Depok (Antara Babel) - Masa kerja DPR-RI periode 2014-2019 hampir setahun berjalan, namun belum terlihat satu pun Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dihasilkan dan pekerjaan rumah di bidang legislasi terabaikan.
Hal itu terjadi, tampaknya karena dewan terlihat lebih sibuk mengurusi pemilihan kepala daerah atau Pilkada, dana aspirasi serta hal-hal lain yang mengundang kontroversi.
Di antara hal-hal kontroversi di seputar DPR itu adalah rencana pembangunan megaproyek gedung DPR, uang muka pembelian mobil, pembelian kasur, ikut menghadiri kampanye calon presiden AS Donald Trump dengan biaya negara, dan menuntut kenaikan tunjangan dengan alasan inflasi.
Megaproyek penataan kawasan kompleks parlemen yang diusulkan DPR RI itu menurut Ketua Badan Anggaran DPR Ahmadi Noor Supit membutuhkan biaya sekitar Rp2,7 triliun. Nilai yang menimbulkan kontroversi di kalangan publik itu didapat dari usulan yang telah dikoordinasikan Kesekjenan DPR dengan Kementerian Pekerjaan Umum.
Menurut Supit, prioritas penataan kawasan tujuh tahap tahun ini adalah pengadaan alun-alun demokrasi dan pembangunan gedung. Biaya yang diajukan mencapai kisaran Rp600-700 miliar. Dalam hal ini, kata Supit, menteri keuangan sebagai perwakilan dari pemerintah masih mempertimbangkan adanya optimalisasi anggaran.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan hingga saat ini belum ada pembahasan terperinci mengenai usulan megaproyek tersebut. "Masih sebatas wacana dan DPR belum memberikan rincian usulan megaproyek tersebut serta belum terakomodir dalam pembahasan RAPBN. Gedung DPR kegedean untuk masuk buku APBN."
Menurut Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, gedung baru DPR adalah soal kebutuhan. Usulan yang diajukan untuk pengadaan gedung baru itu dinilai tidak ada artinya dibanding pengeluaran yang selama ini dihabiskan oleh pemerintah. "Pengeluaran kementerian dan lembaga pemerintah jauh lebih masif dibandingkan urusan kebutuhan gedung baru untuk wakil rakyat."
Bagaimanapun, kata Fadli Zon, pengadaan gedung merupakan bagian dari amanat yang dilindungi undang-undang sebagai wujud penunjang kegiatan dari parlemen yang telah menjadi representasi rakyat.
Pimpinan DPR RI, Setya Novanto, juga sempat mengusulkan ke pemerintah terkait tambahan jatah uang muka untuk membeli mobil. Tentu tidak sembarang mobil. Namun ketika Peraturan Presiden No.39 tahun 2015 terkait penambahan dana uang muka dari mobil dinas pejabat, dipersoalkan masyarakat, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan Fadli Zon mengaku tidak tahu ihwal usul tersebut.
Fahri malah menyalahkan pemerintah karena seharusnya dibuat peraturan agar para anggota legislatif tidak dianjurkan memperoleh fasilitas Negara. "Saya mengusulkan anggota dewan tidak boleh memakai kendaraan dan tidak harus difasilitasi."
Fadli Zon bahkan mengusulkan agar rumah dinas yang diperuntukkan bagi para anggota legislatif dihapuskan, karena fasilitas yang diberikan teramat mewah. "Kalibata (rumah dinas anggota legislatif) jual saja. Pemerintah engga perlu ada perumahan, sehingga anggota DPR akan jalan kaki biar tidak (sakit) stroke.
Perpres tersebut menyebutkan bahwa tunjangan uang muka bagi pejabat negara untuk pembelian kendaraan perorangan adalah Rp210.890.000 - lebih tinggi dari ketentuan pada Perpres No 68/2010 sebesar Rp116.500.000. Fasilitas ini diberikan per periode masa jabatan, dan diterimakan enam bulan setelah dilantik.
Sementara itu Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menduga, ada yang janggal dalam anggaran pengadaan pembelian kasur untuk rumah dinas anggota DPR. Pasalnya, angkanya mencapai Rp12 miliar. "Anggota Dewan yang paling enak dan bergelimang kemewahan ketika dipimpin Ketua DPR Setya Novanto."
Uchok menilai, anggaran pembelian kasur tersebut terlalu mahal. Jika disimulasi, alokasi anggaran untuk Kalibata dan Ulujami saja sebesar Rp1,1 miliar. Maka setiap rumah jabatan DPR, mendapatkan jatah kasur senilai Rp19 juta. Total pembelian kasur untuk 560 rumah dinas anggota dewan ditaksir menghabiskan Rp12 miliar.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah membenarkan hal tersebut. Namun, ia menyebutkan proses pembelian kasur itu telah melalui prosedur, apalagi lembaga negara tersebut mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Jadi jangan liat Rp12 miliarnya dong, ada hitung-hitungannya. Enggak ada dewan, enggak ada yang 'ngawasin pemerintah, nanti enggak ada dewan enggak ada demokrasi," kata Fahri sambil mememinta agar masyarakat berlaku adil kepada para anggota dewan yang adalah wakil rakyat.
Kenaikan Tunjangan
Banyak kabar beredar bahwa rombongan Ketua DPR Setya Novanto ke Amerika Serikat berjumlah 67 orang. Kunjungan itu makin kontroversial karena pada 3 September, Setya Novanto dan rombongan mengikuti acara Donald Trump, yang diambil sumpah kesetiaan oleh Partai Republik untuk maju sebagai calon Presiden AS.
Trump selama ini dikenal sebagai pengembang real estate, operator hotel, dan pemilik tiga kasino di Kota Atlantic. Pengusaha kaya ini juga dianggap sebagai sosok yang anti-imigran dan anti-muslim.
Tenaga Ahli Ketua DPR Nurul Arifin yang ikut dalam rombongan membantah kabar itu. "Kami hanya berjumlah 14 orang beserta staf sekretariat. Semua pihak jangan memelintir isu soal anggota rombongan dan pertemuan dengan Trump. Pertemuan itu dibesar-besarkan seolah hendak mengalihkan isu kondisi ekonomi Indonesia saat ini," kata Nurul.
Kepala Bagian Tata Usaha Ketua DPR Hani Tahapari mengatakan ada sembilan orang yang ikut kunjungan dinas itu. Namun, dalam daftar yang diterima media, anggota rombongan berjumlah 21 orang. Selain nama-nama anggota DPR, ikut serta juga tiga wartawan media nasional, penerjemah, dan beberapa staf Sekretariat Jenderal DPR.
Kunjungan pimpinan DPR ke AS yang dibiayai negara itu memenuhi undangan acara Forum Ketua Parlemen Sedunia yang dihajat International Parliamentary Union pada 31 Agustus hingga 2 September. Namun kunjungan ini diperpanjang karena rombongan saat itu juga melakukan beberapa agenda tambahan.
DPR RI meminta kenaikan tunjangan kepada pemerintah dalam RAPBN 2016 meliputi tunjangan kehormatan, komunikasi intensif, peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, hingga bantuan langganan listrik dan telepon. "Memang ada permintaan Badan Urusan Rumah Tangga ke pemerintah untuk perbaikan tunjangan anggota," kata anggota BURT, Irma Suryani.
Dia mengungkapkan, Kementerian Keuangan telah menyetujui kenaikan anggaran tersebut meskipun angkanya di bawah usulan DPR. Kenaikan tunjangan ini dibutuhkan karena inflasi yang terjadi setiap tahun, tetapi tunjangan anggota DPR tak pernah naik selama 10 tahun ini.
"Informasi dari kawan yang incumbent, sudah hampir dua periode, tunjangan tidak naik," katanya.
Tetapi ketika publik menyoroti masalah ini, hampir semua fraksi di DPR menolak kenaikan tunjangan anggota DPR yang akan dianggarkan dalam RAPBN 2016. Mayoritas fraksi berpandangan, kenaikan tunjangan bagi anggota DPR tidak tepat melihat kondisi ekonomi yang tengah sulit saat ini.
Mantan Ketua DPR Agung Laksono, mengritik kinerja anggota dewan periode 2014-2019 yang belum menghasilkan undang-undang. Karena itu menurut dia, DPR tak pantas meminta fasilitas berupa gedung baru. "Mungkin sense of crisis harus dibangun, jadi ditunda proyek itu, sehingga DPR akan lebih diapresiasi rakyat."
Rencana membangun gedung baru DPR dikritik karena anggarannya sangat tinggi sementara kinerja Dewan rendah. Menurut Agung, daripada meributkan soal gedung baru, DPR sebaiknya fokus pada fungsi utamanya, yaitu pembentukan undang-undang.
Ketua DPR periode 1999-2004, Akbar Tanjung juga sependapat bahwa pembangunan gedung baru harus sinkron dengan prestasi. "Sayangnya, undang-undang yang disahkan parlemen periode kali ini minim. Sebaiknya fokuskan dulu pada pelaksanaan fungsi dewan, jika sudah baik barulah melangkah ke penyediaan fasilitas," katanya.
Namun Wakil Ketua DPR Fadli Zon membantah kendornya kerja DPR di bidang legislasi hanya karena faktor lembaga legislasi. Menurutnya masyarakat mesti mengetahui pembuatan UU bukan menjadi beban dari DPR semata, tetapi juga beban pemerintah.
Pembahasan sebuah RUU, katanya, menuai perdebatan panjang. Juga mesti meminta masukan dari seluruh pemangku kepentingan, selain menyiapkan naskah akademik. Penyusunan RUU tidak lagi dilakukan di Badan Legislasi, tetapi menjadi beban dari masing-masing komisi.
"Jadi setiap komisi akan ada pembahasan, dan tinggal dibahas bersama pemerintah," ujarnya.
Kalau ada yang berpendapat legislasi DPR rendah, dia tidak mengerti masalah legislasi. Legislasi, menurut Fadli, bukan semata urusan DPR, tapi juga pemerintah. "Pemerintah baru mengajukan pada masa-masa sidang ini. Jadi, tidak bisa diukur dari angka, tapi kualitas legislasi," ujarnya.