Jakarta (Antara Babel) - Ketika Ketua DPR RI Setya Novanto menemui bakal calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, kemungkinan dia tidak membayangkan kehebohan yang terjadi di Tanah Air akibat dari pertemuan tersebut.
Setya Novanto bersama-sama dengan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menemui Donald Trump dalam acara konferensi persnya yang digelar di Trump Tower di kota New York, AS, Kamis (3/9) waktu setempat.
Baik Setya Novanto maupun Fadli Zon sebenarnya berada di negara Paman Sam, antara lain mengikuti pertemuan perwakilan parlemen dari berbagai penjuru dunia di Markas Besar PBB, New York.
Namun, tidak disangka-sangka oleh banyak pihak di Indonesia, Setya-Zon berada dalam konferensi pers Donald Trump. Mereka diperkenalkan secara pribadi oleh sosok miliuner kontroversi itu.
Saat memperkenalkan Setya, sebagaimana dikutip dari laman www.businessinsider.co.id, Trump menyatakan, "The speaker of the house of Indonesia, hes here to see me. Setya Novanto, one of the most powerful men and a great man (Ketua DPR Indonesia, dia di sini untuk menemui saya. Setya Novanto, salah satu orang paling berkuasa dan orang hebat)."
Kemudian, Trump bertanya kepada Ketua DPR RI, "And we will do great things for the United States is that correct (Dan kami akan melakukan hal-hal hebat untuk AS apakah benar)?" Yang dijawab Setya dengan jawaban, "Yes (Ya)."
Selanjutnya, Trump bertanya lagi "Do they like me in Indonesia (Apakah mereka menyukai saya di Indonesia)?" Yang kembali dijawab politikus Partai Golongan Karya (Golkar) tersebut dengan jawaban, "Yes."
Wajar saja bila kemudian banyak orang, terutama bagi mereka yang belum mengetahuinya, siapakah sosok calon Presiden AS itu yang berhasil mengajak Ketua DPR RI untuk "melakukan hal-hal hebat untuk AS"?
Bagi sebagian orang di Indonesia yang pernah menonton acara "reality show" bertajuk "The Apprentice", mungkin mengenal sosok Donald Trump sebagai seorang pebisnis yang sedang menyeleksi orang-orang untuk bekerja dengan manajemen perusahaannya.
Bagian yang paling terkenal dari "The Apprentice" barangkali adalah setiap akhir episode. Trump mengatakan kepada salah satu orang, "Youre fired (Anda dipecat)." Namun, siapakah sebenarnya sosok Donald Trump?
Berdasarkan data dari ensiklopedia dunia maya, Wikipedia, Trump dilahirkan di daerah Queens di New York, 14 Juni 1946, dari ayah keturunan Jerman dan ibu yang merupakan imigran dari Skotlandia.
Trump pada masa perkembangannya mengenyam bangku pendidikan di sekolah swasta, kemudian lulus kuliah dari Wharton School of University of Pennsylvania, salah satu lembaga pendidikan tinggi yang saat itu memiliki jurusan/departemen real estate dalam kurikulumnya.
Trump memulai perjalanannya di dunia bisnis dengan berkarier di perusahaan real estate ayahnya yang berfokus pada pembangunan perumahan kelas menengah di kawasan Kota New York di Brooklyn, Queens, dan Staten Island.
Pada usia 25 tahun, Trump pindah ke Manhattan (kawasan elite di New York) dan terlibat dalam proyek pembangunan properti yang lebih besar dan menggunakan desain arsitek yang atraktif.
Kariernya di sektor properti terus berkembang, antara lain mengubah Hotel Commodore yang bangkrut menjadi Grand Hyatt dan menciptakan Trump Organization serta mengakuisisi Taj Mahal Casino pada tahun 1988.
Namun, ekspansi bisnisnya juga membuatnya menumpuk utang yang berdampak pada lini bisnis Taj Mahal yang dinyatakan bangkrut pada tanggal 5 Oktober 1991.
Pada dekade 1990-an menunjukkan kerajaan bisnis Trump meningkat kembali. Pada tahun 2001, Trump World Tower diselesaikan, yang dibangun berdampingan dengan Markas Besar PBB di New York.
Trump juga meluaskan usahanya ke kawasan lainnya di AS, mencakup Trump International Hotel and Tower-Honolulu, Trump International Hotel and Tower-Chicago, Trump International Hotel and Tower-Toronto, dan Trump Tower-Tampa.
Pada tahun 2015, media Forbes menyatakan nilai aset kekayaan Trump mencapai sekitar empat miliar dolar AS (atau sekitar Rp56 triliun).
Bagaimana kiprah Trump di bidang Politik? Trump diketahui pernah berkontribusi baik pada kandidat dari Partai Republik maupun Partai Demokrat.
Salah satu hal yang menghebohkan adalah pada tahun 2011, Trump mempertanyakan bukti kewarganegaraan Presiden AS Barack Obama karena Trump menuduh Obama tidak dilahirkan di dalam negeri AS.
Trump sendiri sebenarnya telah menunjukkan minatnya untuk mengikuti pemilihan presiden negara adidaya tersebut pada tahun 1988, 2004, dan 2012, dan baru benar-benar serius pada saat ini.
Berdasarkan harian asal Israel, Haaretz, Trump mendukung PM Isrel Benjamin Netanyahu pada Pemilu 2013, dan menyebutkan bahwa "a strong prime minister is a strong Israel" (perdana menteri yang kuat adalah Israel yang kuat).
Pada tahun 2015, Trump dianugerahi "Liberty Award" pada acara "Algemeiner Jewish 100 Gala" sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi positifnya dalam hubungan antara Amerika Serikat dan Israel.
Kampanyenya pada tahun 2015 untuk Pilpres AS 2016, Trump memiliki slogan "We are going to make our country great again" (Kita akan membuat negara kita hebat kembali).
Dalam bidang ekonomi, Trump menjanjikan bila terpilih akan mengurangi pajak yang dikenai kepada warga AS dan juga akan mengurangi regulasi yang dinilai menghambat bisnis.
Trump juga mengatakan akan memperkuat negosiasi perdagangan dengan negara-negara seperti Republik Rakyat Tiongkok.
Dalam bidang lingkungan, Trump mengatakan bahwa pemanasan global sebagai "a total hoax" (sepenuhnya omong kosong).
Dalam bidang hubungan luar negeri, Trump menjanjikan akan menjadi presiden dengan diplomasi yang kuat dan mengembalikan rasa hormat bagi Amerika Serikat dari seluruh dunia.
Menyinggung soal kesepakatan penggunaan tenaga nuklir Iran antara AS dan Iran yang dipandang banyak pihak sebagai sebuah langkah maju perdamaian, Trump menyebutkan langkah itu sebagai "terrible" (menakutkan), dan Presiden Obama melakukan kesepakatan itu karena "desperation" (keputusasaan).
Terkait dengan ancaman ISIS dalam wawancara di CNN, Juni 2015, Trump mengatakan akan "bomb the hell" (mengebom habis) lapangan minyak Irak yang dipercaya dikontrol oleh ISIS.
Ketika ditanyakan mengenai keberatan Irak bila AS mengebom lapangan minyak mereka, Trump menjawab, "I dont care about the government of Iraq. Theyre corrupt... the government of Iraq is totally corrupt. Who cares (Saya tidak peduli dengan pemerintah Irak. Mereka pemerintahan yang korup... pemerintahan Irak benar-benar korup. Siapa yang peduli)?"
Imigran
Namun, satu hal yang dinilai sangat membangkitkan amarah, terutama bagi keturunan Hispanik di AS dan negara-negara Amerika Latin adalah pernyataannya mengenai imigran di AS.
Dalam pidatonya pada tanggal 16 Juni 2015, Trump menyatakan, "When Mexico sends its people, theyre not sending their best. Theyre not sending you. Theyre sending people that have lots of problems, and theyre bringing those problems.... Theyre bringing drugs. Theyre bringing crime. Theyre rapists. And some, I assume, are good people."
(Ketika Meksiko mengirimkan warganya, mereka tidak mengirimkan warganya yang terbaik. Mereka tidak mengirimkan Anda. Mereka mengirimkan orang-orang yang memiliki banyak masalah, dan mereka membawa permasalahan itu.... Mereka membawa narkoba. Mereka membawa kriminalitas. Mereka pemerkosa. Dan sebagian, saya rasa, adalah orang-orang baik.)
Jurnalis kantor berita Reuters menemukan bahwa perusahaan-perusahaan Trump telah berupaya mengimpor sekitar 1.100 pekerja asing dengan visa H-2B sejak 2000.
Sementara itu, kantor berita AFP memberitakan bahwa Donald Trump pada hari Rabu (1/9) menyampaikan pesan kepada kompetitornya untuk posisi capres AS, Jeb Bush, agar "berbicara dalam bahasa Inggris".
Jeb Bush, saudara mantan Presiden AS, George W. Bush, memang lancar berbahasa Spanyol karena pernah tinggal di Meksiko dan Venezuela ketika masih muda, sementara istrinya lahir di Meksiko.
Saat berkampanye, Jeb Bush sering menggunakan bahasa Spanyol, terutama ketika dia berada di wilayah dengan populasi asal Hispanik seperti Florida dan daerah perbatasan di Texas.
Namun, satu hal yang dilupakan Trump bahwa meski bahasa Inggris memang bahasa yang kerap digunakan di Amerika Serikat, konstitusi mereka tidak mengenal bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Berbeda dengan UUD 1945 yang dimiliki RI menyebutkan bahwa Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia (Pasal 36).
Terkait dengan isu imigran, sebagaimana dikutip dari laman Business Insider, Fadli Zon mengatakan, "I think what he said is fine. What he said is illegal immigrants, he has no problem with the other people, with foreign people, with immigrants as long as its legal," Zon explained. "So, I think its very normative, a very good thing to say. I think its very universal."
("Saya pikir yang disebutkannya baik. Apa yang dikatakannya adalah mengenai imigran ilegal, dia tidak memiliki masalah dengan orang lain, dengan orang asing, dengan imigran sepanjang mereka legal," jelas Zon. "Jadi, saya pikir pernyataan itu sangat normatif, sangat bagus untuk diucapkan. Saya pikir hal itu sangat universal.")
Teman Indonesia?
Fadli Zon, masih dalam laman Business Insider, juga menjelaskan mengenai Trump. "I think we like him because hes also invested in Indonesia. He has some projects in Bali and West Java, so hes a friend of Indonesia," Zon said. "I think he is also very famous with his show and, of course, Indonesian people, when they talk about a millionaire or billionaire, what will pop up in their minds first is Donald Trump."
("Saya pikir kami menyukainya karena dia berinvestasi di Indonesia. Dia memiliki sejumlah proyek di Bali dan Jawa Barat, jadi dia teman Indonesia," kata Zon. "Saya pikir dia juga sangat terkenal dengan acaranya, dan tentu saja, masyarakat Indonesia, ketika mereka berbicara mengenai miliuner atau bilioner, yang teringat dalam benak mereka pertama adalah Donald Trump).
"Obama is also a friend of Indonesia," said Zon. "The election in United States is, of course, up to the people of the United States, but we care about people who care also about Indonesia. So, Obama is our friend. Donald Trump is also our friend."
("Obama adalah teman Indonesia," kata Zon. "Pemilu di Amerika Serikat, tentu saja, bergantung pada masyarakat di Amerika Serikat, tetapi kita peduli mengenai orang-orang yang peduli juga kepada Indonesia. Jadi, Obama adalah teman kami. Donald Trump juga teman kami.")
Sementara itu, di Indonesia, reaksi segera bermunculan. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut pertemuan antara delegasi DPR dan pebisnis asal Amerika Serikat Donald Trump, dalam kunjungan kerja di Negeri Paman Sam, berpotensi menjadi sebuah wujud pelanggaran etis.
"Sangat mungkin ada pelanggaran etis serius berupa konflik kepentingan terkait kehadiran anggota DPR dalam pertemuan dengan Trump," kata peneliti senior Formappi Lucius Karus di Jakarta, Jumat (4/9).
Fadli Zon, kata Lucius, telah mengklarifikasi bahwa pertemuan dengan Trump terjadi secara spontan dan di luar agenda resmi kunjungan kerja DPR.
Namun, klarifikasi Fadli ini, menurut dia, patut dipertanyakan, terlebih jika pada saat pertemuan itu delegasi DPR membahas masalah investasi di Indonesia.
"Apakah delegasi DPR melakukan pembicaraan tentang investasi itu dalam konteks personal diri mereka. Jika benar begitu artinya mereka sebagai politikus sekaligus pebisnis tengah melakukan diskusi soal investasi dengan pebisnis bernama Trump di AS," ujar dia.
Lucius menelaah dalam pertemuan itu Novanto dan Fadli Zon diperkenalkan Trump sebagai anggota DPR. Pertemuan itu pun, kata Lucius, berlangsung tidak singkat.
Dugaan pelanggaran etis bisa dikenai kepada para anggota tersebut ketika mereka memanfaatkan waktu di sela kunjungan resmi untuk melakukan pertemuan lain yang disebut-sebut "spontan" itu.
Lucius mengingatkan di dalam kode etik anggota DPR disebutkan bahwa perjalanan dinas adalah perjalanan pimpinan dan/ atau anggota untuk kepentingan negara dalam hubungan pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, baik yang dilakukan di dalam wilayah RI maupun di luar wilayah RI.
Wibawa DPR RI, kata dia, kian dipertaruhkan ketika anggotanya bisa begitu saja hadir pada sebuah acara politik negara lain dengan maksud dan misi yang tidak jelas.
"Saya kira tidak cukup hanya dengan menjelaskan bahwa pertemuan itu spontan, anggota DPR yang bertemu Trump harus bersedia mempertanggungjawabkan kegiatannya bersama Trump kepada publik, termasuk jika memungkinkan mereka membuka tuntas apa yang dibicarakan bersama dengan Trump," tegas Lucius.