Jakarta (Antaranews Babel) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali tidak menghadiri sidang lanjutan pengujian Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional yang diajukan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dari DPR berhalangan hadir," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung MK Jakarta, Senin.

Adapun agenda sidang lanjutan untuk perkara uji UU Perjanjian Internasional ini adalah mendengarkan keterangan ahli pihak pemohon dan DPR.

"DPR melampirkan surat pemberitahuan, ada rapat-rapat yang tidak bisa ditinggalkan," jelas Anwar.

Perkara uji ketentuan a quo diajukan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat yaitu; Indonesia For Global Justice (IGJ), Indonesia Human Rights Committee for Social Justice, Serikat Petani, Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Aliansi Petani Indonesia (API), Solidaritas Perempuan (SP), Perkumpulan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), serta empat pemohon perseorangan.  

Sejumlah LSM ini mengajukan permohonan uji materi ketentuan a quo terkait dengan peran DPR dalam menyetujui penyusunan sebuah perjanjian internasional.

Para pemohon merasa peran DPR untuk menyetujui sebuah perjanjian internasional dikurangi/ tereduksi dengan berlakunya beberapa ketentuan dalam UU erjanjian Internasional.

Dalam permohonannya, para pemohon menilai pasal-pasal yang diujikan tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya dan bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945.

Pasal 11 (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.

Pemohon mengatakan bahwa peran DPR jelas telah berkurang/ tereduksi dengan berlakunya Pasal 2 UU Perjanjian Internasional yang telah mengganti frasa "dengan persetujuan DPR" dengan frasa "berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik".

Persetujuan DPR terhadap pembuatan perjanjian internasional dinilai penting oleh para pemohon karena menjadikan negara telah memberikan sebagian kedaulatannya, apalagi bila perjanjian internasional itu berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat.

Pemohon juga menilai Pasal 10 UU Perjanjian Internasional, telah memberikan pembatasan jenis perjanjian internasional yang harus disahkan melalui UU.

Selanjutnya terkait Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional beserta penjelasannya dinilai para pemohon merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal 10 UU a quo, sehingga juga perlu diujikan.

Pewarta: Maria Rosari

Editor : Adhitya SM


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018