Jakarta (Antara Babel) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengidentifikasi dan akan melepas 4,1 juta hektare (ha) kawasan hutan menjadi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).

Sekretaris Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Yuyu Rahayu di Jakarta, Selasa, mengatakan penyediaan TORA seluas 4,1 juta ha melalui skema redistribusi kawasan dan legalisasi aset itu merupakan hasil pertemuan Menteri LHK Siti Nurbaya dengan Menteri BUMN Rini Soemarno.

Obyek TORA seluas 4,1 juta ha tersebut  berasal dari dua obyek besar. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.17/menhut-II/2011, obyek adalah alokasi 20 persen perusahaan perkebunan dari pelepasan kawasan hutan, dan seluas 2,1 juta ha adalah Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), yang berada di kawasan hutan namun tidak produktif.

Target TORA bukan sekedar sertifikasi lahan, namun Reforma Agraria dibangun atas keinginan untuk pemerataan kesejahteraan dan usaha menghadirkan negara di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Pelaksanaan kebijakan itu, diharapkan selesai selama masa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Penasehat Senior Menteri LHK Chalid Muhammad mengatakan  Reforma Agraria tidak bisa dipisahkan dari Perhutanan Sosial. "Kedua hal itu perlu diintegrasikan, mengingat hal yang paling penting dari Reforma Agraria tidak semata-mata lahannya, melainkan produktivitas masyarakat".

Aspek lain yang dapat diperoleh dari program itu adalah nilai ekonominya, melalui lingkungan ekonomi atau pasar produk yang dekat dengan masyarakat.

Untuk itu KLHK mencoba menciptakan model yang akan diterapkan terlebih dahulu di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau. KLHK juga telah melakukan pemetaan sosial bersama rekan-rekan TNI, POLRI dan LSM agar menciptakan Reforma Agraria yang tepat sasaran.

Dalam model itu, upaya mengurangi konflik tenurial yang dilakukan KLHK dengan  memindahkan 2.000 Kepala Keluarga (KK) yang memiliki lahan kurang dari lima ha dari TNTN ke areal bekas Hak Pemanfaatan Hutan (HPH). Masyarakat yang sebelumnya berada dalam kawasan selama setengah daur (+ 12 tahun) masih akan dinegosiasikan.

Pola kemitraan dengan Balai TNTN diberlakukan dengan mereka, dengan Pola Hutan Kemasyarakatan Terbatas maka penerapan aturannya misalkan dengan pass masuk hanya boleh saat panen. Hal ini dilakukan sebagai upaya menciptakan pemasukan ekonomi bagi masyarakat, hingga kebun atau lahan garapan mereka di tempat  baru siap memiliki nilai ekonomi terlebih dulu.

Sedangkan bagi mereka yang memiliki lahan lebih dari 25 ha baik itu perorangan, pelaku jual-beli, cukong, perusahaan kebun, pabrik pengolahan kelapa sawit dan perusahaan HTI, maka penegakan hukum tidak bisa dilepaskan, ujar Chalid.

Menurut pakar kehutanan Hariadi Kartodihardjo, implementasi Reforma Agraria memiliki banyak tantangan, diantaranya proses relokasi masyarakat di kawasan hutan. Kondisi di lapangan menunjukkan tidak mungkin sebuah kawasan hutan berada dalam kondisi tanpa ada penduduknya, kata Hariadi.

Pewarta: Virna P Setyorini

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017