Indonesia for Global Justice (IGJ) mengingatkan bahwa dampak perjanjian perdagangan kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia dan Australia (IA CEPA) tidak hanya mempengaruhi ekspor dan impor, tetapi bisa aspek lainnya yang penting bagi masyarakat.
"Pemerintah Indonesia tidak perlu terlalu ambisius menyelesaikan beberapa perundingan perjanjian perdagangan bebas dalam tahun ini atau tahun depan. Hal ini karena ada banyak yang harus dipertimbangkan dampak luasnya oleh Indonesia mengingat perjanjian perdagangan bebas khususnya IA CEPA tidak hanya bicara soal ekspor dan impor," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, koalisi masyarakat sipil meminta pemerintah tidak mengesahkan perjanjian IA CEPA itu tanpa membuka konsultasi dengan publik secara luas dan transparan.
Ia juga berpendapat bahwa ambisi pemerintah untuk menyelesaikan berbagai perjanjian perdagangan bebas, termasuk IA CEPA, hanya sekedar mengejar target kuantitas kinerja tanpa mengukur secara presisi dampaknya bagi masyarakat.
"Yang paling penting dilakukan oleh pemerintah dan DPR adalah memastikan hak rakyat Indonesia yang dilindungi dalam konstitusi tidak diabaikan atau bahkan dilanggar oleh perjanjian perdagangan internasional. Jadi, pemilu bukanlah alasan untuk mengesahkan perjanjian IA CEPA ataupun perjanjian perdagangan internasional lainnya," ucapnya.
Rachmi mengingatkan tanpa perjanjian dagang, angka impor pangan dari Australia sejak 2012 hingga 2018 menunjukkan kenaikan yang signifikan, khususnya daging sapi, gula rafinasi, susu, dan keju.
Untuk itu, ia mengingatkan bahwa perjanjian ini akan berdampak serius bagi pangan di Indonesia, karena dengan penandatanganan IA CEPA juga berpotensi mendatangkan impor pangan yang lebih tinggi.
Sementara itu, peneliti GRAIN Kartini Samon menjelaskan bahwa dengan atau tanpa IA CEPA, angka impor pertanian dari Australia mencapai hingga 5,16 juta dolar AS, sehingga perdagangan bebas dengan Australia dinilai ke depannya juga akan membawa dampak mengganggu petani serta peternak domestik, industri gula dan produsen pertanian lainnya.
"Sementara ekspor produk Indonesia ke Australia, kebanyakan sudah mendapatkan 0 persen tarif, artinya dengan perjanjian ini, mungkin tidak akan meningkatkan pasar yang sebelumnya. Tetapi sebaliknya, Indonesia malah lebih kebanjiran impor pangan dari Australia," jelas Kartini.
Selain itu, Rachmi menambahkan bahwa IA CEPA juga mengatur mengenai aturan perlindungan investasi dengan memasukan klausul gugatan investor terhadap negara (investor state dispute settlement/ISDS).
Klausul itu dinilai dibuat untuk memberikan hak investor asing untuk menuntut pemerintah tuan rumah di pengadilan Arbitrase Internasional atas peraturan yang dianggap merugikan bagi investor.
"Terkait dengan isu investasi dalam IA CEPA, ada desakan dari perusahaan tambang Australia yang menginginkan agar mekanisme ISDS dimasukan dalam IA CEPA. Mereka mengklaim bahwa perusahaan tambang Australia sering mendapat tekanan besar dari kebijakan Pemerintah Indonesia, khususnya terkait dengan UU Minerba yang mewajibkan untuk divestasi saham asing," terangnya.
Sebelumnya, perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Australia (IA-CEPA) akan menghapuskan bea masuk seluruh barang asal Indonesia yang diekspor ke negara Kangguru tersebut.
"Hal ini merupakan hasil positif, karena berarti seluruh produk Indonesia yang masuk ke pasar Australia tidak dikenakan bea masuk," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di Jakarta, Senin (4/3/2019).
Mendag juga menguraikan, produk-produk Indonesia yang berpotensi meningkat ekspornya adalah produk otomotif, khususnya mobil listrik dan hibrid.
Selain itu, produk-produk Indonesia yang berpotensi meningkat ekspornya yaitu kayu dan turunannya termasuk furnitur, tekstil dan produk tekstil, ban, alat komunikasi, obat-obatan, permesinan, dan peralatan elektronik.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019
"Pemerintah Indonesia tidak perlu terlalu ambisius menyelesaikan beberapa perundingan perjanjian perdagangan bebas dalam tahun ini atau tahun depan. Hal ini karena ada banyak yang harus dipertimbangkan dampak luasnya oleh Indonesia mengingat perjanjian perdagangan bebas khususnya IA CEPA tidak hanya bicara soal ekspor dan impor," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, koalisi masyarakat sipil meminta pemerintah tidak mengesahkan perjanjian IA CEPA itu tanpa membuka konsultasi dengan publik secara luas dan transparan.
Ia juga berpendapat bahwa ambisi pemerintah untuk menyelesaikan berbagai perjanjian perdagangan bebas, termasuk IA CEPA, hanya sekedar mengejar target kuantitas kinerja tanpa mengukur secara presisi dampaknya bagi masyarakat.
"Yang paling penting dilakukan oleh pemerintah dan DPR adalah memastikan hak rakyat Indonesia yang dilindungi dalam konstitusi tidak diabaikan atau bahkan dilanggar oleh perjanjian perdagangan internasional. Jadi, pemilu bukanlah alasan untuk mengesahkan perjanjian IA CEPA ataupun perjanjian perdagangan internasional lainnya," ucapnya.
Rachmi mengingatkan tanpa perjanjian dagang, angka impor pangan dari Australia sejak 2012 hingga 2018 menunjukkan kenaikan yang signifikan, khususnya daging sapi, gula rafinasi, susu, dan keju.
Untuk itu, ia mengingatkan bahwa perjanjian ini akan berdampak serius bagi pangan di Indonesia, karena dengan penandatanganan IA CEPA juga berpotensi mendatangkan impor pangan yang lebih tinggi.
Sementara itu, peneliti GRAIN Kartini Samon menjelaskan bahwa dengan atau tanpa IA CEPA, angka impor pertanian dari Australia mencapai hingga 5,16 juta dolar AS, sehingga perdagangan bebas dengan Australia dinilai ke depannya juga akan membawa dampak mengganggu petani serta peternak domestik, industri gula dan produsen pertanian lainnya.
"Sementara ekspor produk Indonesia ke Australia, kebanyakan sudah mendapatkan 0 persen tarif, artinya dengan perjanjian ini, mungkin tidak akan meningkatkan pasar yang sebelumnya. Tetapi sebaliknya, Indonesia malah lebih kebanjiran impor pangan dari Australia," jelas Kartini.
Selain itu, Rachmi menambahkan bahwa IA CEPA juga mengatur mengenai aturan perlindungan investasi dengan memasukan klausul gugatan investor terhadap negara (investor state dispute settlement/ISDS).
Klausul itu dinilai dibuat untuk memberikan hak investor asing untuk menuntut pemerintah tuan rumah di pengadilan Arbitrase Internasional atas peraturan yang dianggap merugikan bagi investor.
"Terkait dengan isu investasi dalam IA CEPA, ada desakan dari perusahaan tambang Australia yang menginginkan agar mekanisme ISDS dimasukan dalam IA CEPA. Mereka mengklaim bahwa perusahaan tambang Australia sering mendapat tekanan besar dari kebijakan Pemerintah Indonesia, khususnya terkait dengan UU Minerba yang mewajibkan untuk divestasi saham asing," terangnya.
Sebelumnya, perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Australia (IA-CEPA) akan menghapuskan bea masuk seluruh barang asal Indonesia yang diekspor ke negara Kangguru tersebut.
"Hal ini merupakan hasil positif, karena berarti seluruh produk Indonesia yang masuk ke pasar Australia tidak dikenakan bea masuk," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di Jakarta, Senin (4/3/2019).
Mendag juga menguraikan, produk-produk Indonesia yang berpotensi meningkat ekspornya adalah produk otomotif, khususnya mobil listrik dan hibrid.
Selain itu, produk-produk Indonesia yang berpotensi meningkat ekspornya yaitu kayu dan turunannya termasuk furnitur, tekstil dan produk tekstil, ban, alat komunikasi, obat-obatan, permesinan, dan peralatan elektronik.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2019