Jakarta (Antara Babel) - Setelah pengumuman delapan nama calon pimpinan KPK yang lolos seleksi tahap ketiga, ada sejumlah pihak yang senang tapi tidak sedikit yang jadi sendu atau sedih karena tidak terpilih. Ada juga yang tidak puas atas pilihan Sembilan Srikandi selaku panitia seleksi itu.
Delapan orang tersebut dibagi ke empat bidang yaitu bidang pencegahan ada Saut Situmorang (Staf Ahli Kepala Badan Intelijen Negara dan Surya Tjandra (Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya).
Kemudian bidang Penindakan diisi Alexander Marwata (Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Basaria Panjaitan (Widyaismara Madya Sespimti Polri).
Selanjutnya bidang Manajemen adalah Agus Rahardjo (Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) dan Sujanarko (Direktur Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK).
Terakhir bidang Supervisi Monitoring diisi Johan Budi Sapto Prabowo (Plt Pimpinan KPK) dan Laode Muhamad Syarif (Lektor FH Universitas Hasanudin).
Senang
Meski tidak menunjukkan rasa senang, delapan orang yang lolos untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI mengaku siap untuk menjalani tahap seleksi selanjutnya.
"Kalau bagi saya tidak ada suatu yang mengagetkan, saya juga biasa saja, karena belum terpilih ini. Kan masih ada satu tahap. Saya sampai sekarang kan juga masih hakim. Jadi ya saya ikuti sajalah," kata capim KPK Alexander Marwata saat dihubungi pada Selasa (1/9).
Alexander merupakan hakim ad hoc pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta sejak 2012. Ia hanya menyatakan siap menjalani "fit and proper test" tersebut.
"Tidak ada persiapan, ya ikutin saja. Tidak ada sesuatu yang istimewa, tidak ada sesuatu yang harus disyukuri, ya sudahlah. Kalau saya dianggap layak untuk mengikuti tes lebih lanjut ya saya ikuti saja. Tidak gembira-gembira amat juga. Saya tidak mencari rezeki kok, jadi ya 'nyantai' saja," tambah Alexander.
Alexander juga mengaku tidak punya 'backing' untuk mendukungnya di DPR nanti.
"Saya tidak mau berandai-andai, yang realistis saja. Sementara saya dinyatakan lolos oleh pansel ya sudah nanti saya ikuti, jalurnya seperti itu. Biarkan DPR yang menentukan, saya tidak punya 'backing', tidak punya lobi. Pendekatan-pendekatan saya tidak melakukan itu semua. Saya jadi hakim juga tidak ada pendekatan apa-apa," ungkap Alexander.
Sedangkan Pelaksana tugas (plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi juga mengaku siap menjalani uji kepatutan dan kelayakan.
"Saya ikuti saja prosesnya, mengenai persiapan, tidak ada yang khusus. Soal lolos atau tidak di DPR sepenuhnya saya serahkan penilaiannya kepada DPR, siapa yang terbaik menurut mereka. Kita hormati apapun putusan DPR," kata Johan.
Senada dengan Alexander dan Johan, Laode M Syarif juga mengaku tidak melakukan persiapan untuk tes kepatutan dan kelayakan.
"Gak ada persiapan, santai saja sama dengan menghadapi pansel," kata Laode M Syarif.
Sedangkan Sujanarko juga hanya memohon doa untuk tes tersebut.
"Mohon doanya ya, tidak ada persiapan khusus, pertanyaan apapun nanti ya dijawab," kata Sujanarko.
Sedangkan Surya Chandra menilai bahwa uji kepatutan dan kelayakan nanti dapat menjadi awal perkenalan KPK dan DPR.
"Fit and proper test nanti menjadi awal perkenalan kedua lembaga ini dan capimnya yang saya kira akan amat berharga untuk kita semua," ungkap Chandra.
Apalagi menurut Chandra KPK butuh dukungan DPR agar dapat memberantas korupsi.
"Saya siap melanjutkan ke tahapan berikut di DPR. Ke depan KPK akan butuh dukungan kuat dari DPR untuk sama-sama membangun sistem pemberantasan korupsi yang efektif," tambah Chandra.
Sendu
Namun bagi mereka yang tersisih, pengumuman pansel KPK tersebut harus diterima dengan keikhlasan, apalagi bila orang tersebut dijagokan oleh banyak pihak, misalnya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
"Alhamdullilah. Kita positif saja, tidak apa tidak dipilih. Kan saya juga ikut karena diminta oleh pansel. Kalau dinilai ada yang lebih baik, kita mesti ikhlas terima semata-mata untuk bangsa dan negara saja," ungkap Jimly.
Ia mengaku akan berkonsentrasi di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
"Dengan begitu saya bisa fokus di DKPP untuk menyukseskan dulu pilkada 2015. Sama mulianya di mana saja kita mengabdi," tambah Jimly.
Sedangkan Hendraji Soepandji sebagai unsur dari TNI juga mengaku menerima keputusan itu dengan ikhlas.
"Saya selalu mensyukuri terhadap semua keputusan yang menyangkut diri saya apapun hasilnya. Manusia wajib berikhtiar tapi Allah SWT akan memberikan yang terbaik untuk diri saya dan keluarga. Mungkin memang KPK bukan tempat yang cocok untuk saya. Allah SWT pasti punya rencana yang lebih baik untuk saya dan keluarga," kata Hendardji.
Yang tidak kalah sendu adalah LSM antikorupsi Indonesia Corruption Watch yang dengan tegas menyatakan pilihan pansel mengecewakan karena ada tiga nama yang tidak layak jadi pimpinan KPK.
"Putusan akhir Pansel Capim KPK mengecawakan dan masih menyisakan beberapa pertanyaan karena masih meloloskan kandidat yang dinilai tidak layak menjadi pimpinan KPK dengan sejumlah alasan. Alasan itu terutama berangkat dari hasil penelusuran (tracking) rekam jejak dan hasil wawancara yang diselenggarakan oleh Pansel KPK sendiri," seperti dalam pernyataan tertulis ICW.
ICW menilai masih terdapat 3 calon yang tidak tepat karena dipertanyakan integritas, komitmen antikorupsi dan keberpihakannya terhadap eksistensi KPK.
Lolosnya ketiga orang tersebut menurut kami karena Pansel Capim KPK belum melakukan pendalaman secara komprehensif terhadap seluruh rekam jejak calon khususnya pada aspek integritas dan komitmen antikorupsi, dan eksistensi KPK di masa mendatang.
ICW mencatat sejumlah pernyataan tiga calon Pimpinan KPK yang diloloskan oleh Pansel yang tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi dan eksistensi KPK antara lain.
Pertama, KPK hanya berfungsi sebagai "trigger mechanism" dengan melimpahkan penyidikan kasus korupsi pada Kepolisian dan Kejaksaan; kedua tidak setuju dengan keberadaan penyidik independen KPK; ketiga KPK cukup hanya menjadi pusat informasi perkara korupsi dan KPK hanya memiliki tugas pencegahan saja.
Ketiga pernyataan tersebut berdasarkan catatan Antara disampaikan oleh capim KPK Basaria Panjaitan pada tes wawancara pada tanggal 23 Agustus di hadapan pansel.
"Saya berikan satu gagasan, KPK menjadi pusat informasi tindak pidana korupsi di Indonesia. Data ini bisa dikumpulkan dari seluruh Indonesia, kemudian bisa ditindaklanjuti oleh KPK atau polisi dan jaksa," ungkap Basaria.
Pemikiran itu berangkat dari fungsi KPK sebagai "trigger mechanism".
"Memang fungsi 'trigger mechanism' itu bener-benar bisa kita laksanakan dengan semangat kebersamaan, sinergi antara KPK, polisi dan jaksa. Saya yakin dan percaya. Mungkin dua periode berikut saya yakin keberadaan polisi itu sudah akan bagus jaksanya sudah bagus, dengan sendirinya KPK tinggal melaksanakan fungsi pencegahan," tambah Basaria.
Selanjutnya, menurut ICW ada dua kandidat memiliki harta kekayaan yang janggal dan tidak benar.
Berdasarkan catatan Antara, capim KPK dengan nominal harta yang besar adalah Basaria Panjaitan dengan jumlah Rp9,89 miliar atau lebih besar dibandingkan dengan nilai kekayaan Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti yang hanya berjumlah Rp8,517 miliar.
Capim lain yang disorot LHKPN-nya oleh pansel KPK saat wawancara adalah Agus Raharjo yang terakhir melapor LHKPN pada 2012.
"Mobil, kami tidak memiliki sampai 2 hari yang lalu. Kami beli bekas. Sebelumnya mobil yang kami miliki adalah leasing, ada 3 truk untuk angkut sayur di Magetan," kata Agus pada tes wawancara 24 Agustus 2015.
Ia mengaku sering mendapat honor yang bukan dari gaji PNS. Salah satunya berasal dari Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) yang ia hadiri selama 8 kali.
"Transfer ini lewat BCA, 6 ribu Euro," tambah Agus.
Sehingga total tabungan di rekeningnya hanya Rp20 juta.
"Saya 3 kali mantu, utang bank. Kalau jeli, PPATK pasti tahu bahwa dari 4 rekening saya total nilainya hanya Rp20 juta. Hanya belakangan setelah truk lunas, kami baru bisa menyimpan uang," kata Agus.
ICW juga menyorot satu orang kandidat yang memiliki rekam jejak mengeluarkan 4 "dissenting opinion" terhadap perkara kasus korupsi dan pada intinya menyatakkan terdakwa tidak terbukti bersalah. Ke-4 Perkara tersebut akhirnya diputus bersalah oleh Mahkamah Agung.
Berdasarkan catatan Antara, Alexander Marwata selaku hakim pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan berbeda pendapat dalam perkara tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Alexander juga tidak menyetujui dakwaan bahwa mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah memberikan izin pemberian uang Rp1 miliar kepada Akil Mochtar untuk memenangkan gugatan yang diajukan pasangan calon bupati Lebak Amir Hamzah dan Kasmin.
Terakhir, Alexander tidak setuju bahwa mantan Direktur PT Soegih Interjaya (SI) Willy Sebastian Lim memberikan uang 190 ribu dolar AS kepada Direktur Pengolahan PT Pertamina (Persero) Suroso Atmomartoyo terkait penjualan Tetraethyl Lead (TEL) pada 2004-2005 dalam sidang 29 Juli 2015.
Saat ini Alexander menjadi hakim untuk perkara tipikor OC Kaligis yang juga ditangani KPK.
Sehingga ICW pun meminta agar Pansel melakukan klarifikasi dan penjelasan kepada publik mengenai nama-nama yang sudah terpilih. Klarifikasi itu meliputi penjelasan kepada publik mengenai kriteria yang digunakan untuk menilai 8 Capim KPK yang lolos ini, membuka kepada publik nilai akhir dari masing-masing capim yang lolos dan yang tidak lolos supaya penilaian Pansel KPK memiliki bobot objektivitas, akuntabel dan transparansi yang tinggi.
ICW juga meminta Presiden Jokowi mencoret ketiga nama capim KPK yang dinilai dipertanyakan integritas, komitmen antikorupsi dan keberpihakannya terhadap eksistensi KPK.
"Kami segera mengirimkan Surat kepada Presiden Jokowi untuk tidak memilih tiga nama yang dinilai tidak layak memimpin KPK tersebut," kata peneliti ICW Febri Hendri.
Ada yang senang dan sendu dengan 8 nama capim tersebut. Bola panas nama pimpinan KPK saat ini berada di tangan Komisi III DPR untuk memilih lima orang dari 10 capim (ditambah dengan Busyro Muqoddas dan Roby Arya Brata hasil pansel 2014), apakah dapat membuat rakyat Indonesia senang atau tambah sendu dengan lima orang pimpinan KPK periode 2015-2019.