Jalan-jalan ke Provinsi Aceh yang kaya destinasi wisata, wisatawan tidak hanya mendapatkan pesona bahari, alam, budaya dan sejarah serta kelezatan kuliner masyarakat yang mendiami provinsi paling barat Indonesia yang berbatasan langsung dengan Selat Melaka itu.

Di balik keindahan alam karunia Illahi dan warisan budaya yang mempesona tersebut, turis domestik dan mancanegara yang berkunjung ke Tanah Rencong itu pun dapat merasakan keramahtamahan dan sikap mudah membantu warga setempat.

Tidak sedikit di antara mereka itu yang mengenal baik destinasi wisata di daerahnya. Kesan itulah yang dirasakan Antara tatkala melangkah keluar terminal kedatangan Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh  pada 5 Maret pukul 16.30 WIB.

Pada Minggu sore itu, suasana di depan pintu keluar terminal kedatangan yang dipadati ratusan orang penumpang maskapai penerbangan LionAir JT 0306 rute Soekarno Hatta-Kuala Namu-Sultan Iskandar Muda itu riuh rendah dengan rayuan belasan orang sopir taksi berpakaian rompi Primkopau biru langit.

Di antara para sopir yang memburu penumpang itu adalah Edi Syaputra. Dia menawarkan taksinya kepada Antara. "Taksi Pak?" sapa Edi. "Saya mau shalat Ashar dulu.". Dengan sabar dia menunggu hingga penulis selesai shalat.

Sopir seperti Edi yang bernaung di bawah Primkopau setempat itu banyak namun jangan dibanyangkan bahwa taksi bandara yang menjadi pintu gerbang utama Aceh itu seperti umumnya taksi di Bandara Internasional Soekarno Hatta.

Yang dimaksud dengan taksi bandara di Aceh tersebut tiada lain mobil minibus seperti Avanza dan Xenia, bukan sedan.

Setelah menyodorkan secarik kertas biru berisi daftar tarif taksi dan ditetapkan Banda Aceh sebagai tujuan pengantaran, Edi Syaputra bergegas menuju mobilnya.

Di sepanjang perjalanan dari bandara menuju salah satu hotel di Kota Banda Aceh itu, Edi dengan senang hati melayani pertanyaan-pertanyaan penumpangnya tentang hotel, moda transportasi, dan tempat-tempat wisata yang biasa dikunjungi turis domestik dan mancanegara di Banda Aceh dan sekitarnya serta Sabang.

Tak cukup dengan informasi umum tentang daerah-daerah tujuan wisata Aceh, dia pun menyelipkan cerita tentang lokasi memancing yang populer di kalangan wisatawan lokal dan asing, khususnya Malaysia.

"Ada banyak spot memancing di perairan Pulau Weh. Di antaranya adalah Pulau Beras dan Pulau Aceh. Tapi kita harus menyewa 'boat' untuk bisa ke sana." Dia pun bercerita tentang perahu bermotor temannya di Sabang yang biasa disewa untuk memancing dengan ongkos antara Rp500.000 dan Rp700.000.

Berdasarkan pengalaman pribadinya saat menyalurkan hobinya memancing bersama rekan-rekannya maupun ketika diminta memandu sejumlah wisatawan Malaysia memancing itu, Edi mengatakan bahwa potensi ikan di perairan Pulau Weh dan sekitarnya "sangat besar".

Pengalaman bertemu Edi yang ramah dan berpengetahuan luas tentang seluk-beluk pariwisata Aceh itu berlanjut saat naik becak bermotor yang biasa juga disebut "bentor" dari jalan di seberang Masjid Baiturrahman ke hotel tempat penulis menginap.

Adalah Rizal pengemudi bentor tersebut. Tak hendak berunding, dia mematok ongkos Rp15.000 untuk diantar sampai tujuan. Selain tak mematok ongkos yang mahal, Rizal tangkas menjelaskan banyak hal yang biasa dinikmati para pendatang dari luar Provinsi Aceh.

Di sela percakapan di sepanjang jalan, dia pun tak lupa berinisiatif menawarkan jasanya jika penumpangnya berniat mengunjungi beberapa destinasi wisata di sekitar Banda Aceh, seperti Museum Tsunami, Rumoh Aceh, Monumen Aceh Thank to the World Park, dan monumen kapal di atas rumah di daerah Lampulo.

Tak hanya itu. Rizal pun tak lupa menyelipkan kelezatan kuliner khas seperti mie Aceh.

"Kalau mau menikmati lezatnya Mie Aceh, bisa coba Mie Razali."

Paket perjalanan wisata dalam Kota Banda Aceh dan sekitarnya dengan bentornya seharian penuh itu ditawarkan Rizal dengan harga Rp300.000. Dengan bayaran sebesar itu dia bersedia mengantar dan menemani wisatawan dengan bentornya ke destinasi-destinasi wisata yang diinginkan.

Seperti Edi yang tak lupa memberi kartu namanya sebelum berpisah dengan penumpangnya, demikian pula dengan Rizal. Anak muda ini pun berinisiatif memberi nomor telepon selularnya guna mempermudah turis untuk kembali menggunakan jasa becak motornya di lain waktu.

Keramahtamahan dan totalitas

Keramahtamahan dan totalitas dalam melayani wisatawan itu kembali dirasakan penulis keesokan harinya ketika hendak ke Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue untuk mengejar kapal feri menuju Pelabuhan Balohan, Sabang.

Pengemudi bentor itu menyebut namanya, Muhammad, namun dia lebih suka dipanggil Max. Di sepanjang perjalanan dari depan hotel hingga ke Pelabuhan Ulee Lheue, pemuda yang menamatkan SMAnya pada 2004 itu tampak lancar menjelaskan potensi pariwisata Aceh.

Seperti rekannya sesama pengemudi bentor, Rizal, dia pun menawarkan paket wisata dengan bentor seharga Rp300 ribu sehari penuh guna menelusuri berbagai obyek wisata andalan Kota Banda Aceh dan tempat-tempat kuliner penting di kota itu.

Kesan baik tentang warga Aceh yang ikut mempromosikan dan mendukung kegiatan pariwisata daerahnya itu berlanjut hingga menjejakkan kaki di Pulau Weh guna mencoba sejumlah destinasi wisata andalan Sabang.

Baik Edi Syaputra dan Muhammad alias Max menyarankan agar setibanya di Pelabuhan Balohan, wisatawan yang ingin menjajal berbagai destinasi wisata penting Sabang mencari tempat penyewaan sepeda motor untuk memudahkan mobilitas.

Saran tersebut terbukti efektif. Bahkan, sesaat Kapal Motor Penumpang (KMP) Tanjung Burang merapat di dermaga Pelabuhan Balohan, Sabang, Muhammad Tony sudah bergegas naik ke dek penumpang untuk menawarkan penyewaan sepeda motornya.

         Warga Sabang yang menawarkan jasa penyewaan sepeda motor kepada para turis domestik dan asing di pelabuhan penyeberangan itu terbilang banyak. Ongkos sewa sepeda motor per hari (24 jam) bervariasi antara Rp80.000 sampai Rp120.000.

Membantu turis

Sikap ramah dan mudah membantu turis-turis yang berkunjung ke Banda Aceh dan Pulau Weh yang terkenal dengan obyek wisata Kilometer Nol Indonesia serta Desa Wisata Iboih dan taman laut Pulau Rubiahnya itu tidak hanya ditunjukkan anak-anak muda seperti Muhammad Tony dan pemandu wisata.

Sikap bersahabat dan ramah terhadap turis itu juga ditunjukkan kebanyakan warga lain seperti penjual makanan dan barang pecah-belah. Di antara turis mancanegara yang terkesan dengan kehangatan sambutan dan keramahtamahan masyarakat Aceh itu adalah Amaranta dan Alaska.

Dua wisatawan asal Spanyol itu mengaku betah menikmati pesona Sabang selama tiga hari kunjungan mereka karena merasakan keramahtamahan dan sambutan hangat yang dari beragam orang yang mereka temui.

Perbedaan agama dan kepercayaan serta budaya tak menjadi soal dan penghalang bagi kedua perempuan berambut pirang itu selama berada di Sabang. Bahkan, kehangatan dan keramahtamahan warga setempat itu telah mereka rasakan sejak tiba di Banda Aceh.  
"Sebelum ke Sabang, kami sudah menginap tiga hari di Banda Aceh. Di kota itu, kami sempat menghadiri resepsi pernikahan teman kami. Orang-orang Aceh dan Indonesia pada umumnya ramah dan bersahabat sama wisatawan seperti kami," kata Alaska.

Dari Sabang, kedua turis Spanyol yang ditemui saat menikmati semburat senja bersama belasan orang pengunjung lain di kawasan wisata Kilometer Nol Indonesia, Selasa petang (7/3), mengatakan mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bukit Lawang, Sumatera Utara.

Di lokasi wisata alam yang terkenal dengan habitat Orang utannya itu, mereka berencana menginap di sana selama tiga hari sebelum kembali ke negaranya.

Selama di Kilometer Nol Indonesia itu, Amaranta dan Alaska tak terlihat kesulitan dalam berkomunikasi dengan seorang pria Aceh yang mengantar mereka dengan becak motornya dari Resor Casanemo, tempat mereka menginap, ke kawasan wisata yang menjadi ikon Sabang tersebut.

Pengemudi becak motor tersebut pun terlihat senang membantu mengambilkan foto Amaranta dan Alaska pada momen senja di ufuk barat perairan Pulau Weh itu dengan kamera telepon selular milik salah satu dari mereka.

Keramahtamahan dan inisiatif sejumlah warga Sabang untuk terlebih dahulu menyapa ramah para wisatawan yang terlihat bingung karena belum mengenal persis kondisi medan, lokasi dan arah dirasakan bak obat yang menenangkan hati.

Hal itu yang dilakukan Basri, pemuda asal Gampong (Kampung) Iboih, terhadap turis yang baru pertama kali mengunjungi desa wisata yang bertetangga dengan Pulau Rubiah tersebut.

Tak sekadar membantu mencarikan akomodasi tanpa meminta bayaran tambahan apa pun dari wisatawan yang dia bantu, Basri yang sehari-hari bekerja sebagai pemandu turis yang hendak melakukan snorkeling dan penyelaman di taman bawah laut Pulau Rubiah ini juga berbagi informasi tentang kearifan lokal di Iboih.

Menurut Basri, warga setempat maupun turis dilarang untuk melakukan aktivitas turun ke laut sejak masuk waktu shalat Magrib pada Kamis malam hingga warga Muslim  selesai melakukan Shalat Jumat sekitar pukul 14.00 WIB.

Baru seusai Shalat Jumat, kegiatan di laut bisa kembali dilakukan para warga setempat maupun wisatawan.

"Ini aturan kampung yang tak boleh dilanggar. Ada satgas yang mengawasi. Kalau melanggar, maka ada denda yang harus ditanggung."

"Kita di sini sudah tahu hal itu. Kalau malam Jumat tak boleh bertolak ke laut untuk menangkap maupun memancing ikan," katanya.

Partisipasi warga masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan area wisata maupun kelestarian biota laut dan karang perairan Pulau Rubiah dan Gampong Iboih, Kecamatan Sukakarya, ini juga tergolong tinggi.

Selain mudah menemukan papan-papan pengumuman berisi imbauan untuk senantiasa menjaga kebersihan dengan membuang sampah organik dan nonorganik pada tong-tong yang telah disediakan, kelompok penyelam Gampong Iboih, misalnya, juga mempunyai program rutin membersihkan sampah di sekitar pantai dan taman bawah laut Pulau Rubiah setiap enam bulan sekali.

Menurut Age Zulhairi, setiap setengah tahun itu, sekitar 30-an pemandu wisata bawah air yang memiliki keahlian menyelam seperti dirinya bergotong-royong membersihkan sampah-sampah yang tenggelam di dasar laut sekitar titik penyelaman Pulau Rubiah.

Sampah tersebut tidak berasal dari Pulau Rubiah dan Desa Wisata Iboih tetapi dari tempat-tempat lain yang terbawa arus laut ke perairan mereka, kata pemandu wisata selam berusia 26 tahun itu.

Sebagai hasil dari partisipasi aktif masyarakat setempat dalam menjaga kebersihan lingkungan pantai dan biota laut ini, para wisatawan yang tiba di Pulau Rubiah untuk melakukan snorkeling dan penyelaman merasa nyaman.

Masa depan pariwisata Aceh tak hanya bergantung pada keseriusan pemerintah pusat dan daerah tetapi juga berada di tangan orang-orang kecil seperti Age, Basri, Edi, Rizal, Muhammad, dan Tony.

Mereka itu warga biasa yang sumbangannya terhadap kemajuan sektor pariwisata Aceh tak dapat dipandang sebelah mata. Mereka itu garda depan yang turut menentukan wajah dan masa depan pariwisata provinsi di paling ujung barat negeri ini.

Pewarta: Rahmad Nasution

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017