Selama beberapa hari terakhir ini masyarakat di Tanah Air mendengar  berita duka cita akibat ulah kelompok teroris yang melakukan penembakan, penyerangan hingga pembunuhan  secara keji di berbagai daerah terutama di Depok (Jawa Barat), Surabaya, dan Sidoarjo (Jawa Timur.

Di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Jakarta Cabang Brigade Mobil (Brimob) Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat baru-baru ini misalnya, sekitar 155 napi dan tahanan teroris yang ditahan di sana menyerang dan membunuh beberapa anggota Brimob dengan dalih atau alasan yang dicari-cari yakni "mempertanyakan" proses pemeriksaan makanan yang berasal dari keluarga mereka.

Untung saja ulah itu berhasil digagalkan dan para napi teroris itu dipindahkan penahanannya ke Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan, Jawa Tengah.

Kemudian ada seorang lelaki yang datang  Rutan Markas Komando Brimob itu sambil membawa senjata tajam yang disembunyikan di bawah alat kelaminnya.

Dia membunuh seorang anggota Brimob walaupun kemudian si jahat itu berhasil ditewaskan oleh anggota Brimob lainnya.

Kemudian di Surabaya, tiga gereja diserang yang mengakibatkan beberapa orang tewas yang antara lain mencakup sejumlah jemaat yang pada hari Minggu pagi itu, 13 Mei 2018 sedang mengikuti kebaktian atau doa bersama.

Kemudian para teroris kembali beraksi di rumah susun di Sidoarjo dan yang dilanjutkan dengan penyerangan kantor Kepolisian Resor Kota (Polresta) Surabaya.

Akibatnya, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia yang tugas utamanya adalah ikut menanggulangi tindak kekerasan terorisme menangkap puluhan terduga teroris terutama di sekitar ibu kota Provinsi Jawa Timur itu.

Yang sangat memilukan dalam kasus-kasus terorisme itu adalah ada beberapa lelaki yang membawa-bawa istri dan anak-anaknya untuk ikut melakukan penyerangan sehingga bocah-bocah polos itu menjadi korban pula.

Seorang anak yang berumur 10 tahun yang dibawa ayahnya naik sepeda motor saat melakukan tindak kejahatan itu bahkan sampai harus terlempar saat penyerbuan itu terjadi.

Fakta bahwa perempuan dan anak-anak ikut-ikut menjadi anggota tim penyerangan terduga teroris itu merupakan hal yang praktis baru karena pada masa lalu pelaku penyerangan itu hampir semuanya adalah lelaki dewasa.

Akibat tindakan teroris itu maka berbagai kelompok masyarakat mulai memperlihatkan sikap penentangan bahkan mengutuk para teroris itu yang  masih disebut-sebut sebagai terduga teroris.

Dari Raja Ampat, Papua Barat hingga Jakarta serta berbagai kota lainnya, masyarakat yang mewakili kelompok lintasagama berkumpul dan melakukan doa bersama bagi korban-korban yang tak berdosa dan meminta kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa agar tindak kekerasan seperti tak terjadi lagi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebelumnya di terminal Kampung Melayu, Jakarta juga terjadi tindak penyerangan oleh para teroris itu pada tahun 2017. Bahkan pada bulan Januari 2016 sekelompok teroris melakukan penyerangan di Jalan Mohammad Thamrin Jakarta yang tepatnya di sebuah restoran dan untung saja Polda Metro Jaya berhasil menyelesaikan penyerangan itu secara baik.

Bahkan beberapa tahun silam, Kedutaan Besar Australia yang terletak di kawasan Kuningan, Jakarta juga dijadikan sasaran penyerangan yang lagi-lagi berhasil digagalkan aparat keamanan.

Harus bagaimanakah rakyat bersikap?

Pada tanggal 18 Agustus hingga 2 September 2018, akan berlangsung pesta olahraga akbar Asian Games di Jakarta dan Palembang, yang diperkirakan akan diikuti tidak kurang dari 15.000 atlet dari puluhan negara. Kemudian pada bulan Oktober 2018 bakal berlangsung sidang gabungan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Bali.

Khusus tentang masalah dalam negeri, pada tanggal 27 Juni 2018 bakal berlangsung pilkada di 171 provinsi, kota hingga kabupaten.  

Pesta politik 2018 akan diikuti pesta politik 2019 dengan pemilihan anggota DPR RI, DPRD I dan II, DPD hingga pemilihan presiden serta pendampingnya wakil presiden yang diperkirakan akan sangat ramai alias hangat.

Karena begitu banyaknya kegiatan penting di Tanah Air itu, maka pasti rakyat pasti mendambakan situasi yang tenang, damai supaya begitu banyaknya kegiatan yang super penting itu tak mengganggu suasana rutin apalagi, Kamis 17 Mei 2018 akan menjadi hari pertama bulan Ramadhan yang tentu bakal diikuti Hari Idul Fitri sekitar tanggal 16 Juni.

Selama ini, masyarakat Indonesia praktis hanya mendengar Polri terutama Densus 88 Antiteror yang praktis pontang-panting membongkar para terduga teroris itu.

Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengungkapkan bahwa baru-baru ini telah mengajak Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI)  Marsekal TNI Hadi Tjahjanto untuk ikut bersama-sama menggulung para teroris itu.

Mudah-mudahan harapan Marsekal Hadi serta Jenderal Tito dapat segera terwujud apalagi Ketua DPR Bambang Soesatyo sudah berjanji bahwa pada Mei ini juga akan menyetujui bagi disahkannya revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang sudah dua tahun "mengendap atau diendapkan" di Senayan, Jakarta.

Tapi pertanyaan sederhanya adalah  sudah cukupkah semua janji alias komiten itu?

Mana ulama?

Berbagai ulah yang dilakukan para teroris itu harus diakui atau tidak, disadari atau tidak dilakukan oleh segelintir orang yang seringkali memakai istilah jihad secara salah.

Dengan memakai istilah jihad itu, maka mereka merasa berhak mengambil tindakan keras yang melanggar hukum. Padahal pada dasarnya Islam menganggap jihad itu adalah tindakan untuk membela semua ketentuan atau perintah Allah SWT secara normal dan bukannya membunuh atau menyiksa orang lain dengan semaunya sendiri.

Selama beberapa tahun terakhir ini, ada ulama Islam yang terutama yang muda-muda yang bisa digolongkan sebagai "ulama zaman now" acapkali bersuara amat keras  terhadap pemerintah untuk "mewakili"  mereka ini kadang-kadang dikelompokkan sebagai "oposisi".

Tanpa perlu menyebut nama atau identitas mereka secara jelas, maka masyarakat tentu bisa menebak  siapa saja ulama-ulama itu.

Tentu masyarakat atau bahkan juga para pejabat  sekalipun harus sadar bahwa pemerintahan yang mana pun juga di Tanah Air  tidak ada yang sempurna dalam melaksanakan amanah atau kepercayaan  rakyat Indonesia ini.

Seorang presiden, wakil presidrn, menteri serta pejabat di tingkat mana pun juga pasti pernah berbuat kesalahan apa pun juga baik yang disengaja maupun tak disengaja.

Karena itu, masyarakat mempunyai hak untuk mengingatkan para pejabat untuk segera memperbaiki atau mengoreksi kesalahan alias "dosa-dosa" mereka demi kepentingan orang banyak di Tanah Air.

Kalau para teroris itu melakukan pelanggaran hukum baik terhadap peraturan perundangan negara maupun hukum-hukum Islam maka para ulama mulai dari ustadz, dai, habib atau apa pun juga istilah/sebutannya yang pertama-tama harus tampil untuk memperbaiki kesalahan tersebut.

Tugas polisi pada dasarnya cuma melakukan tindakan pencegahan dan  pemberantasan terhadap semua pelanggaran hukum.

Mayoritas penduduk Indonesia memang beragama Islam tapi harus diakui bahwa  pengetahuan mereka tentang aturan agamanya masih sedikit atau minim sekali.

Karena itu, para ulama mempunyai kewajiban atau tugas yang amat mulia untuk mengingatkan atau menyadarkan ummatnya bahwa kalau ingin melakukan koreksi terhadap pemerintah maka lakukanlah hal itu dengan baik dan jangan berbuat semaunya sendiri.

Para ulama perlu sadar bahwa mereka tak harus bergabung dengan kelompok-kelompok "oposisi" terhadap pemerintah.

Tanpa bergabung dengan kelompok oposisi yang mana pun juga, maka  para ulama pasti akan tetap dihormati, disayang oleh umatnya.

"Wahai ulama, bantu dan tolonglah  umatmu agar kehidupan rakyat Indonesia kembali tenang kembali". 

Pewarta: Arnaz Firman

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018