Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang merupakan salah satu program prioritas dalam Asta Cita Presiden Prabowo, diharapkan membawa dampak positif signifikan terhadap pembangunan. Program ini digagas untuk mencetak generasi bangsa yang berkualitas dan tangguh melalui penyediaan akses makan bergizi bagi anak usia sekolah, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Dengan kebijakan ini, diharapkan angka stunting yang tinggi di Indonesia, yaitu 21,6% (Kementerian Kesehatan, 2022) juga dapat diturunkan. Melalui pemberian asupan gizi yang baik sejak usia dini, diharapkan dapat membentuk generasi bangsa yang siap menyongsong Indonesia Emas tahun 2045.

Implementasi Program MBG tidak hanya untuk mengatasi permasalahan pemenuhan gizi, namun juga untuk menggerakkan roda ekonomi menjadi lebih cepat. Dengan tata kelola yang baik, dipastikan program ini memiliki multiplier effect yang berkelanjutan. Mengingat bahwa kebijakan ini dilaksanakan secara nasional, pemberian makan bergizi akan mempercepat pertumbuhan sektor riil, terutama di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).

Di samping itu, dampak positif lainnya adalah terjadinya perbaikan kualitas hasil pendidikan, peningkatan kesejahteraan sosial, peningkatan kemandirian pangan, peningkatan kesehatan masyarakat, dan lain-lain. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendukung ketahanan nasional.

Bagi rumah tangga miskin, program ini dapat membantu menurunkan pengeluaran rumah tangga sekitar 10%-15% (Basit M. dan Ramadani, H., 2025). Orang tua murid dapat menyisihkan uang saku makan siang bagi anaknya.

Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2024, bila dinominalkan nilai penghematan rumah tangga sebesar Rp10 ribu- Rp15 ribu/hari/anak (BPS, 2024). Menurut prediksi, program ini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sekitar 0,10% yang menjadi kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto harga yang berlaku tahun 2025 sebesar Rp14,6 triliun (Institute for Development of Economic and Finance, 2024).

Lebih lanjut, berdasarkan penelitian tersebut saat pelaksanaan pilot project program MBG tahun 2024, program yang memiliki alokasi anggaran Rp71 triliun ini akan menyerap tenaga kerja sebanyak 0,19%.

Analisis rasional kebijakan program MBG

Dalam pendekatan rasionalisme, kebijakan publik dilihat sebagai metode pengambilan keputusan yang menekankan logika, bukti empiris, dan perbandingan alternatif secara sistematis (Khatimah, A.W.N., Kamaruddin, S.A., Awaru, A.O.T., 2025).

Dengan menggunakan pendekatan tersebut, penulis mencoba menguraikan dampak kebijakan Program MBG terhadap perekonomian khususnya bagaimana kebijakan ini menggerakkan sektor riil. Penulis membuat analisis deskriptif sederhana, berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber media elektronik terkait dengan kebijakan yang diterbitkan pemerintah dan data publikasi Badan Pusat Statistik (BPS).

Sebagaimana diketahui, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki fungsi stabilisasi, alokasi dan distribusi. Sebagai wujud pelaksanaan fungsi stabilisasi, APBN hadir untuk menjaga dan memelihara keseimbangan (shock absorber) fundamental perekonomian saat terjadi goncangan.

Kebijakan untuk memasukkan Program MBG dalam APBN masih sangat relevan untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 yang dirasakan masih lambat. Dampak tekanan ekonomi yang sangat berat masih dirasakan oleh masyarakat lapisan bawah sampai dengan saat ini. Hal ini dikuatkan dari data tingkat pengangguran dan kemiskinan beberapa tahun terakhir yang dirilis oleh BPS. Tiga tahun pasca pandemi Covid-19 jumlah pengangguran dan jumlah penduduk miskin di Indonesia, masing-masing masih berada di atas angka 7.400 orang dan 24.000 orang.

 

 

Untuk memulihkan perekonomian yang melemah sebagai akibat pandemi Covid-19, sejak tahun 2020 pemerintah memperbanyak alokasi belanja bantuan sosial dalam APBN. Hal tersebut untuk membantu masyarakat mengatasi kesulitan pemenuhan kebutuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial dan lain-lain bagi keluarganya.

Komitmen pemerintah untuk melindungi masyarakat tetap berlanjut dengan berbagai program yang pro rakyat. Pada tahun 2025, anggaran bantuan sosial, antara lain untuk Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 10 juta KPM, Bansos Sembako sebanyak 18,3 juta KPM, Penyaluran subsidi jenis BBM tertentu sebanyak 19,41 juta kilo liter, Subsidi LPG Tabung 3 kg sebanyak 8.170 juta kg, Subsidi Bunga KUR untuk 7,05 juta debitur, BLT Desa untuk 2,96 juta KPM, Program Indonesia Pintar (KIP) untuk 20,4 juta siswa, KIP Kuliah untuk 1,1 juta mahasiswa, dan lain- lain (Info APBN 2025).

Selain program bantuan sosial di atas, pemerintah tahun 2025 juga meluncurkan Program MBG. Di samping untuk mengatasi permasalahan gizi, program MBG juga dapat menjadi alat pendorong pertumbuhan ekonomi yang sudah mulai berjalan normal seperti sebelum masa pandemi.

Program yang didukung dengan alokasi anggaran Rp71 Triliun pada tahun pertama, diharapkan dapat menjangkau penerima manfaat sebanyak 82,9 juta orang. Kebijakan ini dipilih, selain untuk memperbaiki kualitas SDM, juga untuk mengurai simpul permasalahan Pembangunan secara nasional.

Penyelenggaraan Program MBG secara pasti akan menciptakan pasar baru (demand dan supply) karena secara mandatory merupakan implementasi dari kebijakan pemerintah. Dengan berjalannya Program MBG, akan terbuka lapangan kerja baru secara luas di seluruh Indonesia. Lapangan kerja baru tersebut akan menyerap tenaga kerja dengan tidak memerlukan kualifikasi pengalaman kerja dan pendidikan tertentu. Hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat pengangguran sekaligus mengurangi jumlah penduduk miskin dengan merekrut minimal 30% relawan dari kelompok masyarakat pada Desil 1 dan Desil 2 (berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) di sekitar Dapur.

Selain itu, kebiasaan dan proses bisnis operasional Dapur SPPG akan memberikan literasi masyarakat terkait kesehatan, gizi, kebersihan, kelestarian lingkungan, kedisiplinan, dan lain-lain. Bagi penerima manfaat, yaitu balita, anak usia sekolah, ibu hamil dan ibu menyusui, Program MBG akan meningkatkan kesehatan masyarakat, termasuk menurunkan angka prevalensi stunting dan malnutrisi. Bagi pelaku UMKM dan Yayasan yang bergabung sebagai Mitra BGN akan mendapatkan penghasilan dari sewa aset berupa bangunan, peralatan dan kendaraan.

Geliat aktivitas perekonomian sudah dimulai jauh sebelum dapur beroperasi, yaitu pada saat proses pembangunan dapur, penyiapan peralatan masak, serta fasilitas pendukung lainnya.

Dengan perhitungan kasar, untuk membangun satu dapur berukuran 300 M² atau 400 M² dengan indeks harga per meter persegi Rp3 juta – Rp4 juta, maka perputaran ekonomi dapat diperkirakan antara Rp0,9 miliar - Rp1,6 miliar. Sementara itu untuk pengadaan peralatan masak, perlengkapan kantor, perlengkapan pakaian kerja karyawan, dan lain-lain dibutuhkan sekitar Rp500 juta.

Dengan perhitungan tersebut, untuk menyiapkan satu dapur diperlukan antara Rp1,4 miliar – Rp2,1 miliar dan bila secara nasional diperlukan 30.000 Dapur SPPG, maka akan menggerakkan perekonomian sekitar Rp42 triliun – Rp63 triliun. Dengan demikian, multiplier effect selama tahap penyiapan dapur sudah mampu menciptakan lapangan kerja dan perekonomian masyarakat level bawah, seperti tukang bangunan, buruh pabrik, garmen, dan lain-lain.

Selanjutnya, saat dapur sudah beroperasi banyak tenaga kerja yang akan terserap. Satu Dapur SPPG memerlukan minimal 51 orang, terdiri dari Kepala SPPG, 47 orang relawan, satu asisten lapangan, satu ahli gizi, dan satu tenaga akuntan). Untuk melayani target 82,9 juta orang penerima manfaat di seluruh Indonesia, diperlukan sebanyak 30.000 dapur. Bila dikalkulasikan, jumlah tenaga kerja yang akan terserap diperkirakan sebanyak 1,5 juta orang. Hal ini dapat mengurangi jumlah pengangguran yang berdasarkan data BPS bulan Februari 2025 sebanyak 7,28 juta orang atau 4,76% (BPS, 2025).

Lebih jauh lagi, program ini juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat lokal. Penghasilan relawan SPPG yang direkrut dari sekitar lokasi dapur, akan menerima penghasilan sekitar Rp2.2 juta per orang (asumsi upah Rp100 ribu/hari, bekerja selama 22 hari/bulan). Bila diakumulasikan secara nasional, maka akan ada penambahan penghasilan sektor rumah tangga sebesar Rp3,1 triliun per bulan.

Dengan demikian, program MBG merupakan salah satu strategi jitu pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, serta peningkatan kapasitas ekonomi dalam waktu yang sama.

Pada sektor riil, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dapur, pemerintah berharap dapat dipenuhi dari bahan makan lokal. Hal ini dapat mendorong masyarakat sekitar dapur kembali meningkatkan produksi pertanian, perikanan, peternakan, dan lain-lain.

Pemenuhan kebutuhan bahan makanan untuk Dapur SPPG dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti langsung dari pedagang kelontong, koperasi, BUMDes, perusahaan dan pelaku UMKM. Program MBG juga sejalan dengan program prioritas pemerintah, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KD/KMP). Pembentukan KD/KKMP dapat menjadi jalur pendek antara petani secara individu dengan Dapur SPPG.

Dengan beroperasinya dapur SPPG, program KD/KKMP memiliki pasar yang konsisten. Peluang KD/KKMP untuk menjadi pemasok bahan baku, gas LPG, dan kebutuhan lain juga dapat lebih pasti. Hal ini akan mendukung keberlanjutan bisnis KD/KKMP yang ada di setiap desa/kelurahan.

Untuk melayani 82,9 juta orang yang menjadi target penerima manfaat, menu yang disajikan bervariasi setiap harinya. Sebagai contoh, bila dihitung untuk menu masakan yang menggunakan telur, dalam sehari akan dibutuhkan 82,9 juta butir telur atau setara 5.000 ton kg. Bila jumlah tersebut dinominalkan, akan diperoleh angka sekitar Rp175 miliar per hari. Dengan kebutuhan tersebut, peternak ayam akan memiliki pasar yang semakin luas, selain untuk konsumsi masyarakat umum.

Gambaran lainnya, untuk satu Dapur SPPG yang melayani 3.500 – 4.000 orang, dalam sehari membutuhkan beras sekitar 350 kg, ayam potong 350 kg, buah segar 350 kg, sayuran 300 kg, dan susu segar 30-40 liter. Selain itu, juga diperlukan bumbu, minyak goreng, dan lain-lain. Jika barang-barang tersebut dapat dipenuhi oleh masyarakat di sekitar dapur, tentu akan menjadi stimulan perekonomian yang signifikan.

Penutup

Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Program MBG selain memperbaiki permasalahan gizi untuk generasi muda, juga akan menjadi akselerator pertumbuhan ekonomi masyarakat lapisan bawah dan mengurangi pengangguran. Dampak positif yang luas pada berbagai sektor pembangunan akan terjadi secara berkelanjutan. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Agar program MBG dapat berjalan lancar, perlu mendapat dukungan, baik dari kementerian negara/lembaga, pemerintah daerah, maupun swasta. Sebagai masukan, agar manfaat program ini dapat optimal, penerapan quality control dan standard operating procedure yang ketat perlu dilakukan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, seperti kasus keracunan dan benturan kepentingan dalam pengelolaan program.

Oleh karena itu, selain pengawasan oleh institusi pemerintah, masyarakat pun sebaiknya dilibatkan sebagai bagian dari kontrol sosial.

*Disclaimer: Semua tulisan merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi 

*) Agustinus Prasetyo adalah Kepala Bidang PPA I Kanwil DJPb Provinsi Bangka Belitung

Pewarta: Agustinus Prasetyo *)

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2025