Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. (PP. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan Ps. 1)
Istilah “Perhutanan Sosial” pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 2007 di Yogyakarta, Saat itu diadakan rangkaian kegiatan dalam rangka launching "Perhutanan Sosial" yang melibatkan ratusan petani dan pegiat kehutanan terkait dari berbagai pelosok tanah air.
Hadir dalam kesempatan tersebut Wakil Presiden Republik Indonesia (Jusuf Kalla), beserta Menteri Kehutanan (saat itu dijabat M.S. Kaban). Launching “Perhutanan Sosial” menjadi gong besar yang mengungkapkan bahwa masyarakat "boleh" mengelola kawasan hutan secara legal. Negara mengakui dan melindungi hak masyarakat kecil dan para petani untuk bisa mengelola serta menjaga hutan bagi kehidupan dan penghidupan yang lebih baik.
Hingga kini, pemerintah memiliki 2 agenda besar yang menjadi sorot utama terkait dengan pengelolaan hutan, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya disekitar hutan dan juga penciptaan model pelestarian hutan yang efektif.
Melihat tujuan ini, pemerintah telah kini menyiapkan sebuah program yang memastikan bahwa sarana pengentasan kemiskinan masyarakat khususnya disekitar hutan dapat dilakukan dengan model yang menciptakan keharmonisan antara peningkatan kesejahteraan dengan setaraan dan pelestarian lingkungan. Program ini adalah “Perhutanan Sosial”.
Program Perhutanan Sosial sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola pemberdayaan dan dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian. Program Perhutanan Sosial akan membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan.
Selanjutnya, Presiden Republik Indonesia Jokowi pada 3 Februari 2022, didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, kembali menyerahkan Surat Keputusan (SK) persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial (PS). Kali ini Presiden menyerahkan 722 SK yang tersebar di 32 provinsi. Luasan totalnya sekitar 469.670 ribu hektar. Dan ada lebih dari 118 ribu kepala keluarga (KK) yang namanya tergabung dalam SK yang diserahkan kali ini. Juga ada 12 SK Hutan Adat, dan 2 SK indikatif Hutan Adat. Total hutan adat tersebut seluas 21.288 hektar dan menaungi 6.170 KK. Tentunya ini suatu capaian yang patut disyukuri karena memberikan akses legal sekaligus tapak masa depan yang lebih baik bagi petani dan masyarakat kecil beserta keluarganya.
Program Perhutanan Sosial merupakan sebuah inisiatif pemerintah yang menjadi Program Prioritas Nasional, terus menjadi fokus utama dalam upaya pemanfaatan hutan lestari demi kesejahteraan rakyat. Sesuai pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai jaminan hak dan akses tanah melalui Perhutanan Sosial, menjadi landasan bagi program ini untuk menyelesaikan permasalahan penguasaan lahan melalui legalisasi akses kelola hutan oleh masyarakat.
Pada tahun 2023, Program Perhutanan Sosial telah mencapai akses kelola sebesar 6.371.773,42 hektar, melibatkan 9.642 Unit Surat Keputusan (SK) dan memberikan manfaat langsung bagi 1.287.710 Kepala Keluarga. Selain itu, penetapan hutan adat seluas 250.971 hektar, melibatkan 131 Unit SK, memberikan kontribusi positif bagi 75.785 Kepala Keluarga.
Perhutanan Sosial bukan hanya sekadar solusi untuk persoalan tenurial, tetapi juga diharapkan menjadi katalisator untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Program ini diantisipasi dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan melalui usaha hasil hutan, serta menciptakan sentra ekonomi lokal dan daerah.
Perhutanan Sosial tidak hanya memberikan dampak ekonomi, tetapi juga mendukung pembangunan berkelanjutan sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDG’s). Kontribusi program ini melibatkan pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, kesetaraan gender, penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, hingga penanganan perubahan iklim.
Sebagai upaya nyata untuk mewujudkan visi ini, pemerintah mengembangkan Integrated Area Development (IAD) berbasis Perhutanan Sosial di berbagai daerah. Kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan melalui Program Perhutanan Sosial.
Perhutanan sosial bukan hanya tentang bagaimana membangun hutan, tetapi juga tentang membangun kehidupan masyarakat yang berkelanjutan. Melalui praktik pengelolaan yang berkelanjutan, perhutanan sosial membuka peluang ekonomi lokal, melindungi keanekaragaman hayati, dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Dengan memprioritaskan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, kita tidak hanya memastikan kelestarian hutan dan lingkungan, tetapi juga menjaga keberlangsungan kehidupan masa depan yang lebih baik.
*) Intan adalah Staf Humas Diskominfo Babel
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Istilah “Perhutanan Sosial” pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 2007 di Yogyakarta, Saat itu diadakan rangkaian kegiatan dalam rangka launching "Perhutanan Sosial" yang melibatkan ratusan petani dan pegiat kehutanan terkait dari berbagai pelosok tanah air.
Hadir dalam kesempatan tersebut Wakil Presiden Republik Indonesia (Jusuf Kalla), beserta Menteri Kehutanan (saat itu dijabat M.S. Kaban). Launching “Perhutanan Sosial” menjadi gong besar yang mengungkapkan bahwa masyarakat "boleh" mengelola kawasan hutan secara legal. Negara mengakui dan melindungi hak masyarakat kecil dan para petani untuk bisa mengelola serta menjaga hutan bagi kehidupan dan penghidupan yang lebih baik.
Hingga kini, pemerintah memiliki 2 agenda besar yang menjadi sorot utama terkait dengan pengelolaan hutan, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya disekitar hutan dan juga penciptaan model pelestarian hutan yang efektif.
Melihat tujuan ini, pemerintah telah kini menyiapkan sebuah program yang memastikan bahwa sarana pengentasan kemiskinan masyarakat khususnya disekitar hutan dapat dilakukan dengan model yang menciptakan keharmonisan antara peningkatan kesejahteraan dengan setaraan dan pelestarian lingkungan. Program ini adalah “Perhutanan Sosial”.
Program Perhutanan Sosial sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola pemberdayaan dan dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian. Program Perhutanan Sosial akan membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan.
Selanjutnya, Presiden Republik Indonesia Jokowi pada 3 Februari 2022, didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, kembali menyerahkan Surat Keputusan (SK) persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial (PS). Kali ini Presiden menyerahkan 722 SK yang tersebar di 32 provinsi. Luasan totalnya sekitar 469.670 ribu hektar. Dan ada lebih dari 118 ribu kepala keluarga (KK) yang namanya tergabung dalam SK yang diserahkan kali ini. Juga ada 12 SK Hutan Adat, dan 2 SK indikatif Hutan Adat. Total hutan adat tersebut seluas 21.288 hektar dan menaungi 6.170 KK. Tentunya ini suatu capaian yang patut disyukuri karena memberikan akses legal sekaligus tapak masa depan yang lebih baik bagi petani dan masyarakat kecil beserta keluarganya.
Program Perhutanan Sosial merupakan sebuah inisiatif pemerintah yang menjadi Program Prioritas Nasional, terus menjadi fokus utama dalam upaya pemanfaatan hutan lestari demi kesejahteraan rakyat. Sesuai pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai jaminan hak dan akses tanah melalui Perhutanan Sosial, menjadi landasan bagi program ini untuk menyelesaikan permasalahan penguasaan lahan melalui legalisasi akses kelola hutan oleh masyarakat.
Pada tahun 2023, Program Perhutanan Sosial telah mencapai akses kelola sebesar 6.371.773,42 hektar, melibatkan 9.642 Unit Surat Keputusan (SK) dan memberikan manfaat langsung bagi 1.287.710 Kepala Keluarga. Selain itu, penetapan hutan adat seluas 250.971 hektar, melibatkan 131 Unit SK, memberikan kontribusi positif bagi 75.785 Kepala Keluarga.
Perhutanan Sosial bukan hanya sekadar solusi untuk persoalan tenurial, tetapi juga diharapkan menjadi katalisator untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Program ini diantisipasi dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan melalui usaha hasil hutan, serta menciptakan sentra ekonomi lokal dan daerah.
Perhutanan Sosial tidak hanya memberikan dampak ekonomi, tetapi juga mendukung pembangunan berkelanjutan sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDG’s). Kontribusi program ini melibatkan pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, kesetaraan gender, penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi, hingga penanganan perubahan iklim.
Sebagai upaya nyata untuk mewujudkan visi ini, pemerintah mengembangkan Integrated Area Development (IAD) berbasis Perhutanan Sosial di berbagai daerah. Kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan melalui Program Perhutanan Sosial.
Perhutanan sosial bukan hanya tentang bagaimana membangun hutan, tetapi juga tentang membangun kehidupan masyarakat yang berkelanjutan. Melalui praktik pengelolaan yang berkelanjutan, perhutanan sosial membuka peluang ekonomi lokal, melindungi keanekaragaman hayati, dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Dengan memprioritaskan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, kita tidak hanya memastikan kelestarian hutan dan lingkungan, tetapi juga menjaga keberlangsungan kehidupan masa depan yang lebih baik.
*) Intan adalah Staf Humas Diskominfo Babel
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024