Jakarta (Antara Babel) - Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia
(Indonesian Environmental Scientists Association/IESA) mengingatkan agar
pembangunan nasional menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan, sebab sumber daya alam dan jasa lingkungan memiliki
keterbatasan.
Ketua Umum IESA Dr dr Tri Edhi Budhi Soesilo, Msi di Jakarta, Minggu, mengatakan tantangan utama pembangunan nasional saat ini antara lain, terus bertambahnya jumlah penduduk yang mendorong meningkatnya kebutuhan dan keinginan terhadap barang dan jasa.
Di sisi lain, tambahnya, sumber daya alam tidak terbarukan semakin terbatas dan terjadi deplesi (penyusutan) kapital alam, sementara tingkat pengetahuan dan ketrampilan di Indonesia masih rendah.
"Serta pada kenyataannya, teknologi tidak mampu menggantikan sebagian besar fungsi sumber daya alam dan jasa lingkungan," kata dia menjelaskan manifesto IESA yang merupakan hasil Kongres Pembangunan dan Lingkungan 2017.
Sebelumnya pada Sabtu (18/3), IESA menggelar Kongres Pembangunan dan Lingkungan 2017 di Jakarta, yang dihadiri Staf Khusus Kepala Kantor Staf Presiden Noer Fauzi Rachman dan sejumlah tokoh seperti mantan Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja.
Berdasarkan proyeksi Bappenas, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305,6 juta jiwa pada 2035. Sementara berdasarkan perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2009, cadangan minyak mentah Indonesia akan habis dalam kurun 22,9 tahun, gas habis dalam 58,9 tahun, dan batubara habis dalam 82 tahun.
Sementara itu, menurut kajian UNDP tahun 2014, indeks pembangunan manusia di Indonesia saat ini baru mencapai 0,684 dan berada di peringkat 110, sedikit di atas Filipina yang berada di peringkat 115, namun jauh di bawah Tiongkok yang berada di peringkat 90.
Dalam situasi tersebut, bencana alam di Indonesia justru menunjukkan peningkatan, sebagaimana dinyatakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kejadian bencana di Indonesia naik dari 143 kejadian pada tahun 2002 menjadi 1.967 kejadian pada tahun 2014.
Sekitar 98 persen dari total kejadian bencana per tahun, adalah bencana hidrometeorologis seperti banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan. Tren bencana ke depan diproyeksi BNPB akan terus meningkat karena perilaku manusia (antropogenik).
Ketua Bidang Kerja sama dan Komunikasi IESA Mahawan Karuniasa menambahkan, meningkatnya bencana hidrometeorologis tak bisa lepas dari perubahan iklim yang saat ini terjadi.
"Ini menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan nasional," kata Mahawan yang juga merupakan perwakilan Indonesia di Paris Committee on Capacity-building perubahan iklim di konvensi kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC).
Sementara itu Staf Khusus Kepala Kantor Staf Presiden Noer Fauzi Rachman berharap dukungan anggota IESA terkait kebijakan pemerintah yang mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan.
Dia menuturkan, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan memperluas akses rakyat terhadap lahan. Ada program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare dan reforma agraria seluas 9 juta hektare.
"Perlu dukungan pemikiran dari para ahli lingkungan agar usaha rakyat yang dijalankan menghasilkan ekonomi bernilai tinggi dan bernilai tinggi juga secara ekologi," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
Ketua Umum IESA Dr dr Tri Edhi Budhi Soesilo, Msi di Jakarta, Minggu, mengatakan tantangan utama pembangunan nasional saat ini antara lain, terus bertambahnya jumlah penduduk yang mendorong meningkatnya kebutuhan dan keinginan terhadap barang dan jasa.
Di sisi lain, tambahnya, sumber daya alam tidak terbarukan semakin terbatas dan terjadi deplesi (penyusutan) kapital alam, sementara tingkat pengetahuan dan ketrampilan di Indonesia masih rendah.
"Serta pada kenyataannya, teknologi tidak mampu menggantikan sebagian besar fungsi sumber daya alam dan jasa lingkungan," kata dia menjelaskan manifesto IESA yang merupakan hasil Kongres Pembangunan dan Lingkungan 2017.
Sebelumnya pada Sabtu (18/3), IESA menggelar Kongres Pembangunan dan Lingkungan 2017 di Jakarta, yang dihadiri Staf Khusus Kepala Kantor Staf Presiden Noer Fauzi Rachman dan sejumlah tokoh seperti mantan Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja.
Berdasarkan proyeksi Bappenas, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305,6 juta jiwa pada 2035. Sementara berdasarkan perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2009, cadangan minyak mentah Indonesia akan habis dalam kurun 22,9 tahun, gas habis dalam 58,9 tahun, dan batubara habis dalam 82 tahun.
Sementara itu, menurut kajian UNDP tahun 2014, indeks pembangunan manusia di Indonesia saat ini baru mencapai 0,684 dan berada di peringkat 110, sedikit di atas Filipina yang berada di peringkat 115, namun jauh di bawah Tiongkok yang berada di peringkat 90.
Dalam situasi tersebut, bencana alam di Indonesia justru menunjukkan peningkatan, sebagaimana dinyatakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kejadian bencana di Indonesia naik dari 143 kejadian pada tahun 2002 menjadi 1.967 kejadian pada tahun 2014.
Sekitar 98 persen dari total kejadian bencana per tahun, adalah bencana hidrometeorologis seperti banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan. Tren bencana ke depan diproyeksi BNPB akan terus meningkat karena perilaku manusia (antropogenik).
Ketua Bidang Kerja sama dan Komunikasi IESA Mahawan Karuniasa menambahkan, meningkatnya bencana hidrometeorologis tak bisa lepas dari perubahan iklim yang saat ini terjadi.
"Ini menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan nasional," kata Mahawan yang juga merupakan perwakilan Indonesia di Paris Committee on Capacity-building perubahan iklim di konvensi kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC).
Sementara itu Staf Khusus Kepala Kantor Staf Presiden Noer Fauzi Rachman berharap dukungan anggota IESA terkait kebijakan pemerintah yang mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan.
Dia menuturkan, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan memperluas akses rakyat terhadap lahan. Ada program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare dan reforma agraria seluas 9 juta hektare.
"Perlu dukungan pemikiran dari para ahli lingkungan agar usaha rakyat yang dijalankan menghasilkan ekonomi bernilai tinggi dan bernilai tinggi juga secara ekologi," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017