Jakarta (ANTARA) - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunda sidang perdana gugatan praperadilan tersangka kasus dugaan tindak pidana ujaran kebencian "meminta presiden mundur", Ruslan Buton karena para tergugat tidak hadir, Rabu.
Hakim tunggal sidang praperadilan, Hariyadi menunda sidang selama satu pekan dan menjadwalkan kembali sidang pada Rabu 17 Juni 2020 dengan agenda menghadirkan penggugat dan tergugat.
Ruslan yang diwakili kuasa hukumnya, Tonin Tachta Singarimbun mengatakan kliennya mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka yang dianggap tidak sah.
Permohonan gugatan ini ditujukan kepada Kapolri dalam hal ini Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri selaku termohon atau tergugat.
Toni mengaku kecewa atas ketidakhadiran para tergugat pada sidang perdana sehingga membuat sidang ditunda sepekan.
Baca juga: Polri persilakan Ruslan Buton ajukan gugatan praperadilan
Menurut dia, praperadilan yang diajukan oleh kliennya diketahui oleh Presiden, Kapolri, Direktur Tindak Pidana Siber Mabes Polri, karena sudah ada surat panggilan sidang dari juru sita pada 4 Juni yang diterima oleh termohon/tergugat.
"Artinya disuruh masyarakat menghargai hukum, ternyata mereka tidak menghargai hukum dengan tidak datang. Jangan beralasan boleh datang kedua, kan ini praperadilan," kata Tonin usai persidangan.
Tonin menyebutkan, praperadilan yang diajukan oleh pihaknya adalah untuk menguji penetapan status tersangka terhadap Ruslan tidak sah dan memohon perkara dihentikan.
"Yang digugat oleh Ruslan itu Presiden, Kapolri terus Kabareskim terus kepada Direktur Tindak Pidana Siber, itu yang digugat," kata Tonin.
Sebelumnya, Ruslan Buton ditangkap oleh tim Bareskrim Polri bersama Polda Sultra dan Polres Buton di Jalan Poros, Pasar Wajo Wasuba, Dusun Lacupea, Desa Wabula 1, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara,l Kamis (28/5).
Dalam kasus ini, barang bukti yang disita polisi yakni satu ponsel pintar dan sebuah Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Ruslan.
Bareskrim Polri kemudian menetapkan Ruslan Buton sebagai tersangka dalam kasus penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian terkait surat terbuka yang meminta Joko Widodo untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI.
Ruslan pun langsung ditahan di Rutan Bareskrim per Jumat (29/5) selama 20 hari hingga 17 Juni 2020.
Ruslan dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP, dapat dipidana dengan ancaman penjara dua tahun.
Ruslan ditangkap setelah membuat pernyataan terbuka kepada Presiden Joko Widodo dalam bentuk rekaman suara pada 18 Mei 2020 dan kemudian rekaman suara itu menjadi viral di media sosial.
Dalam rekamannya, Ruslan mengkritisi kepemimpinan Jokowi. Menurut Ruslan, solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa Indonesia adalah bila Jokowi rela mundur dari jabatannya sebagai Presiden.
"Namun bila tidak mundur, bukan menjadi sebuah keniscayaan akan terjadinya gelombang gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat," tutur Ruslan dalam rekaman suaranya.
Usai merekam suara, pelaku kemudian menyebarkannya ke grup WhatsApp (WA) Serdadu Eks Trimatra hingga akhirnya viral di media sosial.