkan dan dapat diaudit. Dana tersebut menurut dia, harus telah dilaporkan secara detail ke KPU sebagai dana kampanye. Hal ini diperlukan untuk dapat membedakan antara biaya politik dan politik uang.
Politik uang berkebalikan dengan biaya politik yaitu tidak terukur, tidak rapi, tidak terdokumentasi, tidak dapat dipertanggungjawabkan maupun diaudit. Meski demikian hal itu sulit dijamin keberhasilannya dalam pemberantasan politik uang.
Pengamat Para Syndicate Toto Sugiarto pesimis, hasil revisi UU Pilkada tersebut dapat memberantas politik uang. Meski memberikan kewenangan kepada Bawaslu namun di sisi lain, DPR membuka celah politik uang menjadi legal. Bawaslu hanya diberi senjata tumpul, katanya.
Dengan adanya legalitas biaya transport dan sebagainya tersebut, membuat Bawaslu kesulitan untuk menetapkan sanksi pelanggaran politik uang, meskipun hal itu nantinya diatur oleh KPU. Ia tetap menyakini politik uang akan tumbuh subur pada pilkada 2017 bila tidak diubah.
Satu-satunya upaya menurut dia adalah dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, membatalkan hal itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016
Revisi tersebut merupakan perubahan atas UU No.8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pemilihan Kepala Daerah-Pilkada-).
Revisi UU Pilkada memang ditunggu-tunggu. Mengingat perubahan Undang-Undang diharapkan akan semakin memperbaiki pelaksanaan Pilkada.
Pada 2017 nanti pemilihan kepala daerah serentak akan digelar di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Pilkada serentak 2017 merupakan gelombang kedua setelah 2015 lalu.
Sementara pada pilkada serentak 2015 yang diselenggarakan di delapan provinsi 170 kabupaten dan 26 kota, marak laporan dugaan politik uang.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Nelson Simanjuntak mengatakan, pihaknya dalam keseluruhan tahapan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2015, mencatat laporan dugaan Tindak Pidana Pilkada (TPP) sebanyak 1.090 kasus, dengan 929 kasus merupakan dugaan pemberian uang kepada pemilih (politik uang).
Dalam UU Pilkada No 1/2015, Pasal 73 sebenarnya telah mengatur penanganan politik uang untuk pilkada. Berdasarkan pasal tersebut, calon dan/atau tim kampanye yang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk itu politik uang merujuk pada KUHP Pasal 149 yang mengancam para pelaku dalam jual beli suara dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah. Ancaman yang sama juga diberikan kepada mereka yang menerima suap politik.
Untuk memperkuat penegakan hukum dan pengawasan politik uang, juga telah dibentuk Penegak Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pemilihan Umum sejak 2004.
Gakumdu merupakan forum gabungan pengawas pemilu, kepolisian dan kejaksaan guna mempercepat proses penanganan kasus pidana pemilu.
Namun demikian untuk penanganan politik uang dalam pilkada 2015 masih mandul. Berbagai kasus laporan dugaan politik uang menguap begitu saja dan tidak sampai ke meja hijau. Sementara bawaslu tidak memiliki kewenangan dalam memutus perkara.
Salah satu terobosan dalam revisi UU Pilkada yang telah disetujui DPR adalah memperkuat kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam revisi tersebut, Bawaslu diberikan kewenangan dalam menerima, memeriksa memutus perkara politik uang pilkada. Bawaslu diberikan kewenangan memberikan sanksi administratif untuk membatalkan peserta pilkada.
Dalam Pasal 135 Undang-Undang Pilkada, Bawaslu Provinsi diberikan jangka waktu paling lama 14 hari kerja dalam penanganan politik uang. Pemeriksaan dilakukan secara terbuka sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pasal 144 menyatakan putusan Bawaslu dan putusan Panwaslu mengenai sengketa pemilihan bersifat mengikat dan wajib ditindak lanjuti KPU Prov dan KPU kab Kota paling lambat 3 hari
Sementara bagi peserta pilkada yang menerima sanksi dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung. Sanksi administrasi tersebut tidak membatalkan tindak pidana terhadap politik uang.
Terhadap penguatan peran Bawaslu tersebut, sejumlah pihak menilai positif dalam memberantas politik uang. Anggota Bawaslu Nasrullah menilai, keputusan DPR tersebut akan menjadikan pihaknya lebih bergigi dalam pemberantasan politik uang.
Untuk menyongsong pemberian kewenagan tersebut, menurut Nasrullah, Bawaslu akan membuat tim penanganan tindak administratif politik uang.
Paradoks
Meski memperkuat peran Bawaslu, namun DPR juga memasukan sejumlah unsur yang justru menganggu dalam pemberantasan politik uang dalam pilkada.
DPR memasukan penjelasan Pasal 73 yang melarang politik uang. Dalam penjelasan tersebut,memberikan uang atau materi lainnya meliputi pemberian biaya makan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye saat pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah dinilai tidak masuk dalam politik uang.
Hal ini memicu kontroversi terkait arah dari pemberantasan politik uang. Sebab dalam demokrasi yang sehat, rakyat memilih atas kesadaran pribadi bukan oleh iming-iming materi.
Pemberian uang kepada masyarakat untuk ikut berkampanye akan menumpulkan kesadaran rasionalnya untuk menentukan pilihan. Al hasil, arah demokrasi justru semakin tenggelam ke dalam politik uang. Siapa yang kuat modal, dia yang menang.
Kekhawatiran serupa dirasakan oleh Anggota Bawaslu Nasrullah. Ia menilai hal ini perlu dicermati dengan baik, sebab justru akan dapat menyuburkan politik uang pilkada 2017.
Ia menilai, salah satu upaya penting yang mungkin bisa ditempuh bagi Komisi Pemilihan Umum adalah menetapkan biaya transport, akomodasi dan sebagainya tersebut dalam biaya politik yang diatur dengan tegas.
Biaya politik tersebut harus rapi, terukur, terdokumentasi, dapat dibertanggungjawabkan dan dapat diaudit. Dana tersebut menurut dia, harus telah dilaporkan secara detail ke KPU sebagai dana kampanye. Hal ini diperlukan untuk dapat membedakan antara biaya politik dan politik uang.
Politik uang berkebalikan dengan biaya politik yaitu tidak terukur, tidak rapi, tidak terdokumentasi, tidak dapat dipertanggungjawabkan maupun diaudit. Meski demikian hal itu sulit dijamin keberhasilannya dalam pemberantasan politik uang.
Pengamat Para Syndicate Toto Sugiarto pesimis, hasil revisi UU Pilkada tersebut dapat memberantas politik uang. Meski memberikan kewenangan kepada Bawaslu namun di sisi lain, DPR membuka celah politik uang menjadi legal. Bawaslu hanya diberi senjata tumpul, katanya.
Dengan adanya legalitas biaya transport dan sebagainya tersebut, membuat Bawaslu kesulitan untuk menetapkan sanksi pelanggaran politik uang, meskipun hal itu nantinya diatur oleh KPU. Ia tetap menyakini politik uang akan tumbuh subur pada pilkada 2017 bila tidak diubah.
Satu-satunya upaya menurut dia adalah dengan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, membatalkan hal itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016