Jakarta (Antaranews Babel) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyiapkan Kapal Riset (KR) Baruna Jaya I untuk meneliti penyebab tsunami yang terjadi di Selat Sunda pada Sabtu (22/12).
"Nanti pakai Baruna Jaya I, karena kapal riset lainnya sedang dipakai di timur (wilayah timur Indonesia). Kami lakukan penelitian geologi dan oseanografi," kata Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) BPPT Hammam Riza melalui sambungan telepon di Jakarta, Selasa.
Fokus penelitian, menurut Hammam Riza, mencari tahu penyebab tsunami mengingat bencana tersebut tidak didahului gempa tektonik.
"Apakah benar ada longsor (di bawah laut)? Karena tidak ada yang terdeteksi sehingga tidak ada peringatan dini apa pun dari BMKG kan," ujar Hammam.
Saat ditanya kapan penelitian tersebut akan dimulai ia mengatakan segera setelah delapan peneliti geologi dan oseanografi dan enam orang dari tim kapal riset terkumpul.
Sebelumnya ia mengatakan bahwa tim dari Pusat Teknologi Reduksi dan Risiko Bencana (PTRRB) BPPT saat ini sedang melakukan kajian di wilayah terdampak bencana.
Berdasarkan kaji cepat pakar gempa dan tsunami BPPT Widjo Kongko, ada indikasi tsunami tersebut disebabkan oleh erupsi Anak Krakatau.
"Kemungkinan besar terjadi flank failure atau ollapse akibat aktivitas Anak Krakatau pada Sabtu petang (22/12) dan akhirnya menimbulkan tsunami," katanya.
Jika benar hal itu menjadi penyebab, menurut dia, maka fenomena ini diduga masih berpotensi terjadi lagi.
"Aktivitas Anak Krakatau belum selesai dan flank atau ollapse yang terjadi bisa memicu ketidakstabilan berikutnya".
Sesuai arahan BMKG maka diimbau agar masyarakat tetap tenang dan siaga dengan mengikuti instruksi aparat yang berwenang, lanjutnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim) Luhut Binsar Pandjaitan mengoordinasikan para ahli untuk menyelidiki dan mengidentifikasi penyebab terjadinya bencana tsunami di Selat Sunda.
"Bahwa ini bukan tsunami karena gempa vulkanik tapi karena longsor seluas 64 hektare dari Gunung Anak Krakatau," kata Luhut.
Ia mengemukakan bahwa hal tersebut merupakan teori awal yang disimpulkan oleh tim yang sudah mulai bekerja sejak Minggu (23/12). Koordinasi dilaksanakan dengan melibatkan para ahli dari berbagai instansi seperti BPPT, LIPI, BMKG, BIG, Lapan, Pushidros TNI-AL dan Kementerian ESDM.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
"Nanti pakai Baruna Jaya I, karena kapal riset lainnya sedang dipakai di timur (wilayah timur Indonesia). Kami lakukan penelitian geologi dan oseanografi," kata Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) BPPT Hammam Riza melalui sambungan telepon di Jakarta, Selasa.
Fokus penelitian, menurut Hammam Riza, mencari tahu penyebab tsunami mengingat bencana tersebut tidak didahului gempa tektonik.
"Apakah benar ada longsor (di bawah laut)? Karena tidak ada yang terdeteksi sehingga tidak ada peringatan dini apa pun dari BMKG kan," ujar Hammam.
Saat ditanya kapan penelitian tersebut akan dimulai ia mengatakan segera setelah delapan peneliti geologi dan oseanografi dan enam orang dari tim kapal riset terkumpul.
Sebelumnya ia mengatakan bahwa tim dari Pusat Teknologi Reduksi dan Risiko Bencana (PTRRB) BPPT saat ini sedang melakukan kajian di wilayah terdampak bencana.
Berdasarkan kaji cepat pakar gempa dan tsunami BPPT Widjo Kongko, ada indikasi tsunami tersebut disebabkan oleh erupsi Anak Krakatau.
"Kemungkinan besar terjadi flank failure atau ollapse akibat aktivitas Anak Krakatau pada Sabtu petang (22/12) dan akhirnya menimbulkan tsunami," katanya.
Jika benar hal itu menjadi penyebab, menurut dia, maka fenomena ini diduga masih berpotensi terjadi lagi.
"Aktivitas Anak Krakatau belum selesai dan flank atau ollapse yang terjadi bisa memicu ketidakstabilan berikutnya".
Sesuai arahan BMKG maka diimbau agar masyarakat tetap tenang dan siaga dengan mengikuti instruksi aparat yang berwenang, lanjutnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman (Menko Maritim) Luhut Binsar Pandjaitan mengoordinasikan para ahli untuk menyelidiki dan mengidentifikasi penyebab terjadinya bencana tsunami di Selat Sunda.
"Bahwa ini bukan tsunami karena gempa vulkanik tapi karena longsor seluas 64 hektare dari Gunung Anak Krakatau," kata Luhut.
Ia mengemukakan bahwa hal tersebut merupakan teori awal yang disimpulkan oleh tim yang sudah mulai bekerja sejak Minggu (23/12). Koordinasi dilaksanakan dengan melibatkan para ahli dari berbagai instansi seperti BPPT, LIPI, BMKG, BIG, Lapan, Pushidros TNI-AL dan Kementerian ESDM.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018