Ramallah, Tepi Barat (Antaranews Babel/Xinhua-OANA) - Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Senin (1/1) mengecam keputusan Partai Sayap Kanan Israel, Likud, pimpinan Benjamin Netanyahu, untuk mencaplok permukiman Yahudi di Tepi Barat Sungai Jordan ke dalam Israel.
Presiden Palestina tersebut mengatakan ia akan "meninjau kembali semua kesepakatan yang ditandatangani dengan Israel".
Abbas mengatakan di dalam satu pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita Palestina (WAFA) bahwa ia akan mempertimbangkan keputusan penting untuk menganggap Israel bertanggung-jawab atas pelanggarannya terhadap hukum internasional.
"Kami mesti membuat keputusan penting selama 2018, termasuk mengenai saluran hukum, untuk menganggap Israel bertanggung-jawab atas pelanggaran sistematis dan besarnya terhadap hukum internasional, dan meninjau kembali kesepakatan yang ditandatangani dengan Israel," kata Abbas, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa pagi.
Menurut pernyataan yang disiarkan oleh WAFA, Abbas mengatakan keputusan Partai Likud tersebut "tak bisa diambil tanpa dukungan penuh Pemerintah AS, yang telah menolak untuk mengutuk permukiman kolonial Israel serta serangan sistematis serta kejahatan pendudukan Israel terhadap rakyat Palestina".
Ia juga mendesak masyarakat internasional agar melakukan tindakan terhadap "hasutan Israel terhadap hak rakyat Palestina".
Pada Ahad (24/12), Palestina mengecam rencana Israel untuk membangun 300.000 unit permukiman baru di Jerusalem Timur, dan pada saat yang sama berkirar akan mempertimbangkan kajian menyeluruh mengenai proses perdamaian.
Kementerian Urusan Luar Negeri dan Ekspatriat Palestina mengatakan di dalam satu pernyataan bahwa rencana Israel adalah bagian dari proyek kolonial dan perluasan Israel yang diterapkan oleh pemerintah Israel yang didorong oleh tindakan paling akhir Presiden AS Donald Trump untuk mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Kementerian itu menganggap Trump sepenuhnya bertanggung-jawab atas setiap tindakan baru yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina, tanah mereka dan semua tempat suci.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada hari yang sama juga memperingatkan mengenai dampak yang mungkin muncul akibat rencana Israel mengenai "Greater Jerusalem", yang berusaha menghubungkan secara geografis semua permukiman dan memutus semua persinggungan Tepi Barat Sungai Jordan.
Sementara itu, partai Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Fatah, pada 24 Desember mengatakan Dewan Sentral Fatah akan mempertimbangkan "kajian menyeluruh mengenai proses perdamaian Palestina-Israel" dalam pertemuan mendatangnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
Presiden Palestina tersebut mengatakan ia akan "meninjau kembali semua kesepakatan yang ditandatangani dengan Israel".
Abbas mengatakan di dalam satu pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita Palestina (WAFA) bahwa ia akan mempertimbangkan keputusan penting untuk menganggap Israel bertanggung-jawab atas pelanggarannya terhadap hukum internasional.
"Kami mesti membuat keputusan penting selama 2018, termasuk mengenai saluran hukum, untuk menganggap Israel bertanggung-jawab atas pelanggaran sistematis dan besarnya terhadap hukum internasional, dan meninjau kembali kesepakatan yang ditandatangani dengan Israel," kata Abbas, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa pagi.
Menurut pernyataan yang disiarkan oleh WAFA, Abbas mengatakan keputusan Partai Likud tersebut "tak bisa diambil tanpa dukungan penuh Pemerintah AS, yang telah menolak untuk mengutuk permukiman kolonial Israel serta serangan sistematis serta kejahatan pendudukan Israel terhadap rakyat Palestina".
Ia juga mendesak masyarakat internasional agar melakukan tindakan terhadap "hasutan Israel terhadap hak rakyat Palestina".
Pada Ahad (24/12), Palestina mengecam rencana Israel untuk membangun 300.000 unit permukiman baru di Jerusalem Timur, dan pada saat yang sama berkirar akan mempertimbangkan kajian menyeluruh mengenai proses perdamaian.
Kementerian Urusan Luar Negeri dan Ekspatriat Palestina mengatakan di dalam satu pernyataan bahwa rencana Israel adalah bagian dari proyek kolonial dan perluasan Israel yang diterapkan oleh pemerintah Israel yang didorong oleh tindakan paling akhir Presiden AS Donald Trump untuk mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Kementerian itu menganggap Trump sepenuhnya bertanggung-jawab atas setiap tindakan baru yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina, tanah mereka dan semua tempat suci.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada hari yang sama juga memperingatkan mengenai dampak yang mungkin muncul akibat rencana Israel mengenai "Greater Jerusalem", yang berusaha menghubungkan secara geografis semua permukiman dan memutus semua persinggungan Tepi Barat Sungai Jordan.
Sementara itu, partai Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Fatah, pada 24 Desember mengatakan Dewan Sentral Fatah akan mempertimbangkan "kajian menyeluruh mengenai proses perdamaian Palestina-Israel" dalam pertemuan mendatangnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018