Pada bulan hijriyah, khususnya di bulan Safar, terdapat satu hari yang dikenal dengan sebutan Rebo Wekasan, yaitu Rabu terakhir di bulan tersebut.

Terkait Rebo Wekasan, ada banyak mitos dan keyakinan yang berkembang di masyarakat, menghubungkan hari itu dengan malapetaka dan bencana. Sebagai upaya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, masyarakat melakukan berbagai ritual keagamaan.

Ritual-ritual tersebut beragam, mulai dari shalat, dzikir, hingga doa. Selain itu, terdapat pula amalan lain seperti membaca ayat-ayat Al-Quran yang dikenal sebagai ayat selamat.

Dalam kitab yang ditulis oleh Pengasuh Pondok Pesantren Bumi Damai Al-Muhibbin Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, KH M. Djamaluddin Ahmad, yaitu kitab Al-Risalah Al-Badi'ah halaman 83, ada amalan yang dapat dilakukan pada hari Rebo Wekasan.

Amalan tersebut berangkat dari kesaksian sebagian orang ahli makrifat termasuk orang yang ahli mukasyafah (orang yang bashirah sirrinya telah dibuka oleh Allah sehingga dapat mengetahui sesuatu yang gaib) dan ahli tamkin (orang yang sudah mapan di dalam derajat haqiqat/makrifat), mereka berkata bahwa setiap tahun Allah menurunkan bencana jumlahnya 320.000 bencana, kesemuanya diturunkan pada hari Rabu yang terakhir bulan Safar.

Pernyataan ini juga bisa dilihat di kitab Kanzun Najah was-Surur fi Fadhail al-Azminah wash-Shuhur karya Abdul Hamid Quds. Tidak heran, banyak yang meyakini jika hari tersebut merupakan waktu terberat sepanjang tahun.

Dalam kitab Al-Risalah Al-Badi'ah dianjurkan untuk shalat 4 rakaat dengan niat shalat mutlak atau shalat sunat Lidaf'il Bala sebagaimana pernah dilakukan oleh Guru Mursyid TQN Pontren Suryalaya Tasikmalaya Syekh KH. Abdullah Mubarok bin Muhammad ra, dan Syekh KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin ra.:

Sholat sunnah tersebut dapat dilakukan pada malam hari yaitu Selasa malam Rabu.

Niat:

أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ لله تَعَالَى

اُصَلِّي سُنَّةً لِدَفْعِ الْبَلاَءِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

Dua niat diatas, pilih salah satu. Niat pertama shalat sunat Mutlak dan niat kedua niat shalat sunat lidaf’il bala.

Tiap rakaatnya membaca:
1. Surat Al-Fatihah 1x
2. Surat Al-Kautsar 17x
3. Surat Al-Ikhlas 5x
4. Surat Al-Falaq 1x
5. Surat An-Naas 1x

Setelah salam membaca doa:

1. Jika sendirian:
 
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. اَللّهُمَّ يَا شَدِيدَ الْقُوى، وَيَا شَدِيدَ الْمِحَالَ، يَاعزِيزُ، يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيع عَلَّقِكَ، اكْفِنِي مِنْ شَرِّ جَمِيع خَلْقِكَ، يَا مُحْسِنُ، يَا مُجملُ، يَا مُتفضِلُ، يَا مُنْعِمُ، يَا مُتَكَرِّمُ، يَا مَنْ لاَ إلهَ إِلَّا أَنْتَ، ارْحَمْنِي بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.
 
 اَللّهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ، وَأَخِيْهِ، وَجَدِّهِ، وَأَبِيهِ، وَأُمِّهِ، وَبَنِيْهِ، اِكْفِنِي شَرَّ هَذَا الْيَوْمِ، وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ، يَا كَافِيَ الْمُهِمَّاتِ، يَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ، فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ، وَحَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ، وَلَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ، وَصَلَّى الله عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

2. Jika bersama-sama:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. اَللّهُمَّ يَا شَدِيدَ القوى، وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَالَ، يَا عَزِيزُ، يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيعُ خَلْقِكَ، اِكْفِنَا مِنْ شَرِّ جَمِيعِ خَلْقِكَ، يَا مُحْسِنُ، يَا مُجَمِّلُ، يَا مُتَفَضِلُ، يَا مُنْعِمُ يَا مُتَكَرِّمُ، يَا مَنْ لا إِلهَ إِلَّا أَنتَ ارْحَمْنَا بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.

 اللهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ، وَأَخِيهِ، وَجَدِّهِ، وَأُمِّهِ، وَبَنِيْهِ، اِكْفِنَا شَرَّ هَذَا اليوم.  وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ، يَا كَافِيَ الْمُهمَّاتِ، يَا دَافِعَ الْبَلِيَّاتِ، فَسَيَكْفِيكَهُمُ الله وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ، وَحَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلا بالله العلي العظيم، وَصَلَّى الله عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Maka Allah dengan sifat Karom-Nya akan menjaga orang tersebut dari semua bencana yang diturunkan pada hari itu dan bencana- bencana itu tidak akan mengitari di sekitarnya sampai sempurna satu tahun."

Boleh dikerjakan bersama-sama, tapi tidak boleh dikerjakan secara berjamaah.

Selain itu, pada bulan Safar ini terdapat peristiwa yang melatarinya. Sebagaimana diketahui, Safar dalam bahasa Arab memiliki arti kosong atau sepi. Imam Abul Fida Ismail bin Umar ad-Dimisyqi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) menjelaskan bahwa penamaan bulan Safar tidak lepas dari keadaan orang Arab tempo dulu pada bulan ini.
 
Safar yang memiliki arti “sepi” atau “sunyi” sesuai keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan Safar. Sepi dalam arti senyapnya rumah-rumah mereka karena orang-orang keluar meninggalkan rumah untuk perang dan bepergian. Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ

Artinya, “Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.” (Ibnu Katsir, Tafsîrubnu Katsîr, [Dârut Thayyibah, 1999], juz IV, halaman 146).

Selain Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Manzhur (wafat 771 H), juga menyampaikan alasan yang lebih banyak. Menurutnya, ada beberapa alasan mendasar di balik penamaan bulan Safar, di antaranya:

1.sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir;

2.orang Arab memiliki kebiasaan memanen semua tanaman yang mereka tanam, dan mengosongkan tanah-tanah mereka dari tanamanan pada bulan Safar; dan

3.pada Safar orang Arab memiliki kebiasaan memerangi setiap kabilah yang datang, sehingga kabilah-kabilah tersebut harus pergi tanpa bekal (kosong) karena mereka tinggalkan akibat rasa takut pada serangan orang Arab. (Muhammad al-Anshari, Lisânul ‘Arab, [Beirut, Dârus Shadr: 2000], juz IV, halaman 460).

Pewarta: Antara Babel

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024