Jakarta (Antara Babel) - Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (GNPF-MUI) mengakui bahwa pertemuan pengurus gerakan tersebut
dengan Presiden Jokowi pada hari raya Lebaran 2017 sudah diharapkan
sejak aksi 4 November 2016 (411).
"Kami sejak jauh-jauh hari, sejak 411 ingin sekali bertemu presiden, ingin berdialog dengan presiden tapi takdir Allah berkata lain," kata Ketua GNPF-MUI Bachtiar Nasir dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Bachtiar Nasir melakukan konferensi pers bersama dengan para pengurus GNPF-MUI yaitu Wakil Ketua GNPF MUI Zaitun Rasmin, anggota Dewan Pembina GNPF-MUI Yusuf Matra, anggota Dewan Pembina GNPF-MUI Haikal Hasan, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Ahmad Sobri Lubis serta Juru Bicara FPI Munarman.
Pertemuan GNPF-MUI dan Presiden Joko Widodo terjadi pada hari raya Lebaran 25 Juni 2017 di Istana Merdeka yang dihadiri oleh tujuh orang pengurus GNPF-MUI.
Sedangkan Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
"Yang benar bukan meminta tapi menggagas untuk bertemu Presiden. Kesannya GNPF minta bertemu presiden salah besar. Ini perjalanan panjang dari 411."
"Gagasan kami mendapat momentum, jadi malam terakhir Ramadan kami sudah duduk dengan pak Menkopolhukam, satu hari sebelum Lebaran kami duduk dengan menteri agama, kemudian koordinasi dengan menkopolhukam, menteri agama, lalu izin dengan Allah kemudian Pak Presiden menerima," ungkap Bachtiar.
Ia juga mengaku sudah bertemu tiga kali dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan di antara pertemuan itu, satu kali didampingi Menkopolhukam Wiranto untuk berdialog.
"Lalu dengan izin Allah kami difasilitasi oleh Menkopolhukam, dengan Menkopolhukam ini juga seperti kami pernah konferensi pers di rumah dinasnya di Jalan Denpasar Raya."
"Kami berhasil menyalurkan aspirasi dan menkopolhukam berjanji untuk menyampaikan aspirasi kami. Kami ingin sekali berdialog, dialog menjadi solusi dengan tidak melulu menjadikan mobilisasi massa jadi sarana untuk meminta berjumpa," jelas Bachtiar.
Pertemuan pada hari Lebaran itu menurut Bachtiar berkaitan dengan silaturahmi dengan Presiden Joko Widodo.
"Karena suasana lebaran, kelihatannya cocok. Pak Presiden dalam suasana membuka hati, kami dalam kondisi ingin silaturahmi dengan siapa saja dan ini kebutuhan kedua pihak untuk berdialog itu. Ini saya kira keniscayaan bukan hanya satu pihak kami minta. Ini kebutuhan kedua pihak, itu kronologisnya," tegas Bachtiar.
GNPF-MUI menggerakkan massa untuk ikut dalam "Aksi Bela Islam" yang pertama digelar pada 14 Oktober 2016.
Selanjutnya muncul rangkaian Aksi Bela Islam pada 4 November 2016 yang lebih dikenal dengan aksi 411, pada 2 Desember 2012 atau 212, lalu aksi 313, dan aksi 28 Maret lalu.
Aksi tersebut dilatarbelakangi tuntutan mereka terhadap tuduhan penodaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
"Kami sejak jauh-jauh hari, sejak 411 ingin sekali bertemu presiden, ingin berdialog dengan presiden tapi takdir Allah berkata lain," kata Ketua GNPF-MUI Bachtiar Nasir dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Bachtiar Nasir melakukan konferensi pers bersama dengan para pengurus GNPF-MUI yaitu Wakil Ketua GNPF MUI Zaitun Rasmin, anggota Dewan Pembina GNPF-MUI Yusuf Matra, anggota Dewan Pembina GNPF-MUI Haikal Hasan, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Ahmad Sobri Lubis serta Juru Bicara FPI Munarman.
Pertemuan GNPF-MUI dan Presiden Joko Widodo terjadi pada hari raya Lebaran 25 Juni 2017 di Istana Merdeka yang dihadiri oleh tujuh orang pengurus GNPF-MUI.
Sedangkan Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
"Yang benar bukan meminta tapi menggagas untuk bertemu Presiden. Kesannya GNPF minta bertemu presiden salah besar. Ini perjalanan panjang dari 411."
"Gagasan kami mendapat momentum, jadi malam terakhir Ramadan kami sudah duduk dengan pak Menkopolhukam, satu hari sebelum Lebaran kami duduk dengan menteri agama, kemudian koordinasi dengan menkopolhukam, menteri agama, lalu izin dengan Allah kemudian Pak Presiden menerima," ungkap Bachtiar.
Ia juga mengaku sudah bertemu tiga kali dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan di antara pertemuan itu, satu kali didampingi Menkopolhukam Wiranto untuk berdialog.
"Lalu dengan izin Allah kami difasilitasi oleh Menkopolhukam, dengan Menkopolhukam ini juga seperti kami pernah konferensi pers di rumah dinasnya di Jalan Denpasar Raya."
"Kami berhasil menyalurkan aspirasi dan menkopolhukam berjanji untuk menyampaikan aspirasi kami. Kami ingin sekali berdialog, dialog menjadi solusi dengan tidak melulu menjadikan mobilisasi massa jadi sarana untuk meminta berjumpa," jelas Bachtiar.
Pertemuan pada hari Lebaran itu menurut Bachtiar berkaitan dengan silaturahmi dengan Presiden Joko Widodo.
"Karena suasana lebaran, kelihatannya cocok. Pak Presiden dalam suasana membuka hati, kami dalam kondisi ingin silaturahmi dengan siapa saja dan ini kebutuhan kedua pihak untuk berdialog itu. Ini saya kira keniscayaan bukan hanya satu pihak kami minta. Ini kebutuhan kedua pihak, itu kronologisnya," tegas Bachtiar.
GNPF-MUI menggerakkan massa untuk ikut dalam "Aksi Bela Islam" yang pertama digelar pada 14 Oktober 2016.
Selanjutnya muncul rangkaian Aksi Bela Islam pada 4 November 2016 yang lebih dikenal dengan aksi 411, pada 2 Desember 2012 atau 212, lalu aksi 313, dan aksi 28 Maret lalu.
Aksi tersebut dilatarbelakangi tuntutan mereka terhadap tuduhan penodaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017