Jakarta (Antara Babel) - Aktivitas pertambangan yang mengakibatkan pencemaran merkuri di Republik Indonesia dinilai merugikan sektor perekonomian di Tanah Air hingga lebih dari Rp12 miliar per tahun, menurut LSM Balifokus.
"Pencemaran merkuri dari manapun sumbernya dapat mengakibatkan kerugian ekonomi," kata peneliti Balifokus Krishna Zaki dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu.
Menurut Krishna Zaki, pencemaran merkuri dapat berdampak kepada menurunnya IQ (tingkat kecerdasan) di suatu komunitas yang ke depannya juga akan bisa mengurangi potensi ekonomi nasional suatu negara.
Bahkan, menurut dia, sebuah penelitian memperkirakan bahwa setiap penurunan angka IQ akan menyebabkan kerugian ekonomi hingga sekitar 19.000 dolar AS.
Balifokus menyoroti bahwa salah satu sumber yang menyebabkan pencemaran merkuri adalah pertambangan emas skala kecil, yang merupakan 37 persen sumber pencemaran merkuri global.
"Di Indonesia, 57 persen emisi merkuri dari pertambangan emas skala kecil, dan di Indonesia ada lebih dari 500 ribu pekerja di pertambangan emas skala kecil," paparnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Purwasto Saroprayogi mengemukakan, salah satu sektor yang paling banyak menggunakan merkuri adalah pertambangan emas skala kecil yakni untuk proses amalgamasi (teknik mencampurkan merkuri dengan bijih emas).
"Pertambangan emas skala kecil menimbulkan kerugian ekonomi karena tidak membayar pajak, recovery tidak optimal, ketergantungan dan cenderung hanya menguntungkan pemodal, pemborosan sumber daya alam," ujarnya.
Peneliti jaringan LSM kesehatan dan lingkungan global (IPEN) Joe DiGangi yang telah ikut menulis penelitian terkait dengan pencemaran merkuri di sekitar 15 negara itu juga memperkirakan potensi kerugian tahunan secara global akibat pencemaran merkuri bisa mencapai lebih dari 77 juta dolar AS.
Sejumlah aktivitas sektor pertambangan lainnya yang menghasilkan pencemaran merkuri antara lain hasil emisi sampingan dari pembakaran batu bara dalam produksi energi listrik.
Selain itu, contoh dari produk yang mengandung merkuri adalah lampu neon, termometer, baterai, dan saklar, serta produk sejenis lainnya.
Di tingkat internasional, juga telah ada Konvensi Minamata mengenai Merkuri yang telah disusun pada tahun 2013 tetapi belum diberlakukan. Saat ini, dilaporkan banyak negara sedang melakukan kajian kepada sumber pencemaran dan tingkat pencemaran eksisting merkuri guna mempersiapkan proses ratifikasi.
Setelah diberlakukan, Konvensi Minamata mengenai Merkuri itu akan mewajibkan setiap negara yang memberlakukan untuk mengurangi perdagangan dan persediaan merkuri, menghilangkan atau mengurangi produk yang prosesnya memakai merkuri, serta mengontrol emisi dan lapisan merkuri.
Balifokus juga mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi Minamata dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional untuk mencegah potensi penghasilan yang hilang di Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
"Pencemaran merkuri dari manapun sumbernya dapat mengakibatkan kerugian ekonomi," kata peneliti Balifokus Krishna Zaki dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu.
Menurut Krishna Zaki, pencemaran merkuri dapat berdampak kepada menurunnya IQ (tingkat kecerdasan) di suatu komunitas yang ke depannya juga akan bisa mengurangi potensi ekonomi nasional suatu negara.
Bahkan, menurut dia, sebuah penelitian memperkirakan bahwa setiap penurunan angka IQ akan menyebabkan kerugian ekonomi hingga sekitar 19.000 dolar AS.
Balifokus menyoroti bahwa salah satu sumber yang menyebabkan pencemaran merkuri adalah pertambangan emas skala kecil, yang merupakan 37 persen sumber pencemaran merkuri global.
"Di Indonesia, 57 persen emisi merkuri dari pertambangan emas skala kecil, dan di Indonesia ada lebih dari 500 ribu pekerja di pertambangan emas skala kecil," paparnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Purwasto Saroprayogi mengemukakan, salah satu sektor yang paling banyak menggunakan merkuri adalah pertambangan emas skala kecil yakni untuk proses amalgamasi (teknik mencampurkan merkuri dengan bijih emas).
"Pertambangan emas skala kecil menimbulkan kerugian ekonomi karena tidak membayar pajak, recovery tidak optimal, ketergantungan dan cenderung hanya menguntungkan pemodal, pemborosan sumber daya alam," ujarnya.
Peneliti jaringan LSM kesehatan dan lingkungan global (IPEN) Joe DiGangi yang telah ikut menulis penelitian terkait dengan pencemaran merkuri di sekitar 15 negara itu juga memperkirakan potensi kerugian tahunan secara global akibat pencemaran merkuri bisa mencapai lebih dari 77 juta dolar AS.
Sejumlah aktivitas sektor pertambangan lainnya yang menghasilkan pencemaran merkuri antara lain hasil emisi sampingan dari pembakaran batu bara dalam produksi energi listrik.
Selain itu, contoh dari produk yang mengandung merkuri adalah lampu neon, termometer, baterai, dan saklar, serta produk sejenis lainnya.
Di tingkat internasional, juga telah ada Konvensi Minamata mengenai Merkuri yang telah disusun pada tahun 2013 tetapi belum diberlakukan. Saat ini, dilaporkan banyak negara sedang melakukan kajian kepada sumber pencemaran dan tingkat pencemaran eksisting merkuri guna mempersiapkan proses ratifikasi.
Setelah diberlakukan, Konvensi Minamata mengenai Merkuri itu akan mewajibkan setiap negara yang memberlakukan untuk mengurangi perdagangan dan persediaan merkuri, menghilangkan atau mengurangi produk yang prosesnya memakai merkuri, serta mengontrol emisi dan lapisan merkuri.
Balifokus juga mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi Minamata dan melaksanakan Rencana Aksi Nasional untuk mencegah potensi penghasilan yang hilang di Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017