Suhardin melanjutkan cerita yang belum tuntas disampaikan oleh si kepala desa dan para orang tua soal kearifan lokal yang masih dipegang warga di Desa Darawa, Kecamatan Kaledupa Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Pria setengah baya yang menjadi Wakil Ketua Kelompok Budi Daya Rumput Laut Dewara di desa yang ada di ujung selatan Pulau Kaledupa ini kemudian melengkapi alasan warga di sana pada setiap pergantian musim angin timur dan angin barat melakukan Koaloe, prosesi memberi makan penghuni laut, yang isi "makanan"-nya semua serba berwarna merah. Ada rokok, sirih, telur ayam, tebu, pisang yang semuanya diwarnai merah.

"Kenapa merah? Karena di laut ada Imbu yang warnanya merah. Makanya, 'makanan'-nya harus diberi warna merah. Kalau tidak dikasih, dia akan datang dalam mimpi," kata Suhardin.

Itulah yang mereka percayai tentang penghuni lautan. Dikhawatirkan oleh sejumlah warga setempat ketika tidak diberi makan dan terusik akan pengaruhi kehidupan warga di desa yang dihuni 212 kepala keluarga (KK). Mereka bergantung pada kondisi laut dan sukses tidaknya budi daya rumput laut.

Cerita tentang Imbu memang belum sempat tergali maksimal karena perjalanan menyusuri pulau-pulau di kawasan Taman Nasional Wakatobi bersama WWF-Indonesia sore untuk memperkenalkan kampanye #TemanTamanLaut, Selasa (11/4), harus segera dilanjutkan ke pulau berikutnya. Namun, Suhardi sudah sempat menyebut soal penghuni laut yang dimaksud yang ternyata adalah gurita raksasa yang dipercayai menghuni perairan di sana.

Rasa penasaran yang belum tuntas terjawab justru bertambah manakala perjalanan akhirnya sampai di Pulau Binongko pada keesokan harinya, Rabu (12/4). Pertemuan dengan Masyarakat Adat Wali yang mendiami salah satu desa di pulau paling selatan di Sulawesi Tenggara ini membahas tentang Kaombo, yakni wilayah perairan yang disepakati bersama oleh masyarakat untuk dilindungi.

Sejak February 2015, ada wilayah perairan seluas sekitar 2 hektare di sana yang menurut Ketua Adat Desa Wali Zainuddin sudah tidak boleh ada aktivitas apa pun di dalamnya. Terumbu karang dibiarkan hidup tanpa gangguan, ikan dibebaskan berkembang biak tanpa ada yang menangkap.

Masyarakat Adat Wali sama halnya dengan masyarakat di desa lainnya yang ada di Pulau Binongko yang masih kental dengan adat-istiadat, kepercayaan turun-temurun yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka.

Tidak hanya soal kearifan lokal melindungi perairan saja yang masih dipertahankan di sana, kepercayaan tentang ada makhluk yang menjaga lautan juga masih mereka pegang.

Nama Waminggu terucap oleh Zainuddin. Makhluk ini tidak lain dan tidak bukan adalah gurita raksasa yang oleh warga Desa Darawa disebut dengan Imbu.

Bukan cuma mereka yang ada di Wakatobi yang sebenarnya mempercayai gurita raksasa sebagai penunggu laut, melainkan warga di sekitar Teluk Kabui, Raja Ampat, juga meyakini adanya makhluk bertentakel delapan dalam ukuran besar yang menjaga perairan di sana.

Jauh di negara Skandinavia, Kraken menjadi sebutan bagi gurita raksasa yang hidup di perairan Islandia dan Norwegia. Dalam buku  Systema Naturae yang ditulis pada tahun 1735, ahli ilmu zoologi dari Swedia Carolus Linnaeus sudah mengklasifikasi makhluk penghuni laut raksasa ini ke dalam golongan Chelalopoda dengan nama latin Microcosmus.

Artinya, makhluk raksasa ini bukan mitos atau bahkan legenda, melainkan secara nyata ada. Paling tidak warga Pulau Hatta, Kepulauan Banda, Maluku, sudah menyaksikan langsung bangkai makhluk laut berukuran besar ini yang terdampar pada tanggal 11 September 2015.

Kearifan Menjaga Laut

Kepercayaan masyarakat akan adanya penunggu laut seperti gurita raksasa di sejumlah titik perairan tidak bisa dipungkiri membuat mereka sangat berhati-hati berperilaku di kawasan tersebut. Tidak merusak, tidak berlaku macam-macam, dan tidak berkata yang tidak sopan di sana.

Warga Desa Darawa dan Desa Wali menjadi contoh di mana ada batas alam yang mereka harus hormati demi kebaikan bersama dan demi generasi mendatang.

Kepala Desa Darawa La Jumani bercerita bahwa mereka masih kerap bertanya kepada para orang tua kapan hari dan bulan baik untuk memasang rumput laut. Musim pancaroba dahulu kerap menyusahkan. Namun, mereka bersyukur setelah lokasi budi daya dipindahkan dan saat arus laut bagus, arah angin menetap, rumput laut menjadi subur.

Dengan perhitungan yang tepat, dalam setahun rumput laut jenis Eucheuma cottonii dan Gracilaria yang hanya hidup di perairan Indonesia yang mereka budi dayakan bisa dipanen hingga lima kali. Pada musim barat dan timur datang panen besar terjadi, satu petani mampu menghasilkan 2 ton per panen rumput laut.

Rumput-rumput laut itu kemudian dikirim ke Bau-bau dan Makassar. Bahkan, menurut La Jumani, 30 kontainer rumput laut basah dari desanya dikirim ke Cina.

"Kalau kami tidak andalkan laut kami tidak hidup karena hutan tidak bisa diandalkan. Di sini batu semua," ujarnya.

Rumput laut andalan mereka karenanya laut begitu dijaga dengan sebisa mungkin tidak mengotorinya. La Jumani sudah melarang gelas plastik masuk ke desanya, sedangkan botol-botol plastik air mineral bekas masih bisa untuk penanda kebun rumput laut mereka.

Rumah-rumah panggung hampir 90 persen dipertahankan di Darawa karena di bawahnya warga desa menjemur rumput laut pada musim hujan tiba.

Sementara itu, di Desa Wali, Kaombo kini mendatangkan kebaikan bagi mereka. Ketua Forum Nelayan Binongko (Foneb) Hamursan mengatakan bahwa pada tahun awal pendapatan nelayan memang belum menunjukkan perubahan. Namun, pada tahun berikutnya berubah, dari sebelumnya hasil menjual ikan Rp50 ribu per hari, kini bisa mencapai Rp300 ribu/hari karena jumlah tangkapan makin banyak.

"Dengan adanya Foneb dan kelembagaan adat yang sempurna, visi kami jelas bagaimana alam tetap lestari, sedangkan misi kami bagaimana setiap hari bisa melakukan penyadartahuan kepada nelayan soal potensi pesisir yang merupakan kekayaan sehingga anak cucu bisa tetap makan dari sini," ujar Hamursan.

Kaombo hanyalah satu dari beberapa bank ikan yang diinisiasi masyarakat di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Ada juga titik penyelaman Mari Mabuk yang sebenarnya merupakan bank ikan yang diinisiasi para nelayan Pulau Tomia yang bergabung dalam Komunitas Nelayan Tomia (Komunto).

Lokasi tersebut sebenarnya oleh masyarakat setempat diberi nama Tadupalea, yang pada masa lalu dianggap keramat oleh warga. Sejak 2006, banyaknya nelayan dari luar Wakatobi mencari ikan di sana, aksi penangkapan ikan dengan cara-cara merusak dengan bom ikan dan racun, naiknya aktivitas pariwisata membuat kondisi terumbu karang menurun yang berdampak pada makin sedikitnya hasil tangkapan nelayan setempat.

Saharudin yang juga merupakan pengurus dari Komunto mengatakan bahwa warga di 19 desa di Tomia akhirnya duduk bersama dalam komunitas untuk mencari jalan keluar dari konflik nelayan setempat yang makin terpojok. Ada sekitar 120 nelayan setempat yang bergabung dalam Komunto meski saat ini kepengurusannya sedang vakum. Namun, kesepakatan mengembangkan bank ikan tetap berjalan.

"Sejak 2006, kami coba dorong ada wilayah perairan dikelola dengan benar supaya ikan mau mendekat lagi. Kalau tidak begitu, kami dapat apa? Kami tidak punya 'body' (kapal berbahan viber, red.) dan alat-alat tangkap modern," ujarnya.

Akhirnya, daerah keramat itu dihidupkan lagi dengan harapan tidak ada yang mengganggu terumbu karang, ikan mau datang dan berpijah, nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap dan teknik seadanya bisa mendapat ikan lagi.

Southern-Eastern Sulawesi Project Leader WWF-Indonesia Sugiyanta mengatakan WWF dan Taman Nasional Wakatobi membantu untuk mendokumentasikan kearifan lokal.

"Kami adakan pemetaan partisipatif. Kaombo baru salah satunya saja," ucapnya.

Karena pemerintah membuka peluang kepada masyarakat adat untuk aktif berperan, termasuk dalam hal pemetaan wilayah untuk bisa diakui negara, terutama di kawasan konservasi yang juga ditetapkan sebagai kawasan adat.

"Dari total Taman Nasional Wakatobi seluas 1,3 juta hektare harapannya masyarakat adat juga bisa berperan," kata Sugiyanta.

Pewarta: Virna Puspa Setyorini

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017