Pangkalpinang (Antara Babel) - Sekretaris Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Suryanto Tjandra mengatakan Qing Ming yang lebih dikenal dengan nama Ceng Beng adalah tahun baru orang yang telah meninggal.

"Cheng Beng setiap tahunnya berlangsung pada 4 atau 5 April jika itu tahun kabisat, di mana masyarakat Tionghoa sembahyang ke rumah abu (keluarga besar) atau pergi ke kuburan leluhurnya untuk sembahyang dan memperbaiki kuburan guna mengenang jasa-jasa leluhur yang telah ditanamnya," katanya di Pangkalpinang, Rabu.

Suryanto mengatakan, sembahyang besar atau sembahyang leluhur ini merupakan suatu kewajiban bagi warga Tionghoa yang masih memegang teguh ajaran leluhur.

"Sembahyang besar ini biasanya memakai Sam Seng (tiga hewan bernyawa). Karena itu sembahyang ini juga bisa disebut dengan sembahyang Sam Seng atau sembahyang bernyawa," ujarnya.

Dikatakannya, budaya yang terdapat pada masyarakat Tionghoa atau umat Khonghucu saat-saat berkumpul bersama-sama secara lengkap adalah ketika orang tua masih hidup atau merayakan pesta ulang tahun orang tua.

"Namun jika orang tua telah tiada, maka saat-saat berkumpul adalah saat sembahyang leluhur (Qing Ming). Hal ini bisa terlihat dengan penuh sesaknya penumpang pesawat dari berbagai kota besar ke Pangkalpinang mendekati hari Qing Ming," katanya.

Ia menyebutkan, untuk perlengkapan sembahyang leluhur ini terdapat beberapa sesajen yang dihidangkan yakni Sam Seng (tiga jenis mahluk hidup), Wu Guo (lima jenis buah-buahan), kue-kue, Ming-Zhi (uang kertas alam baka) serta perlengkapan lainnya.

"Untuk Sam Seng berupa daging babi, ayam dan ikan atau cumi. Tiga jenis ini merupakan sumber kehidupan yakni melambangkan daratan, udara dan air," katanya.

Pewarta: Try Mustika Hardi

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017