Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen TNI Hinsa Siburian mengklarifikasi dan memperjelas soal dugaan kebocoran data milik Indonesia Automatic Finger Indentification System (INAFIS) Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).
Menurut dis berdasarkan hasil koordinasi dengan POLRI, didapatkan fakta bahwa data tersebut merupakan data lama yang tidak terbarui.
"Ini sudah kami konfirmasi dengan kepolisian, bahwa itu adalah data-data lama mereka yang diperjualbelikan di dark web itu," kata Hinsa di Jakarta, Senin.
Hinsa menyebutkan pihaknya masih berkoordinasi dengan POLRI karena pernyatasn terbaru itu masih berupa hasil koordinasi sementara, koordinasi lanjutan dibutuhkan untuk mendapatkan kejelasan mengenai dugaan kebocoran data itu.
Hinsa menyakinkan bahwa sistem POLRI saat ini tidak mengalami gangguan dan tetap berjalan dengan baik meski terdapat dugaan kebocoran data INAFIS.
"Kami yakinkan bahwa sistem mereka berjalan dengan baik," ujar Hinsa.
Lebih lanjut, meski bertepatan dengan momen terjadinya serangan siber pada Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 namun BSSN memastikan dugaan kebocoran data INAFIS tidak berkaitan dengan gangguan di PDNS 2.
Adapun informasi mengenai dugaan kebocoran data INAFIS pertama kali mencuat melalui platform media sosial X.
Salah satu akun X yang membahas dugaan kebocoran data INAFIS itu ialah @FalconFeedsio. Dalam unggahan FalconFeedsio diketahui data INAFIS tersebut dijual oleh peretas bernama MoonzHaxor di situs dark web BreachForums yang diduga terjadi pada Sabtu (22/6).
Secara singkat peretasan itu dijelaskan mengandung data-data sensitif seperti gambar sidik jari, alamat email, dan aplikasi SpringBoot dengan beberapa konfigurasi. Data tersebut dijual oleh MoonzHaxor seharga 1000 dolar AS (setara Rp16,3 juta).
Selain INAFIS, terbaru FalconFeedsio juga menemukan bahwa peretas yang sama juga turut menjual data dari Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Peretasan ini dinilai menjadi dugaan peretasan kedua yang dialami oleh BAIS setelah pada 2021 kondisi serupa pernah terjadi namun saat itu peretasan dilakukan oleh sekelompok peretas dari China.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Menurut dis berdasarkan hasil koordinasi dengan POLRI, didapatkan fakta bahwa data tersebut merupakan data lama yang tidak terbarui.
"Ini sudah kami konfirmasi dengan kepolisian, bahwa itu adalah data-data lama mereka yang diperjualbelikan di dark web itu," kata Hinsa di Jakarta, Senin.
Hinsa menyebutkan pihaknya masih berkoordinasi dengan POLRI karena pernyatasn terbaru itu masih berupa hasil koordinasi sementara, koordinasi lanjutan dibutuhkan untuk mendapatkan kejelasan mengenai dugaan kebocoran data itu.
Hinsa menyakinkan bahwa sistem POLRI saat ini tidak mengalami gangguan dan tetap berjalan dengan baik meski terdapat dugaan kebocoran data INAFIS.
"Kami yakinkan bahwa sistem mereka berjalan dengan baik," ujar Hinsa.
Lebih lanjut, meski bertepatan dengan momen terjadinya serangan siber pada Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 namun BSSN memastikan dugaan kebocoran data INAFIS tidak berkaitan dengan gangguan di PDNS 2.
Adapun informasi mengenai dugaan kebocoran data INAFIS pertama kali mencuat melalui platform media sosial X.
Salah satu akun X yang membahas dugaan kebocoran data INAFIS itu ialah @FalconFeedsio. Dalam unggahan FalconFeedsio diketahui data INAFIS tersebut dijual oleh peretas bernama MoonzHaxor di situs dark web BreachForums yang diduga terjadi pada Sabtu (22/6).
Secara singkat peretasan itu dijelaskan mengandung data-data sensitif seperti gambar sidik jari, alamat email, dan aplikasi SpringBoot dengan beberapa konfigurasi. Data tersebut dijual oleh MoonzHaxor seharga 1000 dolar AS (setara Rp16,3 juta).
Selain INAFIS, terbaru FalconFeedsio juga menemukan bahwa peretas yang sama juga turut menjual data dari Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Peretasan ini dinilai menjadi dugaan peretasan kedua yang dialami oleh BAIS setelah pada 2021 kondisi serupa pernah terjadi namun saat itu peretasan dilakukan oleh sekelompok peretas dari China.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024