Jakarta (Antara Babel) - Akses dan ketersediaan energi listrik merupakan salah satu persoalan krusial yang harus diatasi di Tanah Air, namun sangat disayangkan setelah baru saja terjadi perombakan Kabinet Kerja, terdapat kontroversi dalam Program 35.000 megawatt (MW).
Hal itu dimulai ketika Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yang baru dilantik menilai program pembangkit listrik 35.000 MW yang ditargetkan selesai pada 2019 sulit dicapai.
Terlebih, menurut dia, masih ada tambahan sisa target pembangunan pembangkit listrik di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebanyak 7.000 MW sehingga total mencapai 42.000 MW.
"Target 35.000 MW, plus sisa target zaman Pak SBY 7.000 MW sehingga total 42.000 MW itu sulit dicapai dalam lima tahun," kata Rizal seusai serah terima jabatan di BPPT, Jakarta, Kamis (13/8).
Mantan Menko Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengaku akan meminta Menteri ESDM Sudirman Said bersama dengan Dewan Energi Nasional untuk melakukan evaluasi ulang program usungan Presiden Joko Widodo tersebut.
"Saya akan minta Menteri ESDM dan DEN untuk melakukan evaluasi ulang, mana yang betul-betul masuk akal. Jangan dikasih target terlalu tinggi tapi dicapainya susah. Supaya realistis," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, program megaproyek pembangkit listrik berkapasitas total 35.000 MW merupakan program andalan Pemerintah Jokowi dan Jusuf Kalla.
Kementerian ESDM telah menetapkan 109 proyek dalam program tersebut dengan rincian daya total mencapai 36.585 MW, terdiri atas 74 proyek berkapasitas 25.904 MW yang dikerjakan pengembang listrik swasta (independent power producers/IPP) dan sisa 35 proyek berdaya 10.681 MW dikerjakan PT PLN (Persero).
Ada pun total kebutuhan investasi proyek tersebut diperkirakan mencapai Rp1.127 triliun, terdiri atas Rp512 triliun untuk proyek yang dikerjakan PLN dan Rp615 triliun dikerjakan swasta.
Ketika ditanyakan mengenai pernyataan Menko Maritim, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, menteri Kabinet Kerja harus dapat memahami dahulu suatu program pemerintah secara keseluruhan sebelum memberikan komentar kepada media massa.
"Tentu sebagai menteri harus mempelajari dahulu sebelum berkomentar," kata Wapres seusai mengikuti peringatan Hari Konstitusi di Jakarta, Selasa (18/8).
Menurut Jusuf Kalla, program tersebut memang bisa saja dinilai tidak masuk akal, tetapi seharusnya seorang menteri "banyak akalnya".
Wapres berpendapat bahwa bila ada kemauan dan pemahaman yang baik maka untuk membuat hingga 50.000 MW juga bisa.
Jusuf Kalla mengingatkan bahwa infrastruktur listrik merupakan kebutuhan yang sangat penting terutama bagi sektor industri. "Sebelum kita membangun industri, maka prasarana listrik itu harus ada," katanya.
Wapres juga mengingatkan bahwa jumlah listrik yang ada juga harus berlebih dan jangan pas-pasan karena berbagai negara pasti juga akan melakukan hal yang serupa.
Jusuf Kalla tidak sepakat dengan pihak yang menyatakan bahwa proyek itu ambisius karena itu telah merupakan kebijakan pemerintahan saat ini.
Optimistis tapi revisi?
Sementara itu, Menteri ESDM Sudirman Said kembali mengatakan pihaknya optimistis program pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW hingga 2019 tercapai.
Keyakinan tersebut disampaikan mantan Dirut PT Pindad itu menyusul kritikan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli untuk mengevaluasi program 35.000 MW yang dinilai sulit tercapai.
"Sebetulnya secara persiapan kami optimis cuma tantangannya adalah proyek manajemen yang ada, kita juga bicara soal tanah dan perizinan," kata Sudirman seusai acara pendelegasian wewenang penerbitan perizinan migas dan minerba di Kantor BKPM, Jakarta, Kamis (13/8).
Menurut Sudirman, pihaknya optimistis atas keberhasilan program tersebut lantaran tahun ini perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) sebesar 10.000 MW dengan PT PLN (Persero) sudah mulai berjalan. "Kemudian, tahun depan insya Allah 15.000 MW juga tercapai," tambahnya.
Sudirman juga menuturkan, sekitar 20 persen dari target 35.000 MW pembangkit listrik dinyatakan sudah terkonstruksi. Dengan demikian, pihaknya optimis untuk terus melanjutkan program yang ada sambil tetap terus melakukan evaluasi.
"Kalau evaluasi kita lakukan terus menerus. Bukan mengurangi target, tapi mencari cara bagaimana target itu terpenuhi," katanya menambahkan angka 35.000 MW ditentukan berdasarkan kebutuhan dari hasil kajian.
Ada pun terkait sisa target di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sebesar 7.000 MW dinilai telah memasuki 50 persen penyelesaian dan diharapkan bisa selesai paling lambat akhir tahun depan.
Namun, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman mengisyaratkan kemungkinan revisi program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW berdasarkan faktor melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Jarman seusai acara pencanangan Hari Listrik Nasional di Jakarta, Jumat (15/8), mengatakan program pembangunan megaproyek 35.000 MW dilakukan atas kajian kebutuhan listrik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,0 persen hingga 6,5 persen per tahun selama lima tahun berturut-turut.
"Tentunya kalau, katakanlah, pertumbuhan ekonomi tidak setinggi itu, memang mungkin perlu dilihat lagi. Itu saja sebenarnya," katanya.
Namun, Jarman menegaskan masih diperlukannya batas cadangan listrik guna menghindari adanya kekurangan atau defisit.
Menurut dia, batas cadangan listrik perlu dijaga kalau-kalau pembangunan pembangkit mundur dan kebutuhan tetap tinggi sehingga menyebabkan kekurangan pasokan listrik.
Investasi
Untuk membantu pencapaian program 35.000 MW itu, pemerintah juga sangat menginginkan semakin banyaknya investor yang masuk guna mengembangkan akses dan ketersediaan listrik di Tanah Air.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengatakan investasi terbesar di Indonesia saat ini pada sektor infrastruktur, khususnya proyek energi listrik.
"Hampir 50 persen investasi di listrik berbicara pada energi terbarukan," kata Franky Sibarani di Jakarta, Jumat (15/8).
Ia mengatakan hal tersebut merupakan salah satu upaya sebaran untuk listrik agar tidak hanya dari batu bara, namun juga berasal dari energi terbarukan.
Beberapa negara yang sudah memulai investasi tersebut adalah Jepang, Tiongkok dan Korea. "Masih banyak negara yang berminat, dan paling banyak Tiongkok," katanya.
Hal itu juga terindikasikan dari perusahaan asal Tiongkok PT China Huadian Engineering menyatakan ketertarikannya untuk menambah investasi di bidang energi khususnya pembangkit listrik di Indonesia.
"Pihak kami menyambut sangat positif. Kami sudah melakukan studi terhadap program ini dan mudah-mudahan bisa ikut berinvestasi dalam proyek ini," kata Kepala Perusahaan China Huadian Engineering Sun Qingsong di Buleleng, Bali pada Selasa (11/8), terkait program pengadaan energi listrik pemerintah sebesar 35 ribu Megawatt.
Menurut Sun, pihaknya akan menawarkan penggunaan pembangkit listrik dengan teknologi yang terbaik.
Sun menambahkan Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Tiongkok menjelaskan investasi asing dibutuhkan untuk membangun program listrik 35 ribu Megawatt tersebut.
"Sudah ada informasi untuk Huadian untuk ikut serta dalam proyek listrik 35 ribu MW," kata Sun.
PT Huadian China Huadian Engineering telah membangun sejumlah pembangkit listrik di Indonesia antara lain di Bendungan Asahan di Sumatera Utara dan PLTU batubara Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng, Bali.
Sementara itu, Atase Perekonomian dan Bisnis Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia (Minister Counsellor) Wang Liping mengatakan Tiongkok dan Indonesia akan terus mendalami kerja sama di bidang pengadaan energi listrik.
"Di masa depan kerja sama energi Tiongkok-Indonesia akan terus mendalam. Perusahaan Tiongkok akan melebarkan sayap di luar negeri, termasuk dalam bidang listrik," kata Wang.
Wang menambahkan Indonesia dan Tiongkok saat pertemuan tingkat tinggi ekonomi pada Januari 2015 telah menyepakati upaya optimalisasi proyek pembangkit tenaga listrik 10 ribu Megawatt.
"Kerangka kerja sama ditentukan pemerintah Tiongkok sudah merekomendasikan empat perusahaan listrik yang memiliki reputasi yang baik," jelas Wang.
Kemandirian
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pembangunan sektor energi di Tanah Air seperti pengembangan kelistrikan di berbagai daerah harus dapat mengutamakan pemikiran, tenaga kerja, serta permodalan dari dalam negeri.
"Kita harus berdikari kembali," kata Jusuf Kalla dalam acara kerja sama penandatanganan Perencanaan dan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Energi dan Pertambangan di Auditorium Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta, Senin (10/8).
Wapres menyesalkan bila ada proyek pembangunan besar seperti bandara masih banyak pihak yang ingin memanggil konsultan dari berbagai negara luar negeri seperti Jepang, Amerika Serikat dan Prancis.
Kalla mengemukakan tidak pernah ada yang mengatakan untuk memanggil BPPT sehingga mulai saat ini sudah harus mulai sekarang untuk kembali efektif dan pemerintah tidak ingin lagi berapa pengkajian dan penerapan yang tidak jelas.
Padahal, ujar dia, negara telah memberikan anggaran yang memadai sehingga sudah seharusnya membuat perencanaan dan juga penerapan yang baik. "Mari keluarkan seluruh aspek pembangunan dalam negeri. Apa saja keunggulan BPPT," katanya.
Wapres mencontohkan, perusahaan yang pernah dibuatnya pernah membuat tenaga hidro-elektrik yang 100 persen merupakan hasil dari insinyur-insinyur asli RI.
Untuk itu, ujar dia, pembangunan itu diharapkan dapat tercapai selalu baik dengan otak, otot, maupun dengan kantong atau modal kita sendiri. "Kalau semuanya dari luar negeri apa yang kita dapat. Kita menjadi konsumen melulu," katanya.
Wapres juga mengungkapkan mengapa dirinya memulai dengan energi karena sektor tersebut mempunyai anggaran yang besar seperti sekitar Rp150 triliun per tahun hanya untuk pengembangan listrik di Tanah Air.
Pernyataan kemandirian tersebut sepertinya sekilas bertolak belakang dengan keinginan agar semakin banyak investor asing yang masuk dalam sektor listrik, namun bila keduanya digabungkan untuk mengoptimalkan sebesar-besarnya manfaat bagi Republik Indonesia, maka mencapai target 35.000 MW pada masa mendatang juga bukanlah hal yang mustahil.