Semarang (ANTARA) -
Gagasan menyatukan Anies Rasyid Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 27 November mendatang sempat mengemuka.
Namun, keduanya tampaknya terganjal aturan main sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada menyebutkan calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota belum pernah menjabat sebagai gubernur untuk calon wakil gubernur, atau bupati/wali kota untuk calon wakil bupati/calon wakil wali kota pada daerah yang sama.
Sepanjang ketentuan itu belum berubah, keduanya tidak mungkin bersatu karena Anies maupun Ahok tidak bisa menjadi calon wakil gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2024, tetapi kedua mantan gubernur itu masih berpeluang menjadi calon gubernur.
Hal ini mengingat, baik Anies maupun Ahok, menjabat gubernur baru satu periode. Ketentuan ini termaktub dalam UU Pilkada Pasal 7 ayat (2) huruf n.
Pasal tersebut menyebutkan calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota belum pernah menjabat sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon wali kota, dan calon wakil wali kota.
Wacana menyatukan keduanya sontak mengingatkan pertarungan keduanya pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Anies yang berpasangan dengan Sandiaga Uno memenangi pemilihan itu.
Pertarungan politik Anies dan Ahok pada pilkada itu, menurut Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini, dalam pertarungan persepsi yang menjadi kenyataan dalam sekejap, tetapi kemudian lenyap dalam sekejap berikutnya.
Banyak pihak yang takut kemenangan Anies di Jakarta akan menjadi monster politik radikal, yang tidak akan toleran terhadap keberagaman. Pilkada DKI Jakarta 2017, menurut Prof. Didik, adalah pilgub paling brutal dan jangan sampai diulangi lagi, baik di Jakarta maupun daerah lainnya.
Citra dan persepsi itu hanya dalam beberapa tahun lenyap ketika Anies ikut Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 dengan partai pendukung dari partai-partai nasionalis. Tim pemenangan di kanan kirinya juga datang dari kaum nasionalis dengan latar belakang agama yang lengkap.
Dalam pilpres ini tidak ada lagi pertarungan citra radikal agama dan radikal sekuler, anti-NKRI, dan rasisme.
Prof. Didik yang juga politikus ini mengemukakan bahwa politik sebenarnya hanya citra (image), persepsi, dan bukan yang sebenarnya atau bukan sebenar-benarnya.
Dalam politik praktis dan proses politik di lapangan, persepsi baik atau buruk, persepsi toleran, radikal, atau persepsi apa saja bisa dibentuk dengan gampang serta berbagai cara dan metode.
Politik dan demokrasi yang terbuka seperti sekarang ini, menurut dia, adalah pertanda baik, paling tidak dilihat dari sisi persepsi citra seperti ini.
Oleh karena itu, gagasan politik menyatukan Anies dan Ahok di Jakarta adalah eksperimen yang baik dan berani untuk membersihkan pencitraan politik menuju polarisasi radikal agama atau radikal sekuler. Radikal sekuler di sini mirip-mirip radikal kiri yang anti-agama.
Peluang Anies dan Ahok bersatu, menurut Prof. Didik, sangat mungkin karena beberapa faktor. Pertama, Anies sejatinya seorang yang religius, tetapi tidak radikal seperti yang dipersepsikan ketika hadir dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Bersatu dalam pengertian bukan dalam satu paket pasangan cagub dan cawagub, melainkan berada dalam satu kubu dalam Pilgub DKI 2024.
Kedua, Ahok memang temperamental, yang kadang-kadang tabu di dalam politik. Namun, sesungguhnya Ahok adalah seorang yang nasionalis dilihat dari sejarah garis politiknya.
Ketiga, tidak ada lagi faktor pendorong keduanya ke arah radikal karena Anies sudah bisa tampil pada Pilpres 2024 dengan citra nasionalis religius biasa. Keempat, Ahok juga akan bisa diterima publik.
Anies dan Ahok akan berpikir positif jika paham gagasan seperti ini dari berbagai pihak yang hendak menjadikannya simbol kesatuan dari keduanya. Anies masuk Jakarta mempunyai peluang menang sangat besar.
Anies punya prestasi di Jakarta meskipun banyak kritik terhadapnya. Jakarta menjadi indah dan banyak hal diselesaikan, juga bagian dari prestasinya. Selain itu, Anies makin populer ketika menjadi calon presiden pada Pilpres 2024.
Apabila Anies tidak masuk politik dalam dalam 5 tahun ke depan, namanya bakal hilang dari peredaran. Pasalnya, Anies bukan pemimpin partai politik seperti Prabowo Subianto atau Jusuf Kalla pada masanya.
Oleh karena itu, masuk ke dalam politik di Jakarta adalah peluang yang baik. Tidak hanya bagi kariernya, tetapi juga untuk bangsa pada Pemilu 2029.
Apa yang disampaikan Prof. Didik itu jika Anies sebagai calon gubernur pada Pilkada DKI Jakarta, 27 November 2024. Namun, kalau posisinya sebagai calon wakil gubernur, ia terganjal aturan main kepemiluan.