Jakarta (Antara Babel) - Kebijakan Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS) ibarat pisau bermata ganda.
Ketika di satu sisi BVKS menjadi instrumen paling efektif untuk menjaring lebih banyak wisatawan mancanegara (wisman), di sisi lain potensi ancaman dari berbagai sisi pun menghadang.
Sisi paling nyata adalah tidak ada lagi pendapatan negara dari visa yang dibayarkan wisatawan yang akan masuk ke Indonesia.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebut kebijakan bebas visa tersebut akan memperkecil pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Menurut dia, potensi untuk memperoleh PNBP dari visa bagi Indonesia melorot hingga 50 persen.
Sebelumnya, Indonesia bisa memperoleh pendapatan dari biaya pembuatan "visa on arrival" sebesar 35 dolar AS per orang, maka dengan dibebaskannya biaya bagi wisatawan dari 90 negara saat ini, pemasukan tersebut otomatis berkurang drastis.
Data Kemenkumham menyebutkan kontribusi PNBP paling besar selama ini berasal dari wisatawan asal Tiongkok, Rusia, Korea Selatan, Australia dan Amerika Serikat.
Tercatat PNBP dari wisatawan dari lima negara itu mencapai Rp900 miliar per tahun.
Namun di sisi lain, pihaknya mengakui kebijakan BVKS mendatangkan keuntungan yang signifikan bagi sektor pariwisata sebagai salah satu sektor unggulan yang sedang digalakan pengembangannya.
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya berpendapat BVKS meskipun menurunkan potensi pendapatan dari visa namun mendongkrak pendapatan bagi sektor pariwisata lebih besar.
"Komposisi pengeluaran wisman dihitung perhari dan lamanya tinggal sehingga lebih menguntungkan dari sisi ekonomi. Pengeluaran mereka juga langsung diserap sektor riil sehingga efektif mendorong kesejahteraan masyarakat," katanya.
Sebagai gambaran, khusus untuk Bali sebagai destinasi favorit, berdasarkan hasil survei perilaku wisman yang dilakukan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, rata-rata lama tinggal (length of stay) dan belanja wisman pada periode Mei 2015 sebesar 125,93 dolar AS per harinya, sedangkan rata-rata lama tinggal adalah 7,66 hari.
Adapun tiga jenis pengeluaran terbesar yang mendominasi pengeluaran wisman pada 2015 adalah untuk untuk akomodasi (26,69 persen), makan dan minum (18,53 persen) dan belanja (14,80 persen).
Menguntungkan
Menteri Arief Yahya tetap meyakini bahwa BVKS yang diberlakukan dengan pengawasan ketat dari berbagai pihak akan sangat menguntungkan sektor pariwisata di Tanah AIr.
BVKS potensial mendorong akses keluar masuk negara menjadi lebih cepat dan dinamis sehingga mempermudah calon wisatawan asing untuk berkunjung ke Indonesia.
Ia menegaskan, untuk menghindari penyalahgunaan BVKS sejak awal pemerintah Indonesia memberlakukan bebas visa hanya untuk orang yang akan melakukan kunjungan wisata saja.
"Itupun hanya terbatas untuk 30 hari dan jika ingin menambah hari, mereka harus kembali ke negara asalnya," katanya.
Ia meyakini pemberlakuan bebas visa bagi 90 negara ke Indonesia akan berdampak positif termasuk mendorong tercapainya target 10 juta wisman sampai akhir tahun ini.
Beberapa pintu masuk wisman yang akan sangat diuntungkan dengan pemberlakuan bebas visa di antaranya Batam yang berbatasan langsung dengan Singapura.
"Karena di Singapura sendiri sudah ada 16 juta wisatawan yang siap datang. Belum ditambah dengan ekspatriat," katanya.
Selain itu ada pula titik-titik destinasi wisata favorit yang diperkirakan akan menjadi incaran wisatawan asing di antaranya Bali, Lombok, Bunaken dan Raja Ampat.
Dampak positif BVKS pada satu sisi juga diperkirakan semakin mendongkrak popularitas Indonesia sebagai surga pecinta traveling kelas dunia.
Waspadai Penyimpangan
BVKS pada akhirnya tetap harus diwaspadai karena rawan penyimpangan. BVKS berpotensi mendatangkan dampak buruk berupa penyalahgunaan bagi oknum-oknum tertentu untuk menyelundupkan barang-barang ilegal seperti narkoba, perdagangan manusia, senjata ilegal, dan barang haram lainnya.
Kebijakan itu bagi sebagian orang memang dinilai rentan sehingga harus dibarengi langkah antisipatif khususnya pada sektor keamanan karena kemungkinan berkembangnya motif lain dari pergerakan wisman yang masuk ke Indonesia.
Direktur Kajian Bidang Ekonomi Pusat Studi Sosial dan Politik Kusfiardi kepada wartawan beberapa waktu lalu mengatakan antisipasi dalam kebijakan BVKS terkait kerentanan keamanan merupakan hal yang tidak terelakan.
Ia juga mendorong agar pemerintah memastikan pengorbanan dari pendapatan negara harus mendapatkan bayaran yang setara dari pertumbuhan ekonomi nasional yang bersumber dari pariwisata sebagai fokus program.
"Sayangnya sampai saat ini belum ada jaminan untuk kompensasi jika penerimaan pada sektor pariwisata setelah bebas visa ini tidak sebanding dengan pengorbanan dari pembebasan visa," katanya.
Sementara potensi ancaman keamanan bagi NKRI semakin besar dan beragam.
Namun pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM sejak awal sebelum pemberlakuan BVKS telah meminta kepada jajarannya untuk tetap waspada demi mencegah potensi penyalahgunaan kebijakan tersebut.
Yasonna menekankan pengamanan pemberlakuan BVKS tersebut dilakukan secara intensif dengan melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Polri.
"Kita harus meningkatkan kewaspadaan mengingat pada saat yang sama kita harus membuka pintu untuk sektor pariwisata agar devisa meningkat," kata Yasonna.