Jakarta (ANTARA) - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM menyampaikan pokok-pokok perubahan rancangan revisi UU Paten kepada pemangku kepentingan terkait.
"Pertama, pasal 4 huruf d yang terkait dengan paten dalam program komputer," kata Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang, DJKI Kementerian Hukum dan HAM, Dede Yusanti, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Perubahan kedua di pasal 4 huruf f terkait invensi yang berupa temuan. Dalam hal ini, pemerintah akan menghapus ketentuan dari pasal 4 huruf f itu.
"Tujuannya memberikan kesempatan dan mendorong serta membuka inovasi nasional yang seluas-luasnya," ujar dia.
Selanjutnya, pasal 6 ayat (1) terkait masa tenggang publikasi ilmiah. Pemerintah akan mengubah ketentuan pasal ini dengan menambahkan waktu dari
sebelumnya enam bulan menjadi 12 bulan yang diberikan sebelum penerimaan invensi.
Keempat, pemindahan pasal 9 huruf c yaitu teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika ke dalam pasal 4 huruf c.
Selanjutnya, penambahan pasal 19 ayat (1) terkait izin melaksanakan paten yang dimiliki kepada pihak lain. Penambahan pasal tersebut sesuai dengan UU Cipta Kerja dan pelaksanaan paten tidak hanya semata-mata memproduksi, tetapi juga memberikan izin untuk melaksanakan paten kepada pihak lain.
Dalam revisi itu, pemerintah mengusulkan adanya pasal baru yaitu pasal 20a, perubahan pasal 26 terkait penetapan sumber daya genetik, kemudian penambahan ayat baru di pasal 24, 25, 28, 30, 34, 36, 67, 68, 72, 103, 109, dan penambahan ayat pada pasal 112.
Selain itu, DJKI Kementerian Hukum dan HAM juga menyampaikan adanya konsep baru yaitu pasal 51a dimana pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam pasal 51, dapat dilakukan pemeriksaan substantif pendahuluan dengan dikenai biaya.
Kemudian, juga terdapat konsep baru di pasal 57a yang berisi pemohon dapat mengajukan permohonan percepatan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 setelah selesainya masa pengumuman dengan dikenai biaya.
"Ada juga konsep baru yaitu pasal 63a dimana permohonan pemeriksaan substantif kembali diajukan secara tertulis kepada menteri dengan dikenai biaya," ujar Dede.
Konsep baru juga terdapat di pasal 84a yang berbunyi ketentuan pemberian lisensi wajib sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (4) dan pasal 84 ayat (1) huruf b dikecualikan dalam hal putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang telah berkekuatan hukum tetap.
Terakhir, revisi UU Paten juga menambahkan konsep baru yaitu pasal 111A yang berbunyi menteri dapat memutuskan pelaksanaan paten oleh pemerintah atas impor pengadaan produk farmasi yang diberi paten di Indonesia, tetapi belum dapat diproduksi di Indonesia guna pengobatan penyakit pada manusia.
"Perubahan UU Paten ini tentunya untuk menyesuaikan apa yang ada di UU Cipta Kerja, dan menyesuaikan aturan yang terkait dengan standar internasional serta tetap memerhatikan kepentingan nasional," kata dia.