Jakarta (Antara Babel) - Konflik di tubuh Partai Golkar tampaknya akan segera mencapai puncaknya setelah kedua belah pihak menyelenggarakan musyawarah nasional (munas) dan menyerahkan berkas kepengurusan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan pengesahan.
Munas di Bali diselenggarakan oleh pihak ketua umum Aburizal Bakrie. Munas tersebut kembali memilih Aburizal Bakrie sebagai ketua umum dalam pemilihan secara aklamasi.
Sedangkan munas di Ancol diselenggarakan presidium penyelamat partai yang dimotori Agung Laksono. Agung Laksono terpilih sebagai ketua umum dalam pemungutan suara mengalahkan kandidat lain yaitu Priyo Budi Santoso dan Agus Gumiwang Kartasasmita.
Menanggapi pengajuan berkas dari kedua belah pihak, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyatakan membentuk tim khusus untuk melakukan kajian sebelum memberikan pengesahan.
Namun, pembentukan itu dinilai sebagai suatu hal yang sia-sia karena pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan penyelesaian konflik partai politik. Mengesahkan salah satu pihak dengan mengesampingkan yang lain, maka pemerintah bisa dituding mengintervensi.
Pengamat politik dari Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono menilai langkah Kemenkumham membentuk tim khusus untuk mempelajari berkas-berkas Partai Golkar sebagai hal yang percuma.
"Percuma saja dibentuk tim. Sebab, pemerintah memang tidak berwenang memutus konflik partai politik. Konflik di partai politik harus diselesaikan sendiri di internal partai," katanya.
Teguh mengatakan menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 8 tentang Partai Politik, konflik di partai politik harus diselesaikan di internal partai melalui mekanisme mahkamah partai. Yang menjadi masalah pada Partai Golkar adalah mahkamah partai juga terpecah karena masing-masing pihak memiliki lembaga tersebut.
Karena itu, Teguh menyarankan Kemenkumham untuk mengembalikan berkas dari kedua kubu Partai Golkar dan hanya menerima satu berkas setelah permasalahan diselesaikan kemudian mengesahkan kepengurusan partai.
"Pemerintah dalam menyikapi konflik partai politik tidak boleh memosisikan diri sebagai pengadilan. Bahkan sistem peradilan di Indonesia pun tidak ada mekanisme untuk menyelesaikan konflik partai. Harus diselesaikan di internal," tuturnya.
Menurut Teguh, bila pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk mengesahkan salah satu pihak, maka keputusan tersebut berpotensi cacat dan bisa digugat ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Hal itu bisa menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
"Siapa pun yang disahkan pemerintah, pasti pihak lainnya akan mengugat ke PTUN. Lebih baik pemerintah memutuskan untuk tidak mengambil keputusan," ujarnya.
Karena itu, Teguh mengatakan islah merupakan jalan terbaik bagi Partai Golkar pascapenyelenggaraan dua versi musyawarah nasional di Bali dan Ancol daripada menunggu pengesahan salah satu pihak dari pemerintah.
"Bila pemerintah memutuskan untuk tidak mengambil keputusan, maka itu keputusan terbaik. Imbasnya adalah kepada partai sendiri karena tidak lagi diakui pemerintah sehingga tidak bisa mengadakan kegiatan dan mengikuti pemilu," tuturnya.
Munas Bali Lebih Sah
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai munas Partai Golkar di Bali lebih sah daripada acara serupa yang diadakan di Ancol, Jakarta.
"Dalam mengesahkan, pemerintah harus melihat mana munas yang lebih 'legitimate'. Menurut saya, pemerintah seharusnya mengesahkan kepengurusan Golkar hasil Munas Bali," kata Firman Noor.
Firman mengatakan Munas Bali lebih sah karena dihadiri pengurus DPD I dan DPD II yang sah, dibuktikan melalui surat penugasan atau mandat. Sedangkan Munas di Ancol, Firman menilai kurang mewakili DPD I dan DPD II Partai Golkar karena pesertanya tidak mendapat mandat dari pengurus.
Karena itu, Firman menyarankan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly untuk memenangkan kubu Aburizal Bakrie. Sebab, Munas di Bali lebih sesuai dengan aturan main di partai politik.
"Keputusan mengenai Golkar ini akan menjadi ujian bagi netralitas dan objektivitas pemerintah, bagaimana menyikapi partai politik yang sedang berseberangan, apakah sesuai aturan atau ada unsur politisnya. Pemerintahan itu satu tubuh, apa keputusan menteri tentu atas restu presiden," tuturnya.
Menurut Firman, pemerintah seharusnya belajar dari kasus PPP. Ketika itu, pemerintah langsung mengintervensi dengan mengesahkan kepengurusan yang dipimpin Romahurmuzy. Hasilnya, keputusan pemerintah digugat ke pengadilan tata usaha negara (PTUN).
"Namun, Golkar tampaknya akan sulit diganggu karena partai itu cukup besar, berbeda dengan PPP," ujarnya.
Firman mengatakan Partai Golkar bisa akan lebih solid daripada sebelumnya bila bisa kembali bersatu.
"Bila kubu Agung Laksono bergabung dengan kubu Aburizal Bakrie, Partai Golkar bisa menjadi lebih solid daripada sebelumnya," katanya.
Namun, di sisi lain, Firman berpendapat bisa juga ada kemungkinan kelompok Agung akan menjadi pembuat masalah bila tetap di Partai Golkar.
"Itu karena ada beberapa orang di Golkar yang menyebut pemecatan sejumlah pengurus dan kader yang mendukung munas Ancol sebagai gerakan bersih-bersih. Ada semacam gerakan puritanisme bahwa pendukung munas Ancol bukan orang Golkar," tuturnya.
Menurut Firman, islah antara kedua pihak di Partai Golkar memang cukup sulit terjadi karena sudah sampai pada titik saling memecat. Untuk bisa kembali bersatu, perlu ada kesadaran kuat untuk bersatu dan saling mengalah.
Karena itu, potensi menyempal dari Partai Golkar masih akan tetap ada, meskipun mungkin dilakukan perorangan secara personal. Bila tidak bisa kembali ke Partai Golkar, beberapa personal mungkin akan bergabung ke partai lain atau mendirikan partai baru.
"Yang paling mungkin adalah bergabung dengan partai lain. Kalau membentuk partai baru akan lebih sulit karena memerlukan modal yang kuat dan jaringan mereka tidak terlalu besar," katanya.
Ujian Bagi Pemerintah
Sementara itu, Direktur Institut Madani Nusantara Prof Nanat Fatah Natsir mengatakan keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yassona H Laoly terhadap dualisme Partai Golkar akan menjadi ujian netralitas dan objektivitas pemerintah.
"Tak hanya menjadi ujian bagi Menkumham, tetapi juga pemerintah sejauh mana pemerintah netral dan objektif," kata Nanat Fatah Natsir.
Mantan Rektor UIN Bandung itu mengatakan bila salah dalam mengambil keputusan, maka citra pemerintah akan buruk dan menyebabkan melemahnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Nanat mengatakan masyarakat mengetahui mana munas Partai Golkar yang sesuai aturan dan pesertanya betul pengurus partai beringin dengan mana yang melanggar peraturan dan pesertanya bukan pengurus partai sesuai ketentuan.
"Pemerintah harus hati-hati. Bila keputusan yang diambil tepat, maka citra pemerintah akan baik dan kepercayaan publik meningkat," kata Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu.
