Jakarta (Antara Babel) - Presiden Joko Widodo masih mempertimbangkan calon kepala Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menggantikan Letjen (Purn) Marciano Norman karena Marciano telah menjabat sebagai Kepala BIN sejak 19 Oktober 2011.
Pada Jumat (24/10) lalu, Presiden telah memanggil Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Dr (HC) As'ad Said Ali yang pernah menjadi Wakil Kepala BIN selama 9,5 tahun pada era Presiden Abdurahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari latar belakang tersebut, publik memperkirakan pria kelahiran Kudus 19 Desember 1949 itu bakal menjadi kepala BIN karena pemanggilannya berbarengan dengan hari-hari pemanggilan terhadap para calon menteri sebelum diumumkan Presiden Joko Widodo pada 26 Oktober 2014.
Namun hingga hari pengumuman tiba, Presiden hanya mengumumkan 34 nama menteri dalam kabinetnya, tidak termasuk kepala BIN.
As'ad yang merupakan alumni Hubungan Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada dan Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, itu mengaku siap menerima apa pun keputusan Presiden Joko Widodo terkait namanya yang disebut bakal menjabat Kepala BIN.
"Keputusan mutlak ada di Presiden Joko Widodo. Jika dipercaya maka tidak ada alasan untuk menolak," ujarnya ketika ditemui saat menyaksikan pengumuman Kabinet Kerja melalui televisi di kediamannya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
As'ad mengakui sudah mendengar namanya masuk dalam wacana sebagai salah seorang pejabat negara setingkat menteri dan duduk sebagai orang nomor satu di BIN.
"Siapa pun nantinya, saya menghargai dan tidak mau berandai-andai. Saya serahkan semuanya kepada Allah SWT dan akan melaksanakannya jika diberi amanat tetapi kalau tidak maka bukan persoalan dan saya menghargainya," kata As'ad.
Ia menceritakan saat dipanggil Presiden Joko Widodo, membahas sejumlah hal, mulai urusan Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri hingga Kementerian Pendidikan.
"Saat itu juga Presiden mengajak diskusi tentang keamanan dan ketertiban serta dunia intelijen negara," kata Doktor Honoris Causa dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, itu.
Hingga 3 November, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdjianto mengatakan Presiden Joko Widodo masih mempertimbangkan sejumlah nama untuk mengisi jabatan sebagai kepala BIN.
Di kompleks Istana Kepresidenan ketika itu, Menkopolhukam membenarkan adanya sejumlah nama yang telah beredar dalam bursa Kepala BIN seperti nama As'ad dan mantan Wakil Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin serta mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fahrul Razi.
Meski demikian, nama-nama calon Kepala BIN bisa saja berubah. "Bisa saja hilang semua, muncul satu lagi," katanya.
Pertimbangan DPR
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, kedududkan BIN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pada Pasal 35 UU itu menyebutkan BIN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang wakil kepala. Pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Wakil Kepala BIN ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pengangkatan dan pemberhentian Kepala BIN oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR RI. Untuk mengangkat kepala BIN, Presiden mengusulkan satu orang calon untuk mendapat pertimbangan DPR. Pertimbangan DPR terhadap calon Kepala BIN yang dipilih oleh Presiden disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja, tidak termasuk masa reses, terhitung sejak permohonan pertimbangan calon kepala BIN diterima oleh DPR.
Hingga laporan ini dibuat, Presiden belum mengusulkan calon kepala BIN kepada DPR untuk mendapatkan pertimbangan.
"Prosedur dalam undang-undang memang seperti itu, makanya Presiden belum mengumumkannya. Pelantikan kepala BIN juga tidak bersamaan dengan menteri-menteri dalam kabinet," kata As'ad.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menilai calon Kepala BIN harus memiliki pola pikir yang berorientasi global dengan memahami permasalahan intelijen global seperti "cyber intelligence".
"Gagasan politik DPR ketika menyusun Undang-Undang intelijen mendorong penguatan BIN berorientasi ke luar karena saat ini terjadi pertarungan kekuatan global," kata politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Mahfudz mengatakan dalam dua tahun terakhir, Komisi I DPR mendorong penguatan "cyber intelligence" dan "cyber economic" dengan dukungan anggaran yang memadai dalam lembaga intelijen tersebut. Karena itu menurut dia, sinergi antara BIN dan Komisi I DPR ke depan sangat penting.
"Sosok yang bisa bersinergi dengan Komisi I DPR akan kami pertimbangkan untuk menjadi Kepala BIN mendatang," ujarnya.
Selain itu, sosok kepala BIN mendatang harus mampu mengimplementasikan fungsi koordinasi kegiatan-kegiatan intelijen di lembaga yang ada.
Hal itu terkait dengan rencana Kementerian Pertahanan mengembangkan "cyber defence" sehingga kepala BIN mendatang harus bisa bersinergi dengan kementerian tersebut.
Dia mengatakan sinergi dengan "defence intelligence" harus dilakukan karena ancaman konflik ekonomi dan politik bisa menggiring ke aspek pertahanan dan militer.
"Kami tidak memiliki kepentingan mengarahkan pada sosok tertentu namun faktor-faktor yang kami ungkapkan penting untuk diperhatikan Presiden Jokowi," katanya.
Pertimbangan lain adalah calon kepala BIN harus memiliki rekam jejak yang memiliki komitmen untuk penegakan hak asasi manusia dalam operasi intelijen.
Dia menjelaskan salah satu semangat dalam undang-undang intelijen adalah fungsi intelijen harus mengembangkan "smart power" bukan "hard power".
"Hard power cenderung melahirkan pelanggaran HAM dalam operasi intelijen," katanya.
Mahfudz mengatakan dalam penyusunan Undang-Undang Intelijen Negara banyak masukan dari lembaga swadaya masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat yang menekankan pentingnya "smart power" dan komitmen penghormatan HAM dalam operasi intelijen.
Tugas BIN memang berat seperti melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen, menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah, melakukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas intelijen, membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing, dan memberikan pertimbangan,
saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan.
BIN memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan: (a) kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, (b) kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.
