Jakarta (Antara Babel) - Persoalan dana aspirasi yang digulirkan oleh DPR, mengingatkan pada kebijakan "pork barrel budget" yang diterapkan di Amerika Serikat (AS).
Sayangnya jika Indonesia menerapkan kebijakan itu layaknya menjadi langkah mundur sebab "pork barrel budget" di AS dianggap sebagai praktik korupsi yang dilegalkan melalui kerja sama politik.
"Pork barrel budget" merupakan istilah dengan konotasi negatif yang dipakai untuk mengejek praktik pembuatan anggaran (budgetting) pemerintah pusat (Federal) AS untuk proyek-proyek di distrik anggota kongres (setara DPR) yang terpilih.
Istilah "pork barrel"ini mengacu pada praktik tertentu di era sebelum perang saudara (civil war) AS. Saat itu ada praktik memberikan budak kulit hitam se-barrel (gentong) "salt pork" (sejenis makanan dari daging babi mirip bacon) sebagai hadiah dan membiarkan mereka memperebutkan hadiah tersebut.
Istilah ini dipakai karena penganggaran pemerintah oleh anggota kongres untuk daerah pemilihannya mirip praktik tersebut. Konstituen di daerah seakan "budak yang dibeli" dan berebut dana anggaran tersebut.
Dana "pork barrel" digunakan politisi kongres untuk membayar balik konstituennya dalam bentuk bantuan dana untuk proyek-proyek di daerah pemilihannya.
Membayar balik dalam pengertian membalas dukungan politik yang didapatkannya sebelum ia terpilih, baik dukungan dalam bentuk suara pemilih (vote) ataupun kontribusi dalam kampanye politiknya.
"Pork barrel"adalah praktik yang lazim dalam politik AS namun dikecam publik. Anggaran Federal (pemerintahan pusat) berasal dari uang pembayar pajak yang taat pajak namun juga memiliki tuntutan tinggi terhadap penggunaan uang pajak.
Contoh penggunaan pork barrel yang kontroversial antara lain pembangunan jembatan di Negara Bagian Alaska. Jembatan yang menghubungkan hanya 50 penduduk di sebuah desa di satu pulau ke lapangan terbang tersebut dijuluki Bridge to Nowhere (saking tidak bermanfaatnya) menghabiskan anggaran Federal sebesar 398 juta dolar AS.
Sementara di Indonesia, Ketua DPR Setya Novanto berkeras bahwa dana aspirasi akan digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerataan pembangunan dan percepatan turunnya dana pembangunan ke daerah yang selama ini dirasakan masih kurang memuaskan.
Menurut Setnov, dana tersebut tidak akan diberikan ke anggota DPR, melainkan ke Pemerintah Daerah (Pemda). Hal itu bertujuan agar dana tersebut tidak diselewengkan oleh para anggota DPR.
"Karena dana masalah dapil ini memang menjadi suatu hal bagi anggota bisa mempunyai kewajiban di dalam melakukan program-programnya. Jadi program-program ini dengan Dapil ini tidak dimiliki, tetapi semua diserahkan kepada pemerintah," ujar Setnov.
Politisi Partai Golkar tersebut menambahkan, sebelumnya para anggota dewan banyak yang mengeluhkan lantaran Dapilnya terbengkalai, karena membutuhkan banyak pembangunan.
Titik Temu
Dana aspirasi di Indonesia masih menjadi tarik ulur. Namun Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo meyakini akan ada titik temu soal dana aspirasi antara DPR RI dengan pemerintah.
"Pemerintah belum sependapat, tapi namanya prmbahasan anggaran kan bersama-sama. Akan ada arah, titik temu," kata Tjahjo.
Ia mengatakan, pemerintah juga akan memperhatikan apa yang menjadi aspirasi DPR dan ia berharap DPR juga akan memperhatikan serta mendukung apa yang menjadi perencanaan antara DPR dan pemerintah.
Ia mencontohkan sampai saat ini masih banyak pekerjaan rumah di antaranya membangun gedung DPD, gedung DPR, dan kini bertambah soal dana aspirasi.
Soal besaran dana aspirasi sendiri, kata dia, akan dibahas bersama-sama pada saat pembahasan RAPBN tahun 2016.
Tjahjo mengatakan soal dana aspirasi memang sempat disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden namun sampai sekarang belum dibahas dengan kementerian terkait.
"Saat itu Bapak Presiden belum merespons, belum membahas sampai sekarang dengan kementerian terkait pun belum," katanya.
Ia mengaku bisa memahami jika dana aspirasi memunculkan kontroversi karena merupakan area yang sensitif dan rawan penyimpangan sehingga kemudian dinilainya wajar ketika KPK mengawasi sejak awal.
Sementara Menteri PPN/Bappenas Andrinof Chaniago bahkan menegaskan konsep dana aspirasi bisa bertabrakan dan bertentangan dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago menegaskan Presiden tidak setuju dana aspirasi.
"Yang jelas kalau pakai UU, program pembangunan yang direncanakan itu diambil dari visi misi Presiden, jadi kalau pakai konsep dana aspirasi bisa bertabrakan dengan visi misi Presiden," kata Andrinof.
Pihaknya meminta DPR memahami dan konsisten dengan sistem yang telah dibangun.
Menurut dia, idealnya DPR kembali ke sistem dan memerankan fungsi pengawasan, pembicaraan anggaran, dan legislasi.
"Yang dijalankan pemerintah itu yang sesuai dengan visi misi Presiden dan UU lainnya, termasuk RPJMN," katanya.
Andrinof berpendapat penggunaan dana aspirasi rawan penyelewengan dan efeknya pun bisa besar apalagi jika misalnya besarannya mencapai Rp20 miliar per anggota dewan maka bisa Rp11 triliun efeknya bagi pembangunan. "Itu akan dibicarakan dan akan disampaikan juga nanti," katanya.
KRJ Menolak
Banyak alasan bagi Presiden Jokowi untuk menolak dana aspirasi. Apalagi pendukungnya yang tergabung dalam Koalisi Relawan Jokowi (KRJ) mengajukan tujuh alasan dasar penolakan terhadap peraturan DPR soal Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang dikenal danaDana Aspirasi Dapil DPR.
Ketua KRJ Reinhard Parapat mengatakan dana aspirasi berpotensi menghamburkan uang rakyat, tidak tepat sasaran, tidak sesuai dengan fungsi dan tugas DPR RI, dan berpotensi terjadi ketidakadilan penyerapan dana masing-masing daerah pemilihan DPR RI.
KRJ juga menilai dana aspirasi rawan untuk dikorupsi, hanya untuk kepentingan kelompok/golongan dan partainya, dan menambah beban kerja DPR-RI.
"Untuk itu, kami dari Koalisi Relawan Jokowi (KRJ) mendukung Presiden Joko Widodo untuk menolak Peraturan Usulan Program Daerah Pemilihan (UP2DP) yang telah disetujui dalam rapat paripurna DPR pada 23 Juni 2015 dan kami meminta kepada Pemerintahan Jokowi-JK agar tidak mengakomodir Dana Aspirasi Daerah Pemilih (Dapil) untuk masuk dalam pembahasan RAPBN 2016," katanya.
Jadi, akankah Indonesia menganut "pork barrel budget" ala politik modern AS yang bahkan diolok-olok di negara asalnya.