Jakarta (Antara Babel) - Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara
menjadwalkan sidang pembacaan putusan perkara penistaan agama dengan
terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Selasa (9/5) di Auditorium
Kementerian Pertanian, Jakarta.
Sebelum menyampaikan jadwal sidang pembacaan putusan, dalam sidang pembacaan nota pembelaan di Auditorium Kementerian Pertanian Jakarta, Selasa, Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto meminta tanggapan jaksa mengenai nota pembelaan terdakwa dan kuasa hukumnya.
Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono menjawab bahwa berdasarkan Pasal 182 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jaksa mempunyai hak untuk memberikan jawaban atau replik atas pembelaan terdakwa.
"Ada beberapa pertimbangan, pertama kami sampaikan bahwa kami menilai apa yang disampaikan penasihat hukum tidak ada fakta yang baru, kedua ada sebagian pengulangan di materi eksepsi yang sudah diputus majelis hakim," katanya.
Ia kemudian mengatakan: "Pada prinsipnya kami tetap pada tuntutan sebagaimana surat tuntutan yang kami bacakan. Demikian sikap kami."
Ketua Majelis Hakim lantas meminta tanggapan dari tim penasihat hukum Ahok.
"Sebagaimana yang kami dengar, JPU tetap pada tuntutan sehingga menurut proses hukum apa yang kami kemukakan dalam pembelaan kami dan terdakwa dan segalanya kami serahkan kepada Yang Mulia," jawab Teguh Samudra, anggota tim kuasa hukum Ahok.
Dwiarso mengatakan bahwa setelah tuntutan, pembelaan dan replik telah disampaikan oleh Penuntut Umum maka majelis hakim akan menyampaikan putusan sesuai jadwal pada 9 Mei 2017.
"Untuk itu diperintahkan saudara terdakwa untuk hadir dalam sidang tersebut," kata Dwiarso.
Jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut hakim menjatuhkan hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun kepada Ahok karena menilai tindakan Ahok memenuhi unsur pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Menurut ketentuan itu, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Ahok menjadi terdakwa kasus penistaan agama karena menyebut bahwa ada pihak yang menggunakan Alquran Surat Al Maidah 51 untuk membohongi saat berpidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Potongan rekaman video pidato tersebut kemudian menyebar, dan memicu serangkaian aksi protes dari organisasi-organisasi massa Islam.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
Sebelum menyampaikan jadwal sidang pembacaan putusan, dalam sidang pembacaan nota pembelaan di Auditorium Kementerian Pertanian Jakarta, Selasa, Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto meminta tanggapan jaksa mengenai nota pembelaan terdakwa dan kuasa hukumnya.
Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono menjawab bahwa berdasarkan Pasal 182 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jaksa mempunyai hak untuk memberikan jawaban atau replik atas pembelaan terdakwa.
"Ada beberapa pertimbangan, pertama kami sampaikan bahwa kami menilai apa yang disampaikan penasihat hukum tidak ada fakta yang baru, kedua ada sebagian pengulangan di materi eksepsi yang sudah diputus majelis hakim," katanya.
Ia kemudian mengatakan: "Pada prinsipnya kami tetap pada tuntutan sebagaimana surat tuntutan yang kami bacakan. Demikian sikap kami."
Ketua Majelis Hakim lantas meminta tanggapan dari tim penasihat hukum Ahok.
"Sebagaimana yang kami dengar, JPU tetap pada tuntutan sehingga menurut proses hukum apa yang kami kemukakan dalam pembelaan kami dan terdakwa dan segalanya kami serahkan kepada Yang Mulia," jawab Teguh Samudra, anggota tim kuasa hukum Ahok.
Dwiarso mengatakan bahwa setelah tuntutan, pembelaan dan replik telah disampaikan oleh Penuntut Umum maka majelis hakim akan menyampaikan putusan sesuai jadwal pada 9 Mei 2017.
"Untuk itu diperintahkan saudara terdakwa untuk hadir dalam sidang tersebut," kata Dwiarso.
Jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut hakim menjatuhkan hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun kepada Ahok karena menilai tindakan Ahok memenuhi unsur pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Menurut ketentuan itu, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Ahok menjadi terdakwa kasus penistaan agama karena menyebut bahwa ada pihak yang menggunakan Alquran Surat Al Maidah 51 untuk membohongi saat berpidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Potongan rekaman video pidato tersebut kemudian menyebar, dan memicu serangkaian aksi protes dari organisasi-organisasi massa Islam.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017