Jakarta (Antaranews Babel)- Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menyatakan publikasi jurnal ilmiah internasional tidak harus terindeks Scopus, namun bisa juga terindeks lainnya.
"Tidak harus Scopus, tetapi bisa juga JJ Thomson kemudian Copernicus, asalkan jurnalnya berreputasi," ujar Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemristekdikti Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan jurnal harus berreputasi dan terakreditasi dengan jelas, namun ia mengakui bahwa indeks Scopus adalah yang paling banyak digunakan.
"Scopus ini bukan satu-satunya dan tentu saja ada kelemahannya. Dosen dan profesor dapat menggunakan indeks lainnya, selama indeks tersebut mengindeks jurnal-jurnal internasional yang berreputasi. Untuk itu, dalam menulis publikasi, tidak wajib menggunakan indeks Scopus," katanya.
Dia menjelaskan saat ini, jurnal ilmiah internasional dengan tingkatan paling rendah pun yakni Q4 masih bisa diterima asalkan masuk dalam kategori jurnal berreputasi.
"Kalau jurnalnya tidak ada mengkaji yang ahli di bidangnya, tentunya termasuk dalam kategori jurnal yang tidak berreputasi," katanya.
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) melakukan revisi mengenai Peraturan Menteri terkait tunjangan kehormatan profesor atau Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 Tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.
Dalam Permenristekdikti 20/2017 disebutkan bahwa tunjangan kehormatan profesor akan diberikan jika memiliki paling sedikit satu jurnal internasional berreputasi dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Jika tak memenuhi persyaratan maka tunjangan tersebut akan dihentikan sementara. Seharusnya pemberlakuannya diterapkan pada tahun ini, namun pemberlakuan pemotongan tunjangan baru diterapkan pada November 2019, sedangkan evaluasi tetap dilakukan secara berkala.
Berdasarkan aplikasi Science and Technology Index (SINTA) Ristekdikti selama tiga tahun terakhir, per akhir 2017 baru ada 1.551 orang profesor yang publikasinya memenuhi syarat sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017.
Padahal, jumlah profesor yang sudah mendaftar pada aplikasi SINTA sebanyak 4.200 orang. Sedangkan untuk lektor kepala, dari 17.133 orang yang mendaftar SINTA, hanya 2.517 orang yang lolos memenuhi syarat publikasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
"Tidak harus Scopus, tetapi bisa juga JJ Thomson kemudian Copernicus, asalkan jurnalnya berreputasi," ujar Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemristekdikti Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan jurnal harus berreputasi dan terakreditasi dengan jelas, namun ia mengakui bahwa indeks Scopus adalah yang paling banyak digunakan.
"Scopus ini bukan satu-satunya dan tentu saja ada kelemahannya. Dosen dan profesor dapat menggunakan indeks lainnya, selama indeks tersebut mengindeks jurnal-jurnal internasional yang berreputasi. Untuk itu, dalam menulis publikasi, tidak wajib menggunakan indeks Scopus," katanya.
Dia menjelaskan saat ini, jurnal ilmiah internasional dengan tingkatan paling rendah pun yakni Q4 masih bisa diterima asalkan masuk dalam kategori jurnal berreputasi.
"Kalau jurnalnya tidak ada mengkaji yang ahli di bidangnya, tentunya termasuk dalam kategori jurnal yang tidak berreputasi," katanya.
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) melakukan revisi mengenai Peraturan Menteri terkait tunjangan kehormatan profesor atau Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 Tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.
Dalam Permenristekdikti 20/2017 disebutkan bahwa tunjangan kehormatan profesor akan diberikan jika memiliki paling sedikit satu jurnal internasional berreputasi dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Jika tak memenuhi persyaratan maka tunjangan tersebut akan dihentikan sementara. Seharusnya pemberlakuannya diterapkan pada tahun ini, namun pemberlakuan pemotongan tunjangan baru diterapkan pada November 2019, sedangkan evaluasi tetap dilakukan secara berkala.
Berdasarkan aplikasi Science and Technology Index (SINTA) Ristekdikti selama tiga tahun terakhir, per akhir 2017 baru ada 1.551 orang profesor yang publikasinya memenuhi syarat sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017.
Padahal, jumlah profesor yang sudah mendaftar pada aplikasi SINTA sebanyak 4.200 orang. Sedangkan untuk lektor kepala, dari 17.133 orang yang mendaftar SINTA, hanya 2.517 orang yang lolos memenuhi syarat publikasi.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018