Jakarta (Antaranews Babel) - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menilai sudah tepat KPK menolak permintaan Menkopolhukam Wiranto untuk menunda pengumuman calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi.
Abraham melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu menyatakan jika meluluskan permintaan lembaga negara lain maka KPK bisa diartikan memperlambat dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.
"Jabatan yang melekat pada Pak Wiranto adalah Menkoplhukam. Jadi, permintaan terhadap KPK agar menunda pengumuman tersangka kepala daerah yang terlibat korupsi itu sudah merupakan bentuk intervensi terhadap KPK yang merupakan lembaga independen. Jangankan Kementerian, Presiden pun tidak bisa mengintervensi KPK," kata Abraham.
Abraham mengingatkan dalam sistem tata negara, KPK ditempatkan sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai lembaga penegakan hukum dalam hal pemberantasan korupsi, termasuk korupsi di sejumlah daerah yang melibatkan calon kepala daerah petahana atau yang bukan petahana.
Namun, ia dapat memahami bahwa apa yang disampaikan Menkopolhukam secara substantif bermuatan positif, yakni dalam penyelenggaraan Pilkada di 171 daerah agar tidak menimbulkan kegaduhan.
"Pengumuman calon kepala daerah yang akan ikut pilkada diduga dapat mempengaruhi tahapan pilkada serentak dan pilihan rakyat terhadap calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka," ucap Samad.
Namun demikian, Abraham pun mengingatkan kembali jika KPK meluluskan permintaan Wiranto untuk menunda pengumuman tersangka maka dampak yang ditimbulkan atas penundaan itu tidak lah kecil dan bahkan semakin buruk.
Abraham mencontohkan apabila seorang kepala daerah yang semula sudah dilakukan pengusutan terhadap kasus korupsi tetapi kemudian ditunda karena adanya permintaan maka persoalan akan kembali muncul.
"Setelah selesainya Pilkada dan dilantik menjadi Kepala Daerah, persoalan akan kembali muncul.Selain merugikan biaya, waktu, dan tenaga untuk menyelenggarakan Pilkada juga merugikan rakyat pemilih yang tidak percaya lagi pemimpinnya sendiri karena mereka merasa dipimpin oleh Kepala Daerah yang korup," tuturnya.
Namun dalam konteks hukum dan ketatanegaraan, kata Abraham, permintaan Wiranto tetap lah dapat dikategorikan intervensi terhadap tugas dan fungsi KPK sebagai lembaga independen yang bertugas melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi.
"Jadi KPK tidak perlu menanggapi permintaan Pak Wiranto itu, syukur kalau malah menolaknya secara tegas," ungkap Abraham.
Menurut dia, tugas dan kewenangan KPK adalah mengusut tindakan korupsi yang dilakukan siapa saja dan menindak kapan saja.
Selain itu, kerja KPK tidak boleh batasi ruang dan waktu, bahkan tidak boleh dihentikan karena adanya intervensi dari pihak manapun, bahkan dari Presiden sekalipun.
Ia pun mengemukakan data dan fakta dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai adanya aliran dana mencurigakan yang diduga digunakan terkait Pilkada Serentak 2018, di mana PPATK mencatat 53 transaksi elektronik dan 1.066 transaksi tunai puluhan miliaran rupiah.
Sedang perihal aliran dana yang terkait peserta Pilkada tercatat 368 transaksi mencurigakan dan yang sudah ada hasil analisanya sebanyak 34 laporan.
Bahayanya jika KPK tunduk pada intervensi sebagaimana yang dilakukan Wiranto, lanjut Abraham, kasus-kasus yang melibatkan calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi bisa berjalan di tempat, bahkan alat-alat bukti terhadap kasus tersebut bisa hilang atau sengaaja dihilangkan untuk menghapus jejak.?
Jika tunduk kepada keinginan Pak Wiranto itu, kata dia, KPK bisa ditafsirkan sebagai memberi toleransi terhadap kejahatan korupsi oleh KPK itu sendiri atau paling tidak dikategorikan sebagai upaya pembiaran terhadap terjadinya kejahatan korupsi.
"Jadi teman-teman komisioner KPK harus tetap menjaga marwah dan kredibilitas KPK sebagai lembaga independen penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Jangan terpengaruh intervensi lembaga negara lain," tuturnya.
Sebelumnya, pada Senin (12/3), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto meminta KPK untuk menunda pengumuman calon kepala daerah dalam Pilkada 2018 yang menjadi saksi maupun tersangka kasus korupsi.
Tujuannya agar tahapan pilkada serentak serta pencalonan kandidat tidak terganggu dengan adanya proses hukum yang harus dipenuhi calon kepala daerah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
Abraham melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu menyatakan jika meluluskan permintaan lembaga negara lain maka KPK bisa diartikan memperlambat dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.
"Jabatan yang melekat pada Pak Wiranto adalah Menkoplhukam. Jadi, permintaan terhadap KPK agar menunda pengumuman tersangka kepala daerah yang terlibat korupsi itu sudah merupakan bentuk intervensi terhadap KPK yang merupakan lembaga independen. Jangankan Kementerian, Presiden pun tidak bisa mengintervensi KPK," kata Abraham.
Abraham mengingatkan dalam sistem tata negara, KPK ditempatkan sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai lembaga penegakan hukum dalam hal pemberantasan korupsi, termasuk korupsi di sejumlah daerah yang melibatkan calon kepala daerah petahana atau yang bukan petahana.
Namun, ia dapat memahami bahwa apa yang disampaikan Menkopolhukam secara substantif bermuatan positif, yakni dalam penyelenggaraan Pilkada di 171 daerah agar tidak menimbulkan kegaduhan.
"Pengumuman calon kepala daerah yang akan ikut pilkada diduga dapat mempengaruhi tahapan pilkada serentak dan pilihan rakyat terhadap calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka," ucap Samad.
Namun demikian, Abraham pun mengingatkan kembali jika KPK meluluskan permintaan Wiranto untuk menunda pengumuman tersangka maka dampak yang ditimbulkan atas penundaan itu tidak lah kecil dan bahkan semakin buruk.
Abraham mencontohkan apabila seorang kepala daerah yang semula sudah dilakukan pengusutan terhadap kasus korupsi tetapi kemudian ditunda karena adanya permintaan maka persoalan akan kembali muncul.
"Setelah selesainya Pilkada dan dilantik menjadi Kepala Daerah, persoalan akan kembali muncul.Selain merugikan biaya, waktu, dan tenaga untuk menyelenggarakan Pilkada juga merugikan rakyat pemilih yang tidak percaya lagi pemimpinnya sendiri karena mereka merasa dipimpin oleh Kepala Daerah yang korup," tuturnya.
Namun dalam konteks hukum dan ketatanegaraan, kata Abraham, permintaan Wiranto tetap lah dapat dikategorikan intervensi terhadap tugas dan fungsi KPK sebagai lembaga independen yang bertugas melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi.
"Jadi KPK tidak perlu menanggapi permintaan Pak Wiranto itu, syukur kalau malah menolaknya secara tegas," ungkap Abraham.
Menurut dia, tugas dan kewenangan KPK adalah mengusut tindakan korupsi yang dilakukan siapa saja dan menindak kapan saja.
Selain itu, kerja KPK tidak boleh batasi ruang dan waktu, bahkan tidak boleh dihentikan karena adanya intervensi dari pihak manapun, bahkan dari Presiden sekalipun.
Ia pun mengemukakan data dan fakta dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai adanya aliran dana mencurigakan yang diduga digunakan terkait Pilkada Serentak 2018, di mana PPATK mencatat 53 transaksi elektronik dan 1.066 transaksi tunai puluhan miliaran rupiah.
Sedang perihal aliran dana yang terkait peserta Pilkada tercatat 368 transaksi mencurigakan dan yang sudah ada hasil analisanya sebanyak 34 laporan.
Bahayanya jika KPK tunduk pada intervensi sebagaimana yang dilakukan Wiranto, lanjut Abraham, kasus-kasus yang melibatkan calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi bisa berjalan di tempat, bahkan alat-alat bukti terhadap kasus tersebut bisa hilang atau sengaaja dihilangkan untuk menghapus jejak.?
Jika tunduk kepada keinginan Pak Wiranto itu, kata dia, KPK bisa ditafsirkan sebagai memberi toleransi terhadap kejahatan korupsi oleh KPK itu sendiri atau paling tidak dikategorikan sebagai upaya pembiaran terhadap terjadinya kejahatan korupsi.
"Jadi teman-teman komisioner KPK harus tetap menjaga marwah dan kredibilitas KPK sebagai lembaga independen penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Jangan terpengaruh intervensi lembaga negara lain," tuturnya.
Sebelumnya, pada Senin (12/3), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto meminta KPK untuk menunda pengumuman calon kepala daerah dalam Pilkada 2018 yang menjadi saksi maupun tersangka kasus korupsi.
Tujuannya agar tahapan pilkada serentak serta pencalonan kandidat tidak terganggu dengan adanya proses hukum yang harus dipenuhi calon kepala daerah.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018