Tak ada yang menyangkal bahwa keenam istana kepresidenan Republik Indonesia memiliki beragam barang seni bernilai tinggi, mulai dari lukisan, patung, hingga porselin.

Barang-barang itu berasal dari dalam dan luar negeri, dikumpulkan oleh tujuh presiden selama mereka memimpin Indonesia.

Meski awalnya agak tercecer, syukurlah pemerintah akhirnya dapat mengumpulkan dan mendata barang-barang seni itu dan kemudian bisa juga dipamerkan ke masyarakat.

Mikke Susanto dan Agus Dermawan T pada 2016 dengan dukungan Kementerian Sekretariat Negara lalu menerbitkan buku mengenai barang-barang seni istana kepresidenan berjudul "17/71: Koleksi Seni Rupa Istana Kepresidenan Republik Indonesia" yang secara runut menceritakan mengenai pengumpulan dan perawatan karya seni di istana kepresidenan, meski harus diakui sebagian besar dikumpulkan pada masa Presiden Sukarno.

Hal itu terjadi karena Sukarno adalah seorang "connoisseur" dan sekaligus kolektor sejati benda-benda seni. Dengan ragam dan jumlah koleksi yang dimilikinya, termasuk saat menjabat sebagai Presiden pada 1945-1966, ia disebut-sebut sebagai presiden terkaya seni rupa dunia.

Pelukis Dullah merupakan pelukis pertama istana kepresidenan. Ia menempati posisi itu sejak ditunjuk pada 1950 hingga mengundurkan diri pada 1960. Setahun kemudian Sukarno mengangkat Lee Man Fong dan Lim Wasim, keduanya juga pelukis untuk menggantikan posisi Dullah.

Lim Wasim masih dipertahankan sebagai pelukis istana sampai 1968. Ia mengaku bahwa penerus Sukarno, Pak Harto, tidak mengubah sebagian besar pajangan istana. Pak Harto seperti percaya bahwa peletakan benda seni yang dilakukan Bung Karno itu memiliki perhitungan mistik, takut kualat.

Meski sudah mempunyai pelukis istana, Sukarno tetap memiliki konsep pribadi yang bermuara pada harmoni dan kesepadanan. Ia hanya mau memajang karya-karya visual yang menghadirkan keindahan dan memikat.

Kalimatnya yang terkenal adalah "A thing of beauty is a joy forever". Bagi Sukarno, semua yang estetik menumbuhkan perasaan sukacita yang akhirnya dapat memelihara pikiran-pikiran positif.

Campur tangannya juga bukan hanya terkait estetika tapi juga tema dari karya-karya yang ditempatkan. Ia memajang lukisan bertema revolusi di Istana Merdeka sementara Istana Negara diisi dengan karya-karya seniman dari berbagai negara.

Lukisan-lukisan alam benda dan pemandangan umumnya di Cipanas, sedangkan karya-karya kepahlawanan banyak menghiasi Istana Yogyakarta. Tema alam dan kebudayaan Bali berada di Istana Tampaksiring.

Sukarno juga menempatkan lukisan-lukisan bunga, keindahan, dan kecantikan perempuan di berbagai dinding kamar istana.

Ketertarikan Sukarno pada seni rupa berkembang pada 1930-an ketika berkenalan dengan pemikir kebudayaan seperti Wolff Schoemaker dan RMP Sosrokartono. Namun, secara emosi adalah sejak penjajahan Jepang di Indoensia sehingga ia menyatakan diri sebagai kolektor karya seni rupa.

Sukarno tersentak ketika pemerintah Jepang menawarkan konsep pembangunan kesenian Indonesia yang mengacu pada semboyan politik "Ajia-no-Ajia" atau "Asia untuk Asia".

Hal itu sejalan dengan pemikiran Sukarno yang mengatakan bahwa manusia bukan cuma homo faber (manusia bekerja), bukan cuma homo sapiens (manusia berpikir) tetapi juga homo ludens (manusia bermain) yang pandai mengolah rasa humanitas.

Melihat hasrat Bung Karno, Letnan Jenderal Imamura lalu menginstruksikan agar seniman-seniman Jepang berkolaborasi denga para seniman Indonesia. Persekutuan itu terwujud di Jakarta pada April 1942. Lima bulan kemudian terselenggara pameran karya seniman Indonesia-Jepang pertama.

Pada 1 April 1943, Jepang mendirikan Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidhoso) sebagai tempat formal mengembangkan kesenian Indoensia. Hal itu merupakan kelanjutan Poetera atau Poesat Tenaga Rakjat yang dibentuk Empat Serangkai (Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara K.H. Mas Mansyur dan Sukarno) sebulan sebelumnya. Seksi kebudayaan di Poetera adalah S. Sudjojono, Agus Djaya, dan para pelukis bumiputera lain.

Setidaknya 14 pameran digelar hingga April 1944, bahkan gedung Keimin Bunka Sidhoso di Noordwijk (sekarang Jalan H. Juanda Jakarta) dijadikan tempat pameran memperingati ulang tahun Kaisar Jepang Hirohito pada 29 April. Saat itulah pertama kalinya Sukarno mulai membeli salah satu karya dan memulai debut sebagai kolektor seni.

"Kesenian sungguhlah baik karena semuanya diciptakan oleh orang-orang baik," kata Presiden Sukarno.

Sukarno kerap memanggil para pelukis dan pematung untuk datang ke Istana guna mendiskusikan lukisan-lukisan yang baru didapat, maka Agus Djaya, Sudarso, S. Harijadi, Otto Djaya, Dullah, Affandi, dan sebagainya sering masuk keluar istana.

Diskusi seni rupa itu sama seriusnya dengan diskusi praktik ilmu sosial politik. Bicara dengan seniman sama seperti bicara dengan hati nurani rakyat.

Tapi apa fungsi ribuan lukisan itu pada awalnya?

Menurut Mikke fungsi pertama lukisan memang sebagai hiasan dinding, namun fungsi lain juga sebagai dekorasi seremoni kenegaraan.

"Sebelum ada gambar Pancasila di setiap ruangan istana, termasuk di Gedung Agung ini, Sukarno memajang lukisan Pangeran Diponegoro karya Basuki Abdullah untuk seremoni kenegaraan," kata Mikke di Yogyakarta pada akhir September 2017.

Menurut Mikke, Sukarno dengan cerdiknya menaruh latar belakang merah putih dan di sampingnya lukisan Pangeran Diponegoro ditopang tripod saat peringatan hari kemerdekaan atau hari-hari lainnya sehingga saat ia melakukan wawacara dengan media asing maupun domestik ataupun saat berpidato, maka lukisan itu membawa nuansa kepahlawanan dan nasionalisme.

Sukarno juga memfungsikan lukisan koleksi istana sebagai koleksi berharga dengan menjadi pemandu bagi para tamu negara mengenai lukisan-luisan koleksinya tersebut.

"Bahkan kalau terjadi 'deadlock' rapat antarpemimpin negara ini, menurut keterangan Pak Agus Dermawan, Sukarno mengajak jalan-jalan dulu tamunya itu, melihat lukisan keluar, melihat taman kemudian 'ngobrol' macam-macam akhirnya 'lumer' dan tidak tegang lagi. Dari situ main rayuan diplomasinya, guyon-guyon akhirnya 'deal' jadi malah 'deal-nya' di situ, bukan di ruang rapat," tambah Mikke.

Lukisan juga menjadi terapi bagi Sukarno atas kesendiriannya. Ia setiap hari mengawasi lukisan. Bila ada yang sedikit miring maka ia tahu dan kadang memasang sendiri lukisan di ruangan itu.

Bahkan, bila Dullah sebagai pelukis istana tidak mampu mencapai satu titik tertentu untuk memajang lukisan, Sukarnolah yang menaiki tangga dan memasangnya sendiri.

"Jadi lukisan bagi Bung Karno seperti katarsis, pelepasan betul kalau sudah mumet, dia langsung lihat lukisan makanya tidak ada dinding yang tidak ada lukisannya," ungkapnya.

Sukarno memang ingin memanfaatkan dinding istana sebagai sarana edukasi publik dan karena menilai bahwa dinding istana itu mahal maka ia harus meletakkan lukisan berkualitas tinggi untuk sarana belajar.

Ia juga hapal dengan kisah lukisan-lukisan yang dibelinya.

Mikke menceritakan kisah saat Sukarno masih tinggal di Jalan Penggasaan Timur, sebelum 1945 itu ada lukisan yang hilang. Lukisan kecil itu ternyata dijual oleh pembantunya.

"Lalu ditempeleng pembantunya, cerita ini ada arsipnya di koran berdasarkan cerita Pak Dullah, yang hilang itu lukisan Soedjojono, kecil saja, entah apa sebabnya dijual tapi yang paling penting dia sampai naik pitam gara-gara lukisan," ungkap Mikke.

Penerus Sukarno, Soeharto memang membangun Sanggar Lukisan untuk melestarikan kegiatan kesenian yang sebelumnya sudah berlangsung akrab di lingkungan istana kepresidenan.

Pada masa Pak Harto, diprakarsai oleh Ibu Tien Soeharto, dibangunlah gedung berlantai dua yang diberi nama Puri Bhakti Renatama --bekas tempat sanggar lukisan-- untuk menyimpan koleksi-koleksi seni rupa yang setiap Jumat dapat dilihat masyarakat yang mengunjungi istana.

Meski tidak mengikuti kaidah tata pameran namun tempat itu ingin memberikan kesan Bhineka Tunggal Ika kepada pengunjung dan resmi dibuka pada 28 Januari 1971 saat kunjungan Ratu Juliana.

Namun, Bu Tien juga sempat menginstruksikan agar aneka lukisan bertema telanjang tidak lagi terpajang di semua istana sehingga hampir separuh masa pemerintahan suaminya, Sanggar Lukisan Istana Presiden menyekap puluhan koleksi lukisan "nude" dalam satu ruangan di Istana Bogor.

    
Cara perolehan

Pada saat ibu kota Republik Indonesia dipindah ke Yogyakarta (1946-1947), Sukarno memerintahkan Kementerian Penerangan memesan lukisan "Persiapan Gerilya" yang dikerjakan pelukis Dullah.

Setelah selesai lukisan itu dipamerkan di Yogyakarta, dikoleksi kementerian tersebut dan selanjutnya menjadi salah satu koleksi istana kepresidenan.

Pola yang sama jgua terjadi pada era-era presiden setelahnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah memesan lukisan berobjek bunga pada pelukis Yap Hian Tjay melalui Tim Sanggar Seni dan Pengelolaan Istana di bawah pimpinan Adek Wahyuni Saptantinah.

Ia selanjutnya memesan tiga lukisan lagi untuk koleksi pribadi namun dibuat agar berbeda sehingga dua lukisan Yap Hian Tjay yang hampir sama tapi berbeda itu ada di kediaman pribadi SBY.

Pola lain adalah pemesangan langsung presiden kepada pelukisnya. Sukarno tercatat mengangkat Dullah (1950-1960) serta Lee Man Fong dan Lim Wasim (1961-1967) sebagai pelukis Istana Presiden. Lukisan pesanan dikerjakan di istana sehingga Sukarno dapat memantau dan memberikan saran.

Lukisan yang dipesan biasanya berobjek non-potret seperti pemandangan alam dan "still life" atau alam benda, tapi sebagian juga potret wajah Presiden Sukarno yang digunakan sebagai kenang-kenangan untuk tamu negara.

Sukarno juga memesan langsung kepada pelukis non-istana contohnya lukisan potret pahlawan yang dikerjakan Affandi, S. Sudjojono, Sudjono Abdullah, Trubus Sudarsono, dan Surono.

Karya-karya itu dikerjakan di studio mereka di luar istana dan hingga saat ini lukisan tersebut menempati dinding-dinding Gedung Agung Yogyakarta.

Pola pemesanan juga terjadi pada masa Presiden Soeharto untuk sejumlah lukisan potret presiden dan wapres serta tamu-tamu negara yang berkunjung.

Pelukis yang biasa mengerjakan adalah I.B. Said dan Sutarjo.    Ukuran lukisan hampir seragam yaitu 80 x 60 cm bergaya realis dengan latar warna datar gelap atau terang. Lukisan biasa menjadi kenang-kenangan atau koleksi pihak istana.

Said yang merupakan mantan anggota Sanggar Pelukis Rakyat Yogyakarta itu, biasa mengerjakan lukisan tamu negara yang berukuran lebih besar. Ia bahkan sempat terlibat pada tahun-tahun era pemerintahan SBY.

Sementara, Sutarjo sudah tidak melukis lagi karena sudah sepuh dan kondisi kesehatan mulai terganggu.

Lukisan-lukisan potret berukuran lebih kecil untuk keperluan istana dikerjakan Warso Susilo yang merupakan pegawai Kantor Sekretariat Presiden yang belajar melukis secara otodidak dan mulai dilibatkan sejak era B.J. Habibie. Lukisan-lukisan karya Warso Susilo dapat dilihat di Istana Negara, yaitu lukisan enam potret Presiden RI.

    
Koleksi menarik

Salah satu koleksi yang menarik adalah lukisan berjudul Rini (1958) yang dibuat sendiri oleh Presiden Sukarno.

Lukisan tersebut satu-satunya karya Sukarno yang ada di istana meski selama hidup, Sukarno pernah menghasilkan puluhan lukisan, baik menggunakan cat minyak di atas kanvas maupun cat air di kertas.

Karya-karya itu sebagian dikerjakan saat diasingkan di Pulau Ende dan beredar di tengah masyrakat dalam kondisi yang umumnya tidak terawat.

Lukisan dengan tema perjuangan revolusi menuju kemerdekaan Indoensia cukup dominan. Tema itu erat dengan konteks perjalanan yang sedang dilalui Bangsa Indonesia ketika Sukarno mengoleksinya.

"Masterpiece" karya Raden Saleh berjudul "Penangkapan Pangeran Dipenegoro" pada 1857 merupakan koleksi istana kepresidenan yang diserahkan pemerintah Belanda kepada Indonesia pada era kepemimpinan Soeharto sehingga menambah perbendahaan koleksi Raden Saleh di lingkungan istana hingga menjadi enam lukisan. Saat ini lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro" itu berada di ruang resepsi Istana Merdeka.

Lukisan bertema perjuangan setidaknya terbagi menjadi sejumlah tema, pertama merupakan potret tokoh perintis perjuangan.

Belasan karya yang dipesan Presiden Soekarno pada 1947-1948 adalah Potret Diponegoro (Sudjono Abdullah), Pangeran Ontowiryo atau Diponegoro Muda (Harijadi S), R.A. Karini (Trubus Sudarsono), Tengku Imam Bonjol (Sudjojono), dan Panglima Besar Jenderal Sudirman (Gambira Anom) .

Subtema kedua berkaitan dengan jejak perjuangan masa penjajahan Belanda hingga 1950-an.

Lukisan mengajarkan kobaran semangat menentang penjajahan, di antaranya gambaran tentang situasi persiapan perang dalam "Persiapan Gerilya" karya Dullah, Laskar "Rakjat Mengatur Siasat" karya Affandi, "Persiapan Gerilja" karya S Sudjojono, "Penangkapan Pangeran Diponegoro" karya Raden Saleh, "Pangeran Diponegoro Memimpin Pertempuran" karya Basoeki Abdullah, "Sekko" karya S. Soedjojono, maupun "Pertempuran di Pengok" karya Kartono Yudhokusumo.

Subtema ketiga adalah visualisasi kondisi sosial di masa revolusi untuk menggambarkan kondisi dan situasi psikologis para pejuang maupun masyrakat umum akibat perang.

Lukisan-lukisan demikian sering menggugah kesadaran penyimaknya bahwa sebuah perang meski jalan yang penting untuk mencapai kemerdekaan, selalui disertai dampak sangat berat.

Hal itu tergambar jelas dalam lukisan "Kawan-kawan Revolusi (1948), "Prajurit" (1947), dan "Markas Laskar" di Gudang Beras Cikampek (1964) karya Sudjojono. Gambaran masyarakat yang terimbas perang kemerdekaan juga dapat dilihat di karya Sudjojono berjudul "Mengungsi" (1947), "Awan Berarak Jalan Bersimpang" (1955) dan "Biografi II di Malioboro" (1949) karya Harijadi S.

Untuk merawat lukisan-lukisan adiluhung itu, Lee Man Fong dan Lim Wasing tercatat pernah merestorasi lukisan karya Raden Saleh berjudul "Harimau Minum" dan "Keluarga Suci" yang tidak diketahui pelukisnya. Restorasi dilakukan atas perintah Sukarno.

Selanjutnya pada 2003, pihak istana juga merestorasi dua lukisan Konsntanti E Makovsky yang berjudul "Upacara Dewa Bakhis (Di Kahyangan)" dan "Perkawinan Adat Rusia" yang masing-masing berukuran 398 x 273 cm dan 454 x 295 cm.

Pengerjaan dilakukan di Istana Bogor oleh ahli yang didatangkan dari Rusia, sedangkan lukisan Raden Saleh milik istana berjudul "Penangkapan Diponegoro" dan "Harimau Minum" pernah direstorasi oleh ahli dari Jernam Sussane Erhads yang dibiayai oleh Goethe Institute dan Yayasan Arsari Indonesia.

Untuk menjaga semangat seni itu tetap di hati rakyat Indonessia, Megawati juga pernah menerbitkan Rumah Bangsa (2004) yang menggambarkan seluruh istana kepresidenan dan sejumlah koleksi yang ada di dalamnya.

Pada masa Presiden SBY, melalui instruksi presiden dilakukan upaya penilaian koleksi aset istana kepresidenan. Pada masa itu juga dicanangkan kegiatan "Istana Untuk Rakyat" (Istura) --setelah sebelumnya masyarakat yang mau melihat karya seni milik istana hanya boleh masuk pada Jumat.

Istura dilaksanakan setiap Sabtu dan Minggu. Masyarakat yang berminat mengajukan izin dan dibolehkan melihat lingkungan Istana Merdeka di halaman tengah dan di depan kantor presiden.

Sedangkan istana di luar Jakarta, seperti Bogor, Cipanas, Tampaksiring, dan Yogyakarta juga terbuka untuk umum setiap hari dan jam kerja, kecuali bila ada kegiatan kenegaraan.

Istana kepresidenan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo menyelenggarakan pameran koleksinya pada 1-31 Agustus 2016 dengan memamerkan 28 karya dari 21 pelukis di Galeri Nasional Indoensia, Jakarta dengan tajuk "17/71: Goresan Juang Kemerdekaan" sebagai bagian dari Peringatan 71 tahun Kemerdekaan.

Selain lukisan, terdapat juga arca-arca Dhyani Boddisatta yang berasal dari Jawa Tengah pada abad ke-9 merupakan arca langka yang sudah ada di istana sejak masa Hindia Belanda dan peletakannya tersebar.

Maka nyatalah seperti yang disampaikan Sukarno dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Sukarno jilid V pada 1 Djanuari 1964 bahwa "Dalam alam kemerdekaan ini -Indoensia Merdeka- memang seni berkembang biak. Tidak begitu dalam alam pendjadjahan. Mutu daripada lukisan-lukisan dan patung-patung dalam koleksi saja ini tidak selamanya sama tinggi, tetapi lukisan-lukisan dan patung-patung itu sendiri adalah bukti-bukti 'hasil kemerdekaan'. Memang bahagialah sesuatu bangsa djang merdeka".

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017